Massa yang Marah dan Aparat yang Lelah

Polisi memukuli mahasiswa saat bentrok di depan kantor DPRD Sulsel, Makassar
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

VIVA – Aksi unjuk rasa yang digelar puluhan ribu mahasiswa di beberapa kota pada Selasa, 24 September 2019, berujung ricuh. Di Makassar, Medan, Jambi aksi unjuk rasa berakhir dengan bentrokan antara massa demonstran dan polisi. Aksi unjuk rasa yang digelar di depan DPR Jakarta juga berujung kerusuhan. Ricuh terjadi setelah mahasiswa menjebol pagar gedung DPR RI dan berusaha masuk ke gedung parlemen. 

Kompolnas Minta Kapolri Tindak Tegas Anggota yang Peras Penonton DWP Asal Malaysia

Ricuh dimulai saat polisi menembakkan gas air mata dan meriam air. Kericuhan tak hanya terjadi di depan gedung DPR namun juga terjadi di sekitar gedung DPR. Puluhan mahasiswa jadi korban, bahkan ada yang sampai koma. Hingga dini hari massa mahasiswa dengan polisi di Jakarta terus terlibat kericuhan. 

Kericuhan berlanjut di hari Rabu, 25 September 2019. Massa demonstran yang sebelumnya didominasi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta berganti dengan pelajar. Massa siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) di Jakarta dan sekitarnya mulai memenuhi ibu kota sejak sekitar pukul 10.00 dan semakin siang terus bertambah. 

GP Ansor Kutuk Arogansi Polisi Banting Warga saat Jemput Keluarga di Pelabuhan Ambon

Pelajar STM anarkistis bakar motor milik wartawanPelajar SMK ikut turun aksi

Hingga Rabu malam, massa pelajar terus melakukan perlawanan terhadap personel Kepolisian yang melakukan pengamanan di gedung DPR. Selain melempari petugas, massa pelajar yang telah bergabung dengan masyarakat juga membakar benda yang ada di sekitar. Aksi mereka dibalas dengan lontaran gas air mata. Hingga pukul 20.14 WIB, polisi terlihat bertubi-tubi melepaskan gas air mata untuk membubarkan massa. Gas air mata juga diarahkan ke Stasiun Palmerah yang menjadi tempat berlindung para pelajar. 

Dimintai Keterangan, Polisi Sebut Korban Dugaan Penganiayaan Chandrika Chika Masih Merasakan Sakit

Akibat kerusuhan ini,  sudah sejak sore kereta tidak melintas di Stasiun Palmerah. Stasiun juga sudah ditutup dan diumumkan kalau perjalanan kereta dari Kebayoran ke arah Tanah Abang maupun sebaliknya dihentikan. "Untuk pengguna KRL kami informasikan, malam ini tidak ada lagi perjalanan kereta dari Kebayoran ke Tanah Abang, maupun sebaliknya. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini," kata petugas KRL di Palmerah seperti didengar oleh VIVAnews. 

Selain Stasiun Palmerah, aksi demonstrasi siswa SMA dan STM juga membuat ruas Jalan Tol Dalam Kota Cawang-Tomang kembali ditutup. Berbeda dengan aksi kakak kelas mereka dari berbagai kampus, aksi pelajar ini minim orasi dan lebih banyak diwarnai aksi saling lempar batu.  

Hingga pukul 22.00 WIB, petugas Kepolisian dari Polda Metro Jaya sudah mengamankan 570 anak sekolah. Tak hanya dari Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), namun banyak juga anak-anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mereka diamankan karena ikut aksi, dan ada juga yang baru mau bergabung ikut aksi. Sebagian besar sudah dijemput orangtuanya, dan sebagian diantaranya masih dalam pemeriksaan polisi. 

Demo RKUHP, Pelajar Kuasai Tol Dalam KotaAksi unjuk rasa siswa SMK

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono, mengatakan anak-anak tersebut diamankan karena mereka tak mengantongi izin aksi. Tak ada surat pemberitahuan yang bisa mereka berikan pada Kepolisian. “Hari ini tidak ada surat pemberitahuan untuk demo. Jadi kita amankan di sini.Ya yang diamankan 570 pelajar," kata Argo. Ia juga menambahkan, banyak di antara mereka tak paham mengapa ikut berdemo. Sebagian besar mengaku hanya ikut-ikutan. 

Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Muhammad Nasir yang juga sempat melakukan sweeping mengatakan, pelajar yang diamankan mengaku hanya ikut-ikutan. Mereka juga membawa selebaran bergambar kelamin yang diakui dibuat untuk atribut demo.

"Dari semua yang saya lakukan interogasi tidak ada yang bisa menjawab untuk apa datang. Alasannya ikut-ikutan," kata Nasir.

Di Depok, 32 pelajar diamankan petugas saat tengah bergerombol menunggu tumpangan truk di kawasan Jalan Margonda, Depok, Jawa Barat, pada Rabu sore,  25 September 2019. Mereka hendak bergabung bersama sejumlah pelajar lainnya untuk berdemonstrasi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta. Seruan atas aksi tersebut tersebar luas melalui media sosial di kalangan pelajar, khususnya di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Seorang pelajar Depok yang ditemui saat diamankan aparat membenarkannya. “Saya tahu itu (seruan demo). Saya lihat di status teman-teman pada pasang kayak begitu,” katanya. 

Saat disinggung apa tuntutan demonstrasi ataupun latar belakang aksi tersebut, dia mengaku tidak tahu-menahu. “Saya cuma ikut-ikutan, diajak doang,” ujarnya.

Demo Berujung Bentrok

Demo mahasiswa yang tersebar dan dilakukan serentak di berbagai kota di Indonesia nyaris semuanya berujung bentrokan dengan aparat. Salah satu korban bentrokan antara mahasiswa dan polisi di gedung DPR/MPR Jakarta adalah Faisal Amir, mahasiswa dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI). Faisal Amir sempat dikabarkan tewas, namun belakangan diralat. Ia diberitakan dirawat di ruang ICU RS Pelni dan kondisinya kini sudah stabil.

Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Asep Saefuddin, menjenguk mahasiswanya itu. Kepada wartawan, Asep mengatakan, Kampus Al Azhar tidak melarang atau menganjurkan mahasiswanya untuk berunjuk rasa di gedung DPR/MPR. Namun otoritas kampus sedari awal sudah mewanti-wanti agar para mahasiswa tidak bertindak anarkis ketika berdemonstrasi.

Universitas sebelumnya berharap para mahasiswa membuat konsep yang terbaik untuk disampaikan kepada DPR dan pemerintah. Namun para mahasiswa kampusnya akhirnya lebih memilih untuk turun ke jalan. "Yang namanya mahasiswa kan, tentunya bagian dari euforia politik kemahasiswaan," katanya usai menjenguk Faisal Amir di Rumah Sakit Pelni, Jakarta, Rabu, 25 September 2019.

Gubernur DKI Anies Baswedan, mengatakan ada tiga demonstran yang mendapat luka serius karena terjadi pendarahan di selaput darah, otak, hingga tulang belakang. Secara keseluruhan, ujar Anies, ada 273 pengunjuk rasa yang harus dirawat karena menderita luka. Dari 273 pengunjuk rasa, mayoritas sudah diperbolehkan pulang karena sakit yang mereka derita tidak terlalu parah. "Per tadi malam (24 September 2019), mayoritas (pengunjuk rasa yang dirawat) sudah bisa pulang," ujar Anies.

Massa mahasiswa terlibat kericuhan saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR RIDemo mahasiswa di depan gedung DPR MPR berujung ricuh

Di Sulawesi Selatan beredar video polisi yang memburu mahasiswa hingga masuk ke dalam masjid. Bentrokan antara polisi dan mahasiswa terjadi setelah ribuan mahasiswa Makassar dari berbagai kampus di antaranya Mahasiswa Univeritas Hasanuddin, Univeritas Muslim Indonesia, Universitas Negeri Makassar (UNM) dan Universitas Bosowa Makassar turun ke jalan menuntut sejumlah kebijakan pemerintahan Jokowi yang tidak pro rakyat. 

Massa demonstran yang berkumpul di depan kantor DPRD Sulawesi Selatan berusaha dipukul mundur oleh aparat. Namun mahasiswa memilih bertahan, hingga akhirnya terjadi aksi saling lempar batu. Sejumlah mahasiswa yang berlari masuk ke dalam masjid dikejar polisi. Aparat menyerbu masuk, dan menyeret dua mahasiswa dari dalam masjid. 

Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Dicky Sondani kepada wartawan melakukan klarifikasi video viral tersebut. "Setelah dilakukan pengecekan di lapangan, bahwa memang betul masjid itu ada di sebelah kantor DPRD Sulsel," ujar Dicky Sondani.

Sehubungan dengan kejadian tersebut, Polda Sulsel meminta maaf. "Oknum (polisi) yang melakukan tindakan berlebihan akan diproses secara hukum. Namun mahasiswa pelaku pelemparan juga akan diproses secara hukum. Propam segera melakukan penyelidikan terhadap insiden tersebut," kata Dikcy.

Bentrokan juga terjadi antara aparat Kepolisian dengan ribuan mahasiswa saat aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Sumatera Selatan di Kota Palembang, Selasa 24 September 2019.  25 mahasiswa yang terluka dilarikan ke Rumah Sakit RK Charitas Palembang. Demonstrasi berakhir ricuh setelah mahasiswa tak terkendali dan memaksa ingin memasuki gedung DPRD. Terjadi aksi lempar batu hingga akhirnya polisi menembakkan gas air mata. 

Di Medan, bentrok yang terjadi antara ribuan mahasiswa dan aparat kepolisian di depan Gedung DPRD Sumut di Jalan Imam Bonjol, Kota Medan pada Selasa, 24 September 2019 mengakibatkan 56 orang diamankan.  Kabid Humas Polda Sumut Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja mengatakan kepada wartawan dari 56 orang diamankan, salah satunya terduga terorisme dan masuk DPO Densus 88 anti teror.

"Massa yang diamankan baik itu dari orang sipil maupun mahasiswa itu ada 55 plus 1 diantara  51 mahasiswa 4 non mahasiswa dan satu terduga anggota teroris," ujar Tatan.

Di kota Malang, meski demonstrasi sempat diwarnai aksi vandalisme, namun situasi masih terkendali sehingga tak terjadi bentrokan. Sementara di Jawa Tengah, massa mahasiswa yang melakukan aksi di di depan kantor DPRD dan Gubernur Jawa Tengah, menjadi lebih tenang dan kondusif setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo keluar menemui peserta aksi. Sebelumnya, massa sudah berhasil menjebol pagar dan memaksa bertemu dengan anggota dewan dan Gubernur. Namun akhirnya Ganjar berbicara pada mahasiswa dan berjanji akan meneruskan aspirasi mereka pada pemerintah pusat. 

Aksi #GejayanMemanggil di Yogyakarta.Aksi unjuk rasa di Yogyakarta

Demonstrasi yang berakhir damai justru terjadi di Yogyakarta, meski jumlah peserta demonstrasi jauh lebih besar dibanding kota lain. Demonstrasi yang digerakkan dengan tagar #GEJAYANMEMANGGIL berhasil mendatangkan hampir 10 ribu mahasiswa ke Jalan Gejayan. Sebuah jalan yang legendaris karena di tahun 1998 terjadi bentrokan berdarah yang menewaskan Moses Gatutkaca. 

Aksi yang dilakukan sejak pukul 10.OO WIB berakhir dengan damai tanpa bentrokan. Massa hanya melakukan orasi, yel yel, membentangkan spanduk dan poster selesai sekitar pukul 17.00 WIB dengan damai dan aman. 

Massa yang Marah dan Aparat yang Lelah

Bentrokan yang terjadi antara massa mahasiswa dengan aparat biasanya pecah menjelang sore hari. Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adie Prayitno mengatakan, tindakan represif polisi yang bisa berakhir dengan terjadinya bentrokan antara polisi dengan demonstran biasanya terjadi karena dua alasan. Pertama, dalam batas tertentu aparat sudah tak bisa lagi menoleransi waktu yang diberikan. Izin demonstrasi biasanya berakhir di jam enam sore. Jadi kalau sudah lewat izin masih ada demo, maka polisi akan mengambil tindakan. Tapi, ujar Adie, biasanya demonstran juga diberikan toleransi sampai pukul 21.00 WIB.

Kedua, tindakan represif juga bisa dilakukan oleh polisi jika massa mahasiswa merusak fasilitas publik seperti tembok, pagar, atau melakukan aksi vandalisme. Maka polisi dipastikan akan melakukan tindakan represif. "Padahal polisi Indonesia sekarang sudah mengalami reformasi besar-besaran. Salah satunya adalah melakukan tindakan persuasif setiap menghadapi demonstrasi. Tapi itu semua ada batas toleransinya," ujar Adi.

Adi mencontohkan aksi mahasiswa yang dilakukan pada Senin, 23 September 2019. Menurutnya, aksi mahasiswa yang sempat memaksa masuk akhirnya berhasil dibubarkan sekira pukul 22.00 WIB, tanpa kekerasan. Meski tak bisa memastikan apa negosisasi yang ditawarkan oleh polisi pada mahasiswa, tapi Adi yakin ada tindakan persuasi yang berhasil diterima oleh mahasiswa. 

Polisi memukuli mahasiswa saat bentrok di depan kantor DPRD Sulsel, MakassarDemo di Makassar berujung bentrok

Kepala Staf Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menjelaskan, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan agar penanganan demonstrasi tidak represif tetapi proporsional. Tapi ada penyebab munculnya tindakan yang tidak terkontrol dari aparat, hingga berujung represif. 

"Saya paham betul bagaimana persoalan psikologi harus dikelola dengan baik. Psikologi di lapangan itu,  menghadapi psikologi massa. Psikologi massa itu juga punya ambang batas kesabaran juga punya ambang batas emosi, dia juga punya ambang batas kelelahan dan seterusnya. Sehingga ini menimbulkan uncontrolled," ujar Moeldoko di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu 25 September 2019.

Ia mengatakan, aparat keamanan memang dibekali dengan tes psikologi. Tetapi saat lelah dan batas emosi terlampaui, hal itu bisa memicu tindakan represif. Terlebih, kebanyakan adalah anggota baru seperti di Kepolisian.

"Meski aparat sudah dilatih, mentalnya sudah disiapkan dan seterusnya. Tapi sekali lagi ambang batas itu bisa muncul apalagi ini ada prajurit-prajurit baru dari Kepolisian, ini juga selalu kita waspadai di lapangan," ujar mantan Panglima TNI itu.

Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Gatot Eddy Pramono menyebutkan, polisi sudah sebaik mungkin memfasilitasi aksi mereka. Di mana semua bermula dari aksi Senin, 23 September 2019. Pada hari itu saja, menurut Gatot, mereka sudah melakukan aksi lewat dari jam penyampaian pendapat, di mana mereka melanjutkan aksi hingga malam. Tapi, pihaknya tidak membubarkan paksa mereka malam itu.

"Seharusnya ketentuan kita kan jam 18.00 (WIB) sudah selesai, kita tidak mendorong mereka, kita mengimbau mereka pulang, pelan-pelan mereka mau pulang," kata Gatot.

Langkah persuasif tetap dilakukan pada hari Rabu, 24 September 2019. Massa minta bertemu pimpinan DPR, polisi memfasilitasi dengan menyampaikan pada pihak DPR yang akhirnya setuju untuk bertemu. Tapi mahasiswa ingin pertemuan dilakukan di tengah lautan massa. Mengingat kondisi yang tak kondusif maka pertemuan urung dilakukan. Karena kesal, massa disebut malah mengultimatum polisi. Mereka mengaku tak akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa ke depannya. Hingga akhirnya massa membobol pagar DPR/MPR. 

Aksi Demonstrasi Tolak RKUHP dan UU KPK di DPRDemo mahasiswa di Jakarta berujung ricuh

Analisis polisi menyimpulkan ada niatan massa menguasai Gedung DPR/MPR. "Jadi tahapan-tahapannya sudah kita lakukan ya. Langkah-langkah persuasif, kita tahu betul adik-adik mahasiswa ini, anak-anak kita semua menyampaikan aspirasi adalah hak, tetapi jangan dilakukan dengan tindakan-tindakan yang anarkis," ujarnya.

Namun, Gatot mengaku masih terus mengutamakan pendekatan komunikasi. Dalam kesempatan itu, pihaknya menyampaikan kalau unjuk rasa itu sudah diatur dalam undang-undang, di mana seseorang bisa menyampaikan pendapat mereka tapi tidak mengganggu keamanan dan ketertiban.

Di tengah lemparan batu dan botol, menurut Gatot, polisi tetap berlindung di balik tamengnya dan tidak melawan. Mereka masih mengimbau saja agar mereka pulang. Tapi ketika massa akhirnya merusak pagar DPR/MPR, polisi mulai bersikap. Hal ini dilakukan karena kawasan DPR/MPR adalah objek vital.

"Tetapi, setelah pukul 16.00 WIB, karena melakukan tindakan-tindakan yang sudah menuju tindakan anarkis, kita lakukan tindakan dengan tahapan-tahapannya. Yang pertama kita tembakan air kepada adik-adik untuk mundur, tetapi mereka tidak mau mundur tetap maju bahkan semakin merusak pagar DPR," katanya.

Karena pagar DPR/MPR tak hanya jebol di satu bagian, maka sesuai amanat UU, Gatot mengatakan pihaknya terpaksa menembakkan gas air mata agar massa bubar. Gatot menegaskan, sebenarnya polisi sudah sangat memberi toleransi pada mereka.

"Unras (unjuk rasa) boleh disampaikan, aspirasi boleh disampaikan, tapi saya yakin betul bahwa adik-adik mahasiswa adalah mahasiswa yang cerdas. Lakukan dengan cara yang cerdas, dengan cara yang elegan, dengan cara yang tentunya sesuai ketentuan peraturan dan perundangan yang ada. Ini yang saya sampaikan," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya