Gonjang-ganjing Revisi UU KPK

Pekerja membersihkan gedung KPK di Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVAnews - Di tengah ramainya isu soal Papua, pemindahan ibu kota RI dari Jakarta ke Kalimantan Timur, dan juga polemik pemilihan calon pimpinan KPK, publik di Tanah Air dikejutkan dengan satu isu lain yang tidak kalah krusiual yaitu revisi UU KPK.

Harun Masiku Ganti Status Kewarganegaraan? KPK Enggan Berandai-andai

Berita tersebut muncul kurang lebih satu pekan yang lalu. Ketika itu, beredar surat undangan sidang paripurna DPR soal usulan Badan Legislasi DPR yang akan mengusulkan revisi UU KPK sebagai usul inisiatif DPR. Surat tersebut tertanggal, Rabu 4 September 2019.

Dalam surat tersebut disebutkan bahwa pendapat fraksi-fraksi terhadap RUU Usul Badan Legislasi DPR RI tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 30/2002 tentang KPK dilanjut dengan Pengambilan Keputusan menjadi RUU usul DPR RI. Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, lantas membenarkan mengenai revisi UU KPK itu akan dibahas dalam sidang paripurna keesokan harinya.

KPK Belum Tahu Ada Pegawainya Bocorkan OTT Harun Masiku

Meskipun baru ramai sepekan ini, sebenarnya rencana revisi UU KPK telah bergulir sejak 2014. Isu yang muncul dalam revisi ini di antaranya soal pembentukan dewan pengawas dan penyadapan. Tapi, setiap kali masalah ini muncul, hampir selalu menjadi sumber polemik, atau pro kontra di kalangan masyarakat.

Empat Poin

Penyidik KPK Cecar Ronny Sompie soal Perlintasan Harun Masiku

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu, menuturkan soal usulan Badan Legislasi (Baleg) untuk merevisi UU KPK menjadi usul DPR sudah dibahas dan lama di Baleg. Apalagi, sejak 2017, baik pemerintah maupun DPR sudah menyepakati empat hal soal revisi UU KPK yaitu soal penyadapan, dewan pengawas, kewenangan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan pegawai KPK.

Masinton mengatakan UU KPK sudah berusia 17 tahun sejak tahun 2002. Maka DPR bersama pemerintah punya kewenangan untuk mereview, melakukan legislasi review terhadap seluruh produk perundangan-undangan, termasuk UU KPK.

Masinton Datangi KPK

Menurutnya, UU tersebut perlu dipertanyakan apakah masih kompatibel sesuai dengan perkembangan zaman. Sebab, ia ingin penegakan hukum ke depan memiliki suatu kepastian, keadilan dan kemanfaatan.

"Ini kan semua memberikan suatu kepastian terhadap proses penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK dalam hal pemberantasan korupsi," kata Masinton, Rabu 4 September 2019.

Ia mencontohkan soal pemberian kewenangan SP3, sampai saat ini ada beberapa kasus di KPK yang tidak jelas statusnya. Sebab tidak dibawa ke pengadilan tapi juga tak bisa dihentikan karena KPK tak memiliki kewenangan SP3.

"Itu ada yang tersangka bertahun-tahun. Ya salah satunya emang itu, poin SP3. Iya, itu kan tentu sudah menjadi kesepakatan di baleg kan (usul inisiatif DPR). Insya Allah (lancar)," kata Masinton.

Dalam kesempatan lain, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengungkap sejumlah nama yang mengusulkan revisi UU KPK. Di antaranya adalah dia sendiri, Risa Mariska dari anggota fraksi PDIP, Achmad Baidowi dari fraksi PPP, Taufiqulhadi dari Nasdem, Saiful Bahri dari Fraksi Golkar dan Ibnu Multazam dari PKB.

Sedangkan, kolega Masinton di Komisi III, Arsul Sani, menambahkan satu poin lagi yakni soal kedudukan KPK. Arsul mengatakan Mahkamah Konstitusi memutuskan KPK masuk dalam ruang lingkup eksekutif. Ia ingin posisi KPK sebagai lembaga penegak hukum yang punya independensi.

Kemudian, soal status kepegawaian KPK. Arsul menjelaskan dari RUU status kepegawaian KPK dimasukkan ke dalam rumpun ASN sehingga meski berlaku prinsip ASN, ada pengecualian.

Pro dan Kontra

Polemik atau pro dan kontra pun langsung mengemuka ke publik. Sejumlah kalangan menyatakan ketidaksetujuannya atas rencana revisi UU KPK tersebut.

Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, menilai belum waktunya Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK direvisi. Terlebih, DPR tak pernah memberitahu ataupun mengajak KPK dalam mengkaji substansi RUU tersebut.

"Yang jelas KPK tidak membutuhkan perubahan UU KPK," kata Laode kepada awak media, Kamis, 5 September 2019.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, menegaskan instansinya tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan revisi Undang-Undang KPK. Karena itu, mereka sangat menolak paripurna RUU KPK tersebut.

Febri mengatakan berbagai upaya revisi UU KPK yang sebelumnya sudah terjadi cenderung melemahkan kerja pemberantasan korupsi. Dia menyampaikan dengan UU yang ada sekarang, upaya-upaya bidang penindakan justru bisa berjalan dengan baik.

Pernyataan lebih keras disampaikan oleh Ketua KPK, Agus Rahardjo. Dia menyebut saat ini KPK berada di ujung tanduk.

Bukan tanpa sebab. Semua kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini, kata dia, membuat mereka harus menyatakan kondisi yang sesungguhnya kepada publik.

Agus mengungkapkan adanya capim bermasalah akan mengganggu agenda pemberantasan korupsi. Setidaknya, capim bemasalah akan membuat KPK tersandera dan sangat rentan diganggu oleh berbagai pihak.

Selain itu, menurut Agus, terdapat sedikitnya sembilan poin yang terdapat dalam draf RUU KPK usulan DPR yang berisiko melumpuhkan kerja KPK.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo

Sembilan poin itu, yakni terancamnya independensi KPK, dibatasinya penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, dibatasinya sumber penyelidik dan penyidik, dan penuntutan perkara korupsi yang harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.

Poin lainnya yang dipandang akan melumpuhkan kerja KPK yakni tidak adanya kriteria perhatian publik sebagai perkara yang dapat ditangani KPK, dipangkasnya kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan serta dihilangkannya kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan. Kemudian, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

Tidak hanya melalui capim bermasalah dan revisi UU KPK, upaya pelumpuhan Lembaga Antikorupsi juga dilancarkan melalui RUU KUHP. Saat ini, DPR tengah menggodok RUU KUHP yang akan mencabut sifat khusus dari tindak pidana korupsi sehingga keberadaan KPK terancam.

Agus menambahkan lembaganya menyadari DPR memiliki kewenangan untuk menyusun RUU inisiatif dari DPR. Tapi, KPK minta DPR tidak menggunakan wewenang ini untuk melemahkan dan melumpuhkan KPK.

Selain itu, KPK juga berharap Presiden Jokowi dapat membahas terlebih dulu bersama akademisi, masyarakat dan lembaga terkait untuk memutuskan perlu atau tidaknya merevisi Undang Undang KPK dan KUHP tersebut. Hal ini lantaran RUU KPK inisiatif DPR tersebut tidak akan mungkin dapat menjadi undang-undang jika Jokowi menolak dan tidak menyetujui RUU tersebut karena UU dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan Presiden.

"KPK percaya, Presiden akan tetap konsisten dengan pernyataan yang pernah disampaikan bahwa Presiden tidak akan melemahkan KPK," kata Agus dalam konferensi pers di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 5 September 2019.

Demonstrasi menolak revisi UU KPK.

Secara umum, apa yang dikhawatirkan pimpinan KPK itu mendapat dukungan dari sejumlah pihak, di antaranya adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Bahkan, menurut mereka, mahasiswa fakultas hukum tertawa jika membaca draf revisi UU KPK.

Namun, suara berbeda disampaikan mereka yang setuju atas revisi UU KPK. Misalnya saja Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah.

Fahri mengatakan bila pemerintah setuju maka UU KPK akan berhasil direvisi. Apalagi, soal revisi itu sudah ditunggu 15 tahun lamanya.

Dia mengakui revisi UU KPK memang menjadi persoalan lama sekali. Menurutnya, permintaan revisi sudah datang dari banyak pihak termasuk dan terutama dari pimpinan KPK.

Fahri Hamzah.

Dia menyebut penjelasannya karena merujuk pengalamannya rapat konsultasi dengan Presiden Jokowi. Ia mengklaim Jokowi setuju dengan revisi ini karena atas dasar permintaan sejumlah pihak.

"DPR saya kira tak pernah berhenti karena saya sendiri pernah menghadiri rapat konsultasi dengan Presiden, dan Presiden sebetulnya setuju dengan pikiran mengubah UU KPK sesuai dengan permintaan banyak pihak. Termasuk pimpinan KPK, para akademisi dan sebagainya," kata Fahri, Jumat 6 September 2019.

Fahri berpendapat lembaga kuat seperti KPK memang perlu memiliki Dewan Pengawas. Jika tidak maka akibatnya banyak sekali.

Selanjutnya, soal usul adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), Fahri menjelaskan, saat ini banyak kasus orang jadi tersangka seumur hidup karena KPK tak bisa mengeluarkan SP3. Padahal, seharusnya semua manusia termasuk penyidik KPK mungkin keliru.

Menurutnya, pasal-pasal yang diubah itu sudah merupakan permintaan semua orang. Ia mencontohkan lagi di dalam KPK banyak penyidik liar dan penyidik yang bekerja insubordinasi.

Selain Fahri, mereka yang mendukung adanya revisi UU KPK adalah mantan pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji. Dia mengatakan bahwa lembaga superbody seperti KPK perlu memiliki Dewan Pengawas seperti halnya Mahkamah Agung, Polri, dan Kejaksaan. Maka, ia menganggap sangat wajar dalam revisi UU KPK muncul usulan pembentukan Dewan Pengawas.

Satu lagi adalah anggota Komisi III dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan. Dia malah menegaskan bahwa revisi undang-undang KPK dilakukan atas permintaan dan keinginan lembaga anti rasuah itu sendiri. DPR hanya mendukung produk legislasi tersebut.

Arteria menekankan Komisi III setelah mendapat permintaan itu langsung meminta pimpinan KPK untuk menjelaskan bagian mana saja dari undang-undang dari KPK yang perlu penguatan. Sehingga poin-poinnya yang direvisi merupakan atas usulan KPK itu sendiri.

Jokowi Harus Tegas

Atas polemik yang muncul mengenai revisi UU KPK itu, Presiden Joko Widodo pun memberikan respons. Dia meminta DPR memiliki semangat yang sama untuk memperkuat komisi antirasuah itu.

"Yang jelas, saya kira kita harapkan DPR mempunyai semangat yang sama untuk memperkuat KPK," kata Presiden Jokowi, di sela meninjau pabrik mobil Esemka, di Boyolali, Jawa Tengah, Jumat 6 September 2019.

Presiden Jokowi

Meski sudah diputuskan untuk direvisi, Jokowi kembali menegaskan belum menerima dan mempelajari poin revisi yang diinginkan DPR. Maka, Jokowi belum bisa memberi sikap terkait munculnya pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.

Meskipun, setidaknya ada empat poin yang akan direvisi. Baik itu soal fungsi dewan pengawas yang makin diperkuat, penghentian penyidikan, hingga penyadapan yang dibatasi. Jokowi belum mau berspekulasi, apakah hal-hal itu sebagai bentuk pelemahan KPK.

"Saya belum ngerti, jangan mendahului seperti itu," kata mantan wali kota Solo itu.

Sedangkan, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim menilai, ketakutan masyarakat terhadap upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena undang-undangnya akan direvisi, masih terlalu jauh.

Ifdhal yang juga mantan Ketua Komnas HAM itu mengatakan, sebenarnya usulan revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sudah lama. Pada paripurna DPR kemarin, baru sebatas usulan bahwa itu menjadi inisiatif DPR.

Ifdhal menilai ketakutan-ketakutan akan terjadinya pelemahan terhadap KPK, tidak perlu terjadi. Mengingat, menurut dia, perjalanannya masih sangat panjang untuk bisa dihasilkan undang-undang baru hasil revisi.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Nurhasan Ismail, ikut berkomentar dalam pusaran bola panas yang sudah digulirkan Badan Legislasi DPR itu.

“Isu perubahan UU KPK bisa dinilai memperkuat atau melemahkan KPK tergantung substansi perubahan. Karena itu harus dicermati satu persatu sehingga bisa dinilai sebagai penguatan atau sebaliknya,” kata Nurhasan kepada wartawan, Minggu, 8 September 2019.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa poin-poin yang direvisi oleh Masinton cs perlu dicermati dari kacamata berbeda. Bisa jadi perubahan UU tersebut sebagai pelurusan kinerja KPK dan bukan pelemahan KPK.

Presiden Jokowi

Meski demikian, Presiden Jokowi tetap diminta untuk memperhatikan keluhan dan kekhawatiran masyarakat terkait upaya pelemahan KPK melalui revisi UU. Hal itu diungkapkan oleh Juru Bicara Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, di Medan, pada Minggu 8 September 2019.

Dahnil menilai sosok pemimpin seperti Jokowi dituntut untuk tegas menunjukkan komitmen memperkuat KPK, dan memberantas korupsi di negeri ini. Karena, korupsi ini menjadi musuh bersama untuk dihanguskan. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya