Bayang-bayang Tsunami 20 Meter

Warga berjalan di dekat rambu peringatan bencana tsunami.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

VIVA – Informasi mengenai adanya potensi gempa megathrust bermagnitudo 8,8 dan disertai tsunami dengan ketinggian mencapai 20 meter di wilayah Selatan Jawa ramai menjadi perbincangan di media sosial sejak pekan lalu. Ancaman serupa ternyata juga dihadapi daerah-daerah lain.

Namun, apa sebenarnya megathrust? Begini, lempeng di Bumi ada beberapa jenis. Dua di antaranya adalah lempeng benua dan lempeng samudera. Lempeng benua lebih tebal daripada lempeng samudera. Karena lebih tipis, lempeng samudera akan masuk ke dalam lempeng benua saat bertabrakan.

Lempeng samudera yang masuk ke dalam lempeng benua itu bisa menimbulkan getaran kuat, yang disebut dengan gempa megathrust.

Phil Cummins, selaku pimpinan ilmuwan Geoscience Australia dan guru besar bidang Bencana Alam dari Research School Earth Sciences, Universitas Nasional Australia, menyebut beberapa jenis gempa yang masuk kategori megathrust.

Gempa di Aceh pada 2004, gempa di Jepang pada 2011, dan gempa di Chili pada 2012. Ketiga, menurut Cummins, adalah contoh dari gempa megathrust. Potensi-potensi gempa megathrust yang berskala antara 8-9 skala richter (SR) ada di Indonesia, tepatnya di selatan Selat Sunda.

"Namun, untuk memprediksi suatu gempa dan tsunami belum ada teknologinya. Baru sekadar memprediksi potensi-potensi gempa ada di setiap wilayah," kata Cummins.

Jakarta terancam

Ia lalu memberi contoh gempa Tohoku yang terjadi di Jepang pada 2011. Kala itu, para ahli hanya memprediksi kekuatan gempa yang bisa terjadi adalah 8,5 SR. Namun yang terjadi sebenarnya mencapai 9 SR. Itu bisa diartikan kekuatan gempa Bumi sama sekali tidak bisa diprediksi.

Pakar Tsunami Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Widjokongko, mengatakan megathrust berpotensi menciptakan gempa dan tsunami dahsyat.

Gempa Magnitudo 5,0 Guncang Buol Sulteng, BMKG Ungkap Penyebabnya

Sebelumnya, Widjo, membuat pemodelan bencana dengan fokus ke daerah Selatan Jawa dan menemukan gempa bermagnitudo 8,8 dan tsunami dengan tinggi 20 meter berpotensi terjadi di daerah itu.

Ia menekankan, Indonesia memiliki 16 segmen megathrust yang mencakup Pulau Sumatera, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), juga Laut Banda. Maka dari itu, daerah-daerah tersebut juga menghadapi ancaman serupa.

Pemkab Tangerang Turunkan Tim Ahli Tangani Longsor dan Tanah Ambles

Widjo mengaku bahwa pemodelan itu berdasarkan pada data "Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017", yang disusun oleh Pusat Studi Gempa Nasional Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Pemukiman.

"Biasanya (gempa) terjadi di daerah subduksi atau pertemuan lempeng-lempeng. Kalau di Selatan Jawa, ya, pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang (bergerak) tujuh centimeter per tahun," ujar Widjo.

Curah Hujan Masih Tinggi, BMKG Imbau Warga Waspada Pergeseran Tanah di Lokasi Longsor Tangerang

Ancaman Megathrust ini bukan kali pertama menjadi perbincangan publik. Pada awal Maret 2018, sebuah informasi menyebar ke warga Jakarta. Ibu kota Indonesia ini terancam hancur akibat guncangan gempa besar yang diprediksi bisa mencapai magnitudo hingga 8,7.

Informasi itu mencuat setelah Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bersama Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (IKAMEGA) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggelar diskusi bertema, "Gempa Bumi Megathrust 8,7, Siapkah Jakarta?"

Mitigasi tepat

Menurut Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, apa yang disampaikan dalam diskusi tersebut adalah kajian dari tim ahli, yaitu Tim Pemutakhiran Peta Gempa Nasional.

Ia mengaku pada 2012 tim ini sebenarnya sudah mengemukakan bahwa zona megathrust di selatan Pulau Jawa mampu membangkitkan gempa bumi berkekuatan Magnitudo 8,1.

Data tersebut juga diperkuat oleh sebuah disertasi doktor dari Rahma Hanifa (2014) di Nagoya University yang berjudul “Interplate Earthquake Potential off Western Java, Indonesia, Based on GPS Data". Disertasi itu menyebutkan, zona megathrust selatan Jawa Barat dan Banten berpotensi memicu gempa dengan magnitudo 8,7.

"Terakhir, hasil kajian Pusat Studi Gempa Nasional-PUSGEN (2017) dalam buku “Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017” juga mengungkap bahwa zona Megathrust selatan Jawa Barat dan Banten memiliki potensi gempa dengan magnitudo maksimum 8,8," ujar Daryono.

Ia pun mengimbau, karena megathrust tidak bisa diprediksi maka perlu dilakukan adalah upaya mitigasi yang tepat, menyiapkan langkah-langkah kongkrit yang perlu segera dilakukan untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa.

"Seandainya gempa benar-benar terjadi, khususnya dengan cara menyiapkan kesiapan masyarakat maupun inftrastrukturnya," katanya. Ia menambahkan, wilayah Indonesia yang terletak di zona pertemuan lempeng tektonik aktif, maka Indonesia menjadi wilayah yang rawan gempa.

"Hal ini perlu dipahami bersama oleh seluruh masyarakat. Kami juga mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terpancing isu yang beredar," tutur dia.

'CLBK'

Selain itu, Indonesia memiliki sistem peringatan dini yang dapat membantu masyarakat sekitar pesisir untuk segera mengamankan diri ketika potensi gelombang tsunami muncul. “Kita punya sistem peringatan dini InaTEWS yang bekerja 24 jam,” klaim Daryono.

Tak hanya mengandalkan sistem peringatan dini, masyarakat juga bisa menjadikan gempa besar yang terjadi sebagai acuan awal untuk menjauh dari kawasan pesisir pantai.

Terakhir, untuk melancarkan proses mitigasi bencana, jika benar gempa besar dan tsunami terjadi, masyarakat diminta untuk mendukung dalam hal pembangunan tata ruang yang ada. "Penataan ruang harus dibenahi. Jangan membuat bangunan yang nempel-nempel di pantai, tapi agak menjauh dari pantai,” jelas Daryono.

Ia mengatakan, masih banyak bangunan yang berlokasi dekat dengan garis pantai. Karena itu, BMKG akan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk siap menghadapi potensi gempa dan tsunami yang bisa terjadi kapan pun.

Pakar Geologi Surono mengatakan, ancaman dampak dari gempa besar pada Jakarta sebenarnya adalah hal lama. Ia menyebutnya sebagai CLBK alias Cerita Lama Berulang Kali. Pria yang akrab disapa Mbah Rono ini menyesalkan, ancaman soal gempa besar terus diulang, namun tak ada langkah konkret untuk mengantisipasinya.

Ia menuturkan, cerita tentang gempa besar landa Jakarta (dulu bernama Batavia) sudah dimulai pada 1699. Mbah Rono juga mengatakan, data gempa besar di Jakarta itu dilacak dari dokumen Belanda, salah satunya dari katalog gempa Arthur Wichman.

Ancaman megathrust

Katalog itu disusun Wichman untuk disertasinya di Royal Academy of Sciences in Amsterdam pada 1918, di mana dalam katalog itu disebutkan gempa amat kuat dirasakan di Batavia pada 5 Januari 1699 sekitar pukul 01.30 dinihari saat hujan lebat.

"Merobohkan banyak bangunan, menyebabkan longsor besar di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak. Banjir bandang berisi lumpur dan kayu di Sungai Ciliwung di Batavia, mengalir ke laut," kata Mbah Rono.

Selain itu, gempa kuat juga terjadi di Batavia pada 1780. Kekuatan gempa diperkirakan lebih dari 8 MMI atau Modified Mercalli Intensity. Gempa tersebut kemungkinan bersumber Sesar Baribis atau bisa juga dari interslab.

Kemungkinan lebih besar dari Sesar Baribis, membujur di Majalengka, Kuningan dan seterusnya ke Barat-Timur. "Jakarta itu, ada jarum satu saja ributnya minta ampun," ujarnya. Kendati demikian, Mbah Rono menegaskan cerita gempa Megathrust ini menjadi CLBK yang cengeng karena berulang-ulang tanpa tindakan nyata.

Menurut Subardjo dari Ikatan Alumni Akademi Metereologi dan Geofisika (IKAMEGA), ancaman gempa besar itu potensinya sudah lama muncul. Ia bersama dengan tim dari Jepang sudah melakukan penelitian soal ancaman megathrust sejak 1986.

"Tahun 1986, kami melakukan penelitian geofisika selama 40 hari di selatan Jawa, menyusuri Lautan Hindia dari Jawa sampai Bali, dan memasang alat seismograf juga," tuturnya.

Subardjo mengatakan, ada dua ancaman Megathrust yang perlu diwaspadai, yaitu Megathrust Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan Megathrust Selat Sunda. "Keduanya memiliki potensi magnitude 8,7. Dan, selama 30 tahun ahli dari Jepang meneliti itu," ujarnya.

20-20-20

Pada kesempatan terpisah, Pelaksana Harian Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo, mengimbau warga untuk tidak panik, tapi tetap siaga untuk menghadapi gempa besar.

Ia menyebut warga harus tahu jalur evakuasi di wilayahnya juga barang-barang apa yang harus mereka bawa kala bencana terjadi. "Bangunan juga disiapkan. Jangan sampai kalau kena gempa ambruk. Paling aman pakai kayu atau pake struktur beton yang tahan gempa," ujarnya.

Agus juga meminta warga menerapkan prinsip 20-20-20, yakni jika warga merasakan gempa selama 20 detik, warga harus segera evakuasi dalam waktu 20 menit, ke bangunan yang ketinggiannya minimal 20 meter.

Saat ini, BNPB tengah melaksanakan kegiatan Desa Tangguh Bencana (Ekspedisi Destana) pada lebih dari 500 desa sepanjang Pantai Selatan Jawa. Program yang berlangsung hingga 16 Agustus itu ditujukan untuk mempersiapkan warga untuk menghadapi tsunami. Program serupa akan dilaksanakan di luar Pulau Jawa tahun depan. (hd)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya