Menyadap WhatsApp

Ilustrasi WhatsApp.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Keberadaan media sosial diakui telah membongkar batas-batas pergaulan dan usia dalam berinteraksi yang sebelumnya masih menyisakan sekat norma dan etika. Namun tanpa disadari kebebasan ini telah mendorong tumbuhnya budaya baru bernama kekerasan dan perpecahan, meski di dunia virtual.

Ujaran kebencian (hate speech), rasisme, dan informasi bohong (hoax) begitu mudahnya bertebaran. Pola dan sikap mendorong kekerasan dan perpecahan lewat teks, narasi, dan kata-kata ini menjadi hidangan rutin di media sosial. Salah satunya aplikasi pesan instan WhatsApp.

Bahkan, platform milik Facebook itu menjadi 'target operasi' Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri, lantaran maraknya tebaran hoax di sana. Hal ini dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, yang mulai melakukan patroli siber.

Kepala Subdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Komisaris Besar Rickynaldo Chairul menyebutkan penyebar hoax sudah mulai berpindah dari media sosial, seperti Facebook, Twitter dan Instagram, ke grup WhatsApp karena dinilai lebih aman dan tidak akan terendus aparat penegak hukum.

Padahal, kata dia, Polri saat ini juga sudah mulai masuk ke grup-grup WhatsApp. "Mereka, kan, berpikir menyebarkan hoax di grup WhatsApp itu lebih aman dibandingkan di media sosial. Karena itu kami melakukan patroli siber, selain di media sosial," kata Ricky.

Rumah Kaca

Menurut Direktur Eksekutif Information and Communication Technology Institute, Heru Sutadi, kalau berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa penyadapan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak privasi yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Kemudian, aturan penyadapan di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah dibatalkan dan diharuskan diatur dalam UU tersendiri yang mengatur penyadapan.

Cak Imin Dorong Kemensos Buka Posko-posko Pengaduan Judi Online

Ia kembali menjelaskan, hakim Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 membatalkan Pasal 31 ayat (4) UU ITE karena tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan, sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.

"Metode bagaimana mereka membaca data atau konten WhatsApp, itu perlu secara transparan disampaikan ke publik. Sebab, isu ini, kan, sudah lama beredar tapi selalu dikatakan pemerintah sebagai hoax," kata Heru kepada VIVA, Selasa malam, 18 Juni 2019.

Terpopuler: 9 Hal yang Harus Dihindari di Media Sosial Hingga 7 Manfaat Kopi Hitam Tanpa Gula

Ia mengungkapkan, lain halnya jika apa yang dilakukan tidak berupa penyadapan. Sebab, tidak ada larangan yang mengatur sepanjang tetap memperhatikan privasi pengguna. Heru menyebut percakapan di WhatsApp, baik pribadi maupun grup, tetaplah masuk ke ranah privasi.

"Kalau dibuka semua ke publik atau disadap, ya, kita seperti hidup di rumah kaca. Misalkan, ada tersangka ditangkap terus WhatsApp-nya dibaca. Mau bagaimana lagi," ungkapnya.

KPI Akui Tak Punya Kewenangan Tindak Konten Judi Online di Media Sosial

Sementara itu, pengamat media sosial, Rulli Nasrullah, mendorong pengguna agar bisa menahan diri jika memperoleh informasi yang didapat. Ia menyebutnya dengan 'Berhenti Sejenak'.

"Artinya, ketika kita menerima sebuah informasi maka kita harus berhenti dulu sejenak untuk berfikir jernih. Jangan buru-buru ditelan, jangan buru-buru di-share dan juga jangan buru-buru diakui sebagai sebuah kebenaran ataupun sebagai sebuah kesalahan,” tegas dia.

Dengan Syarat

Pada kesempatan terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara mendukung rencana Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, untuk patroli siber di grup WhatsApp. Sebelumnya, menurut kabar yang beredar, penyebaran informasi bohong atau hoax, trennya sudah beralih ke grup WhatsApp.

"Polri menyampaikan, kalau mereka akan masuk ke grup WhatsApp, apabila ada laporan dari masyarakat atau terdapat unsur kriminal. Polisi bisa masuk? Bisa, dengan syarat itu. Saya dukung," ujarnya.

Ia kemudian memberi contoh, ada 100 anggota di grup WhatsApp dan di dalamnya ada pembicaraan terkait kriminal atau penyebaran hoax. Namun, untuk bisa menyusup ke dalam grup, tidak bisa dilakukan sembarangan. Polisi dan Kominfo akan terlebih dahulu melakukan pengecekan.

"Tidak sembarangan, nanti di cek dulu. Masa, grup WhatsApp yang tenang-tenang saja terus dimasukkan. Polri juga kan sudah buat statement dan di situ dikatakan 'apabila'," katanya. Pria yang akrab disapa Chief RA ini menegaskan, patroli grup WhatsApp tidak akan bentrok dengan kinerja Mesin Sensor Internet atau AIS.

Rudiantara juga mengatakan patroli siber di grup WhatsApp dan mesin AIS memiliki proses yang sama, salah satunya untuk melacak media sosial. Tindakan ini bisa dilakukan, berdasarkan laporan masyarakat yang disebut dengan delik aduan.

Bisa juga menggunakan delik umum, yang tidak memerlukan aduan, asalkan memang berpotensi ke arah kriminal. "Hoax termasuk kriminal, bukan hanya pembunuhan dan pencurian saja. Ada juga perbuatan yang melanggar UU ITE. Boleh saja (patroli siber). Polisi punya hak," tutur dia.

Senada, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat mendukung patroli siber oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, Polri, dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) di aplikasi pesan instan WhatsApp.

Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha, jika hal itu tidak dilakukan maka persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia bisa terancam. "Saya dukung seratus persen filtering di konten media sosial," kata dia di Komisi I DPR, Jakarta, Selasa, 18 Juni 2019.

Bukan Mata-mata

Soal privasi, Satya mengaku hal itu penilaian dari pihak yang tidak suka dengan kebijakan tersebut. Namun, kata dia, yang paling penting adalah pengguna grup WhatsApp tahu dan paham mengenai konten apa yang bisa disebar dan tidak.

"Yang terpenting, lewat filtering ini mereka (pengguna) tahu bahwasanya, 'eh, WhatsApp sekarang tidak boleh menyebarkan konten yang begini'," ujar Satya. Selain itu, para pembuat konten di grup WhatsApp akan memiliki tanggung jawab atas kontennya. Mereka pun akan merasa terawasi secara otomatis.

Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri membantah melakukan pemantauan atau patroli siber terhadap grup media sosial WhatsApp.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengaku, bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bekerja sama secara periodik melakukan patroli siber di media sosial.

Ia mengatakan ketika menemukan akun penyebar informasi bohong (hoax), maka Polri akan memberi peringatan terlebih dahulu. Namun, jika penyebaran hoax dilakukan secara masif, pihaknya tidak segan-segan melakukan penegakan hukum.

"Jadi, tidak ada memata-matai WhatsApp, ya. Secara teknis, Ditsiber Bareskrim Polri bekerja sama dengan Kominfo dan BSSN secara periodik melakukan patroli siber. Intinya, kita kasih peringatan dulu jika suatu akun menyebar hoax. Kalau masih membandel, baru hukum ditegakkan," kata Dedi di Jakarta, Selasa, 18 Juni 2019.

Menurutnya, belajar dari kasus beberapa waktu lalu, Polri menjadikan bukti grup WhatsApp tersangka hoax setelah melakukan uji laboratorium forensik. Dedi menuturkan barang bukti penyebaran hoax di grup WhatsApp biasanya dilakukan setelah menyita telepon genggam tersangka.

“Ponsel tersangka kan diuji labfor. Nah, dari situ di cek, disebar ke grup WhatsApp mana saja dan siapa yang terlibat langsung dalam menyebarkan hoax. Jadi, bukan grup WhatsApp di tiap ponsel kita patroli,” jelasnya.

Bantu Pemerintah

Informasi saja, WhatsApp cukup memperhatikan keamanan dan privasi pengguna. Namun, aplikasi olah pesan ini juga bekerja sama dengan pemerintah dan polisi kapan pun jika diperlukan. WhatsApp juga telah berbagi pedoman bagi petugas penegak hukum yang mencari catatan dari sana.

Pada 2017, Direktur Komunikasi WhatsApp, Carl Woog, seperti dikutip dari News18, mengaku telah mengklarifikasi cara perusahaan menangani permintaan pemerintah akan informasi pengguna tertentu.

"Kami adalah bagian dari Facebook dan berkontribusi pada laporan transparansi. Secara umum, kami bekerja erat dengan pemerintah kapan pun diperlukan, jika ada insiden kritis atau ketika mereka (pemerintah) ingin menjangkau kami," klaim dia.

Akan tetapi, Woog melanjutkan, karena enkripsi end-to-end diaktifkan secara default, maka isi pesan tak bisa dilihat siapa pun kecuali pengirim dan penerima.

Ia menuturkan bahwa WhatsApp hanya memberi tahu pihak terkait bahwa aplikasi perusahaan tidak dapat menyediakan isi pesan karena obrolan dienkripsi dan secara resmi mengonfirmasi bahwa tidak ada pintu belakang untuk mencegat obrolan WhatsApp terenkripsi.

"Kami juga tidak pernah menyimpan obrolan di server. Bahkan sebelum memperkenalkan enkripsi end-to-end. Jadi, hanya pesan yang tidak terkirim yang sebelumnya disimpan di server WhatsApp, tapi secara otomatis dihapus setelah 30 hari," jelas Woog. (hd)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya