Demonstrasi Santai ala Milenial
- Istimewa
VIVA – Ribuan mahasiswa di berbagai kota kembali turun ke jalan. Aksi perdana pada Kamis, 19 September 2019 di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mencuri perhatian.
Tak ada yang mengira, Senin, 23 September 2019, mahasiswa di Jakarta dan sekitarnya berbondong-bondong berangkat ke Senayan. Sementara itu, aksi yang sama dilakukan serentak di berbagai kota di Indonesia.
Mulai dari Bukittinggi, Surabaya, Malang, Pontianak, Makassar, dan wilayah lain. Mereka masih menyerukan tuntutan yang sama yakni meminta penundaan pengesahaan sejumlah undang-undang, membatalkan pengesahan revisi UU KPK dan calon pimpinan KPK terpilih, termasuk juga masih menyoroti kasus kekerasan yang terjadi di Papua.
Tapi, ada yang unik dalam aksi besar yang digelar para mahasiswa di berbagai kota ini. Selain mengusung isu dan tuntutan, para mahasiswa yang notabene milenial dan generasi Z ini menyegarkan aksi unjuk rasa dengan baliho dan poster-poster yang menggelitik, lucu, namun tetap sarat kritik.
Misalnya, poster bertuliskan 'Terimakasih DPR, sudah memelihara fakir miskin, dan anak terlantar memelihara di penjara". Ada juga poster yang menulis DPR sebagai lembaga "pekok". Ada juga yang memamerkan tulisan "Negara tak pernah memfasilitasi rindu, tapi mereka ikut campur ketika kita bertemu".
Lalu, ada juga poster sebagai bentuk dukungan terhadap KPK yang dianggap dilemahkan dengan revisi UU. Bunyi poster yang dibentangkan itu seperti 'Cukup Cintaku yang Kandas Jangan KPK'.
Poster-poster ini membuat aksi unjuk rasa terkesan segar dan menyenangkan, jauh dari kesan sangar, kaku, dan menakutkan karena akrab dengan kekerasan.
Poster-poster bernada humor, namun pesannya mampu menohok itu menjadi penyegar mata dan merilekskan suasana demonstrasi yang dilakukan di tengah terik Matahari. Ketegangan yang biasa muncul setiap kali terjadi aksi demonstrasi terasa lebih ringan dengan hadirnya poster dengan kalimat sederhana namun mengundang tawa.
Gabungan Kreativitas di Media Sosial
Pengamat sosiologi dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, menjelaskan, pesan bernada humor namun memiliki pesan yang kuat itu adalah bagian dari anak-anak muda yang mampu memanfaatkan ruang untuk membangun kreativitas. Politik yang selama ini selalu menimbulkan kesan erat dengan ketegangan mereka tepis dengan cara yang ringan, kreatif, namun sarat makna.
Anak-anak muda itu, menurut Arie, ingin menyampaikan bahwa politik tak mesti disampaikan dengan cara kasar dan kotor. Arie juga menilai, apa yang dituangkan dalam bentuk poster oleh anak-anak muda itu adalah ekspresi yang selama ini terakumulasi di media sosial.
"Jika selama ini mereka hanya menyampaikan protes dan kritik mereka melalui media sosial, karena ini mereka tuangkan dalam bentuk poster ketika mereka merasa sudah waktunya turun ke jalan," ujar Arie kepada VIVAnews, Selasa, 24 September 2019.
Menurut Arie, dengan cara penyampaian yang lebih ringan, mahasiswa tak terlalu tergerak untuk melakukan tindakan anarkisme. Sosiolog UGM tersebut mengakui cara kritik yang lebih santai itu justru memberi pesan baru bahwa ada anak-anak muda yang mampu memadukan kritik dengan estetik dan keindahan.
"Problemnya adalah, apakah pesan-pesan tersebut mampu ditangkap publik sebagai sebuah critical mass. Karena pesan-pesan tersebut memang disampaikan dengan cara yang lebih ringan, padahal substansi pesannya sangat mengena," Arie menjelaskan.
Bagi Arie, setiap orang menghadapi berbagai problem sosial, termasuk anak-anak milenial dan generasi Z. Mereka selama ini memilih media sosial sebagai sarana mereka untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah dan DPR. Tapi kali ini, mereka melakukan cara berbeda dengan ikut ambil bagian dari mereka yang turun ke jalan.
Kreativitas mereka tak berhenti. Melalui poster untuk demonstrasi, ide-ide segar yang biasanya disampaikan melalui media sosial kali ini dituangkan dalam bentuk tulisan nyata.
Arie menjelaskan, meski turun ke jalan, kelompok ini sadar mereka tak ingin misi kritik dan misi perbaikan yang mereka bawa terseret dalam rawa-rawa politik, yang bisa membuat mereka semakin tenggelam jika mereka berusaha masuk. Kritik dengan cara satire itu justru mendaratkan politik yang selama ini terbangun dengan image keras dan kasar menjadi lebih membumi.
Memang ada anak-anak muda lain yang mempertahankan cara lama, tapi nanti publik yang akan segera menentukan, siapa yang paling banyak disukai. Fenomena media sosial memperlihatkan dengan cepat, bagaimana respons publik pada sebuah masalah. Jangan dilihat seberapa jauh kritik itu disampaikan, tapi lihatlah apakah kritik itu bisa membawa perubahan.
Ketika Politik Tak Lagi Kaku dan Provokasi
Adi Prayitno, pengamat politik yang juga direktur eksekutif Parameter Politik Indonesia mengaku terhibur dengan cara generasi yang sekarang ikut aksi dengan penggunaan bahasa yang lucu. Menurut Adi, hal tersebut menunjukkan, generasi milenial dan generasi Z sudah mulai engage dengan isu politik dan sosial kemasyarakatan.
Penggunaan bahasa yang sederhana, namun menokok menjadi ciri khas milenial dan generasi Z. Mereka menggunakan kalimat yang mudah dicerna, namun kena substansinya. Bahasa dan analogi yang digunakan juga penuh humor tentang apa yang dihadapi sehari-hari.
Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang menggunakan bahasa yang akademis dan provokatif, yang menampakkan kesan politik adalah sesuatu yang sangat serius dan kaku.
Meski disampaikan dengan kalimat yang santai dan jenaka, inti yang mereka sampaikan sama. Kelompok ini tetap memiliki perhatian atas masalah yang sedang bergolak saat ini.
Mereka bagian dari kelompok yang tak ingin campur tangan negara dalam ranah privat menjadi dominan, mereka juga bagian dari publik yang berharap jangan sampai RKUHP memberangus demokrasi.
Anak-anak muda ini mulai terikat dengan isu politik, namun mereka menggunakan bahasa yang rileks dan dekat dengan keseharian. Jadi bahasa tersebut lebih kena.
Buat mereka, menyampaikan kritik tak harus dengan cara hitam atau putih, atau bahasa yang keras. Itu sebabnya dengan kreatif mereka mengemas ungkapan.
Menurut Adi, kondisi ini sebenarnya bisa juga dikatakan sebagai bagian dari industri kreatif saat ini. Tak perlu terikat dengan bahasa, tapi terasa menyakitkan karena mereka memilih kata dan analogi yang pas.
"Sebenarnya ini model baru industri pergerakan mahasiswa dalam menyampaikan kritikannya," ujar Adi.
Meski mahasiswa sudah menggunakan bahasa yang lucu dan santai, tak berarti mereka akan terhindar dari aksi kekerasan. Sebab, aparat tetap melakukan represi ketika membubarkan mereka. Dalam demonstrasi Selasa sore, 24 September 2019, bentrokan akhirnya terjadi.
Adi melanjutkan, hal tersebut terjadi karena berbagai alasan. Pertama, dalam batas tertentu aparat sudah tak bisa lagi menoleransi waktu yang diberikan. Izin demo itu biasanya berakhir pukul 18.00 WIB.
Jadi, kalau sudah lewat izin masih ada demo, polisi akan mengambil tindakan. Tapi biasanya juga diberikan toleransi hingga pukul 21.00 WIB.
Begitu juga jika massa mahasiswa merusak fasilitas publik seperti tembok, pagar dan lainnya. Maka polisi dipastikan akan melakukan tindakan represif.
"Padahal polisi Indonesia sekarang sudah mengalami reformasi besar-besaran. Salah satunya adalah melakukan tindakan persuasif setiap menghadapi demonstrasi. Tapi itu semua ada batas toleransinya," tutur Adi.
Adi mencontohkan aksi mahasiswa yang dilakukan pada Senin, 23 September 2019. Menurutnya, aksi mahasiswa yang sempat memaksa masuk akhirnya berhasil dibubarkan sekira pukul 22.00 WIB, tanpa kekerasan. Meski tak bisa memastikan apa negosiasi yang ditawarkan oleh polisi pada mahasiswa, tapi Adi yakin ada penawaran dari polisi.
Hal kedua, menurut Adi, pilihan menjadi aktivis artinya memiliki konsekuensi untuk berhadapan dengan aparat, untuk berhadapan dengan hukum, dengan intimidasi, tekanan, dan ancaman.
"Dalam logika demonstrasi, pilihan menjadi aktivis butuh iman politik yang kuat. Bukan kaleng-kaleng," ujarnya.
Meski bergaya santai dan penuh humor, tapi mahasiswa dari generasi milenial dan generasi Z ternyata militan. Mereka bisa memilih menghentikan aksi, namun itu tidak mereka lakukan.
Meski mendapat cercaan, tapi hingga Rabu dini hari, 25 September 2019, situasi di sekitar gedung DPR dikabarkan masih rusuh. Bentrokan dan aksi pembakaran masih terjadi. (art)