Manuver Demokrat Bubarkan Koalisi

Pertemuan SBY dan Prabowo Subianto di kawasan Kertanegara, Jakarta Selatan
Sumber :
  • Abror Rizki

VIVA – Kader Partai Demokrat kembali bermanuver. Kali ini mereka mengusulkan agar Prabowo Subianto segera membubarkan Koalisi Adil Makmur, koalisi partai pendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai pasangan calon bernomor urut 02 di Pilpres 2019. 

Ini bukan kali pertama partai tersebut melakukan manuver yang mempertontonkan seringnya mereka berseberangan pendapat dengan Prabowo Subianto dan parpol pendukung yang lain. Suasana Lebaran yang biasanya adem dan penuh maaf kali ini berubah. Situasi politik membuat Ramadan dan Idul Fitri seperti kehilangan kesyahduannya.

Sabtu, 8 Juni 2019, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Rachland Nashidik, mengeluarkan pernyataan yang membuat suasana politik kembali naik tensi. Melalui akun Twitternya, Rachland meminta agar Prabowo membubarkan Koalisi Adil Makmur. 

"Pak @prabowo, Pemilu sudah usai. Gugatan ke MK adalah gugatan pasangan Capres. Tak melibatkan peran partai. Saya usul, Anda segera bubarkan koalisi dalam pertemuan resmi yang terakhir. Andalah pemimpin koalisi, yang mengajak bergabung. Datang tampak muka, pulang tampak punggung," cuit Rachland pada Sabtu, 8 Juni 2019. 

Kepada media, Rachland mengklarifikasi cuitannya. Ia mengatakan, menyampaikan hal tersebut tanpa motif politik.

"Apa yang saya sampaikan adalah proposal politik yang tidak didasari motif politik. Non politically motivated political proposal. Sepenuhnya dituntun oleh keprihatinan terhadap akibat buruk dari Pilpres 2019 berupa polarisasi yang dalam dan tajam di akar rumput antara pendukung Pak Jokowi melawan pendukung Pak Prabowo," kata Rachland melalui keterangan tertulisnya, Senin, 10 Juni 2019.

Menurutnya, polarisasi yang terjadi di masyarakat sejak sewaktu-waktu bisa meledak menjadi konflik sosial. Ia menyadari usulannya akan terdengar bising di telinga dan dipandang sebagai indescent proposal apabila ditafsir dari sudut kepentingan kekuasaan politik semata-mata.

"Proposal saya membubarkan koalisi adalah cara saya menggedor nurani para elite di dua koalisi. Sampai hari ini mereka tak terdengar punya gagasan untuk mencegah benturan sosial yang saya cemaskan," tutur Rachland.

Ia menambahkan, proposalnya boleh dibuang, dituding punya ambisi atau kepentingan, atau dianggap angin lalu. Tapi, para pimpinan koalisi perlu segera datang dengan gagasan yang lebih baik untuk mengembalikan kedamaian dan menghentikan permusuhan di dalam masyarakat.

Sokongan SBY Dinilai Bakal Menguatkan Basis Suara ke Prabowo Subianto

"Sebagai pemimpin, mereka harus memikirkan keselamatan bangsa dari ancaman potensi konflik di antara sesama warga. Mustahil mereka tidak tahu atau tidak merasa bahwa ada polarisasi yang runcing di akar rumput yang menyimpan potensi benturan," ujar Rachland.

Manuver Demokrat untuk Siapa?

Belajar dari Pemilu 2019, Moeldoko Inisiasi Program Layanan Kesehatan Petugas Pemilu 2024

Tanah merah tempat Ani Yudhoyono dimakamkan mungkin belum kering dan masih penuh timbunan bunga ketika Prabowo Subianto datang menemui mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyampaikan duka cita. Usai bertemu SBY, Prabowo lalu berbicara kepada wartawan soal Ani Yudhoyono yang konsisten memilihnya dalam dua Pilpres, 2014 dan 2019. 

Pernyataan Prabowo membuat gestur SBY berubah. Ia buru-buru melakukan klarifikasi. SBY mengatakan, pernyataan Prabowo tidak pada tempatnya. Sebab, ia masih merasa berduka cita dan sangat kehilangan. Tidak elok membicarakan politik di tengah situasi yang penuh duka itu. 

Pengamat: SBY-Demokrat Modal Penting Bagi Prabowo Tantang Ganjar di Putaran Kedua Pilpres

Perbedaan pendapat Partai Demokrat dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno juga Koalisi Adil Makmur seperti tak pernah usai. Nyaris dua bulan berlalu sejak Pemilu 2019 digelar.

Politik pascapilpres nyaris tak pernah turun tensi. Situasi itu memang terlihat di sebagian parpol pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Setelah kemenangan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, dukungan sebagian parpol koalisi pada pasangan Prabowo-Sandi terlihat menyurut. Terutama Partai Demokrat, yang sejak awal bergabung acap terlibat beda pendapat dengan yang didukungnya. 

Hanya berselang hari setelah Prabowo menyatakan pilihan Almarhumah Ani Yudhoyono kepadanya, kader partai berlambang bintang mercy kembali melakukan manuver. Di hari raya Idul Fitri, beredar foto dua anak SBY dan menantunya bersama Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, dan Prananda.

Tapi, hingga tulisan ini diturunkan belum terlihat foto Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) bersama Prabowo atau Sandiaga. 

Tak selesai dengan foto itu, pada Kamis, 6 Juni 2019, politikus Partai Demokrat, Andi Arief, melalui akun Twitternya meminta koalisi 02 berhenti menyalahkan SBY, AHY, dan Partai Demokrat sebagai penyebab kekalahan mereka. Andi menyebutkan, kekalahan Prabowo-Sandi terjadi justru karena tak mau mendengarkan saran dari Demokrat, agar tak memilih Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden.  

Hanya selisih dua hari, berikutnya giliran Rachland Nashidik juga mengeluarkan pernyataan yang oleh kubu paslon 02 dianggap menyudutkan mereka. Melalui akun Twitternya @RachlandNashidik, ia meminta agar Prabowo membubarkan Koalisi Adil Makmur. 

Sikap tak sejalan Partai Demokrat dengan Prabowo dan Koalisi Adil Makmur juga ditunjukkan SBY. Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan rekapitulasi suara, SBY menyatakan partainya menerima hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu itu. Pengumuman itu lalu disusul pertemuan Agus Harimurti Yudhoyono dengan Jokowi. 

Benarkah Pecah?

Pernyataan SBY yang menerima hasil pemilu, pertemuan AHY dan Jokowi, kedatangan AHY dan Ibas bersilaturahmi ke Megawati dan Puan, juga pernyataan Rachland dan Andi Arief seperti melengkapi kepingan isu tentang retaknya hubungan Partai Demokrat dan Koalisi Adil Makmur. 

Kepala Divisi Advokasi dan Hukum DPP Demokrat, Ferdinand Hutahaean, mengatakan tak menampik pihaknya menjaga jarak dengan koalisi 02. Salah satu alasannya, karena perbedaan pandangan dengan elite Badan Pemenangan Nasional (BPN) dalam menyikapi pengumuman rekapitulasi pilpres.

"Iya, jadi memang dinamika koalisi 02 sebulan terakhir cepat berubah. Sejak KPU umumkan hasil rekapitulasi 21 Mei lalu, banyak suara berbeda dengan elite 02. Seperti soal people power dan ini sangat tidak disetujui Pak SBY. Pak SBY memberikan petunjuk maka kami mengambil sikap menjaga jarak," kata Ferdinand dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne, Minggu 9 Juni 2019.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP Gerindra, Taufik Riyadi merespons santai soal manuver Demokrat. Bagi dia, selama tak ada deklarasi resmi dari pucuk pimpinan Demokrat, maka partai tersebut masih jadi bagian BPN.

"Itu gimmick, gimmick saja. Sepanjang tidak ada deklarasi dari Ketua Umum SBY, bagi kami itu tidak ada. Kami ini sekarang fokus di MK. Itu fokus BPN. Kami siapkan bukti-bukti yang kuat," tutur Taufik di acara Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne, Minggu, 9 Juni 2019.

Dia menilai, manuver Demokrat biasa dalam politik. Ia melihat hal tersebut bisa juga bagian upaya kubu Jokowi menarik partai lawan untuk memperkuat suara di parlemen. Cara ini agar mempermudah dan menjalankan kebijakan pemerintah dengan menguasai kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Namanya proses politik seperti ini, mau tidak mau, Presiden akan menarik gerbong sebanyaknya masuk ke DPR untuk mengawal kebijakan agar tak terhambat. Menurut saya itu dinamika saja. Apa karena Demokrat berlabuh ke Jokowi, itu akan kita hormati," ujar Taufik.

Meski terus berbeda pendapat dengan kubu 02, Demokrat tak pernah secara resmi mengumumkan keluar dari koalisi. Pernyataan Rachland Nashidik adalah pembubaran koalisi, tapi bukan keluar dari koalisi. 

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional, Saleh Daulay, mempersilakan jika Demokrat ingin keluar dari koalisi. Tapi untuk membubarkan koalisi, harus dibicarakan lintas koalisi. Ia meminta agar Demokrat tak perlu mengumbar ke publik. 

"Saya kira Demokrat memiliki masalah tersendiri dengan Prabowo-Sandi. Jika itu betul, sebaiknya disampaikan langsung, tidak perlu diumbar di publik. Kalau diumbar, orang pasti akan menduga ada manuver tertentu untuk mendapatkan sesuatu," kata Saleh, Senin 10 Juni 2019.

"Kalau mau pergi baik-baik silakan. Kalau membubarkan koalisi, harus dibicarakan lintas koalisi. Kalau mau pergi sendiri, saya kira itu hak. Silakan saja," Saleh menambahkan. 

Usulan pembubaran Koalisi Adil Makmur juga ditolak Partai Keadilan Sosial. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menganggap usulan itu sebagai hal yang tak bijak, bahkan meski tujuannya adalah untuk menurunkan tensi politik. 

"Pembubaran koalisi justru menyulitkan pengambilan keputusan politik. Biarkan ini jadi pembelajaran bersama dengan syarat semua mengedepankan akhlak politik yang dewasa," kata Mardani, Minggu, 9 Juni 2019.

Mardani menegaskan, sejauh ini PKS masih tetap solid berada di Koalisi Indonesia Adil Makmur bersama Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Menurut dia, pernyataan dari Rachland kurang tepat, karena bila tidak ada koalisi, maka pengambilan keputusan politik akan menjadi lebih sulit. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya