Meredam People Power
VIVA – Massa pendukung calon presiden dan wakil presiden nomor 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mulai bergerak dari daerah masing-masing menuju Ibu Kota Jakarta. Tak hanya mereka yang tinggal di Pulau Jawa, dari Sumatera, Kalimantan hingga Sulawesi bergerak menuruti seruan aksi 'people power' mengepung kantor pusat Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu besok.
Rencana aksi di depan kantor KPU bertepatan dengan pengumuman hasil Pemilu 2019 (Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif), Rabu, 22 Mei 2019. Massa pendukung capres cawapres 02 itu akan turun ke jalan memprotes kecurangan Pemilu 2019 yang diklaim terstruktur, sistematis, masif (TSM).
Selama sebulan lebih, setelah pemungutan suara 17 April 2019 hingga proses rekapitulasi, kubu 02 paling gencar memprotes berbagai kecurangan yang terjadi. Mereka mengklaim banyak menemukan kecurangan di berbagai level.
Mulai dari TPS saat pemungutan suara, surat suara tercoblos, netralitas aparatur negara, hingga proses rekapitulasi di KPU pusat.Â
Belum lagi persoalan teknis yang sering dialami KPU, hingga capres-cawapres 02 yang selalu jadi korban salah input data C1. Gara-gara salah input, suara Prabowo-Sandiaga yang awalnya unggul berbalik kalah. Walau pada akhirnya kesalahan itu diakui KPU dan diperbaiki.
Seruan 'people power' sejatinya digaungkan Amien Rais, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) yang dikenal paling kritis pada rezim Jokowi. Di masa kampanye pilpres, tokoh Reformasi 1998 itu pernah mengancam akan menggerakkan massa dalam jumlah besar (people power) kalau terjadi kecurangan dalam Pemilu 2019.
Pidato yang sering diucapkan Amien Rais selama masa kampanye Pemilu Presiden 2019 itu, bak 'sihir' bagi pendukung fanatik Prabowo-Sandi akan seruan aksi turun ke jalan. Apalagi, seruan itu diamini capres 02, Prabowo Subianto.
Dalam acara kampanye akbarnya di Gelora Bung Karno, Jakarta, 7 April 2019 lalu, Prabowo mengingatkan seruan people power itu bukan untuk bertindak anarkistis, melainkan sikap protes rakyat andai terjadi kecurangan pemilu.
Rakyat yang menyetujui ajakan itu, katanya, tak akan berbuat sesuatu yang melanggar hukum atau mengganggu keamanan dan ketertiban, tetapi protes damai.
"Tinggal 20 juta rakyat duduk, duduk saja, enggak usah ngapa-ngapain—tapi sebulan… Kalau ada ketidakadilan," kata Prabowo ketika berpidato di hadapan massa pendukungnya kala itu.
Hingga jelang pengumuman KPU 22 Mei, seruan 'people power' kian nyaring digaungkan para elite pendukung capres cawapres 02 itu. Tidak adanya iktikad baik dari penyelenggara pemilu untuk membenahi kecurangan yang terjadi, membuat kubu 02 pesimis menempuh jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa Pemilu 2019.Â
Berkaca pada pengalaman Pemilu 2014 lalu, ketika Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sudah membawa bukti kecurangan, tapi kemudian dimentahkan MK tanpa pemeriksaan barang bukti terlebih dulu.
"Jadi ada pemikiran terserah, kita kembalikan kepada rakyat kalau kecurangan itu tidak segera diperbaiki. Saya kira kita masih ada waktu memperbaiki ini," kata Fadli Zon di Kompleks DPR Jumat, 17 Mei 2019.
Menurut Fadli, rakyat memiliki hak mengambil sikap atas hasil Pemilu 2019. Sebab, adanya kecurangan dalam pemilu, sama saja dengan mengkhianati rakyat yang telah menyalurkan hak pilihnya. "Jadi rakyat yang memiliki sikap. Itukan ada yang memilih, yang memilih tentu mempunyai sikap terhadap itu, yang memilih kan puluhan juta," ujar Fadli.
Prabowo Subianto dalam suatu acara menegaskan akan menolak hasil pemilu yang penuh kecurangan. Tapi, Prabowo masih punya harapan, penyelenggara pemilu akan memutuskan hasilnya dengan kebenaran keadilan demi bangsa Indonesia atau meneruskan kebohongan dan ketidakadilan.Â
Bila meneruskan ketidakadilan, maka KPU sama artinya dengan mengizinkan penjajahan terhadap rakyat Indonesia.Â
"Kalau proses perampasan dan pemerkosaan ini berjalan terus, hanya rakyat yang menentukan. Hanya rakyat yang akan menentukan. Selama rakyat percaya dengan saya, selama itu saya bersama rakyat Indonesia, sampai titik darah saya yang terakhir," kata Prabowo di Hotel Sahid, Jakarta, Selasa, 14 Mei 2019.
Makar Hingga Ditunggani Teroris
Kasak-kusuk 'people power' yang digaungkan sejumlah elite kubu 02 ini tentu jadi perhatian aparat. Selama dua pekan terakhir, aparat Kepolisian, intelijen dibantu TNI sibuk melakukan berbagai cara menghalau massa agar mengurungkan niatnya ke Ibu Kota Jakarta.
Bukan tanpa alasan, polisi sejauh ini mengindikasikan gerakan 'people power' ini mengarah pada perbuatan melanggar hukum. Hal itu terungkap dengan penangkapan dan penetapan sejumlah tokoh yang terlibat dalam gerakan 'people power' 22 Mei 2019 sebagai tersangka makar.
Adapun tokoh yang sudah diamankan polisi terkait kasus makar adalah Eggi Sudjana dan Lieus Sungkharisma. Sementara tokoh lainnya, seperti Kivlan Zein, Permadi, Amien Rais dan Bachtiar Nasir masih berstatus saksi di kasus makar.Â
Di luar kasus makar, sejumlah pentolan pendukung Prabowo-Sandiaga, sebut saja Ustaz Sambo, Ustaz Haikal Hasan, Toto Utomo dan beberapa tokoh lain yang terafiliasi sebagai pendukung Prabowo-Sandi, tersandung kasus ujaran kebencian dan penyebaran berita bohong.
Polisi menegaskan penyidik juga menjunjung tinggi profesionalitas dalam melakukan penyelidikan sebuah kasus. Jika memang ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam penyidikan yang dilakukan penyidik, Dedi menuturkan ada mekanisme konstitusional yang bisa ditempuh.
"Kan ada mekanisne konstitusionalnya, bisa diuji di ranah sidang praperadilan, dibuka di situ, apakah langkah-langkah penyidik sudah betul apa tidak. Jadi ya silakan sebagai warga negara Indonesia yang baik harus menghargai bahwa ini adalah negara hukum, dengan segala bentuk macam konstitusi harus dihargai," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 14 Mei 2019.
Di luar kasus hukum yang menjerat sejumlah pentolan aksi 'people power', polisi juga mengklaim ada penumpang gelap dalam rencana aksi massa di kantor KPU 22 Mei. Bukan main-main, mereka yang menumpang aksi 'people power' itu datang dari kelompok teroris, yang menarget kantor KPU sebagai sasaran teror bom.
Itu sebabnya, Detasemen Khusus Antiteror Polri sepekan terakhir gencar menangkapi sejumlah terduga teroris di wilayah Bekasi, Bogor dan Lampung. Polisi menduga kelompok teroris yang berafiliasi jaringan ISIS ini akan beraksi pada 22 Mei. Atas temuan itu, polisiÂ
mengimbau warga di daerah mengurungkan pergi ke Jakarta.Â
"Mabes Polri sudah mengimbau untuk seluruh masyarakat untuk tidak mengerahkan massa dalam jumlah yang cukup besar, melakukan aksi di kantor KPU tanggal 22 Mei," kata Brigjen Dedi Prasetyo usai olah tempat kejadian perkara di kediaman terduga teroris, Kelurahan Nanggewer, Cibinong, Jawa Barat, Sabtu, 18 Mei 2019.
Dedi mengatakan, jaringan kelompok JAD ini dikenal militan. Kelompok ini terstruktur dan jauh lebih dikenal firqah abu Hamzah (pengikutnya abu Hamzah) yang saat ini masih ada di Syria.
Kelompok ini memiliki rekam jejak aksi terorisme di beberapa kasus. Pertama di Mapolres Surakarta dan melakukan beberapa aksi di Indonesia, termasuk jejaringnya ini yang dikategorikan Mujahidin Indonesia Timur, atau kelompok Santoso yang ada di Poso.
Selain mendeteksi potensi serangan teroris di 22 Mei di KPU Jakarta, Polri melalui jaringan kapolda seluruh Indonesia mengeluarkan imbauan kepada para warganya agar tidak ke Jakarta pada tanggal tersebut.Â
Berbagai upaya dilakukan, mulai dari menggandeng kepala daerah, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk membujuk masyarakat, hingga razia kendaraan menghalau warga yang akan ke Jakarta mengikuti aksi 'people power' di depan kantor KPU.
Seperti di Jawa Timur, Kapolda mengklaim lebih dari seribu orang yang akan mengikuti aksi Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat digagalkan berangkat ke Jakarta. Mereka terjaring razia gabungan Polri/TNI di sejumlah daerah di Jatim. Ada pula beberapa yang berasal dari luar Jawa, yang transit di Jawa Timur sebelum ke Jakarta
Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan mengatakan, penggagalan keberangkatan dengan cara persuasif. Dia menuturkan, aparat berhasil memberikan pemahaman kepada calon massa aksi hingga mereka memahami dan mau kembali ke daerahnya masing-masing.
Mantan wakil kepala Baintelkam Mabes Polri itu menegaskan, razia dan sweeping akan terus dilakukan oleh aparat gabungan sampai 21 Mei, menjelang hari pengumuman hasil Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum di Jakarta pada 22 Mei. Di hari itulah aksi GNKR dikabarkan akan digelar oleh kelompok massa tertentu
Pengamanan Berlapis
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian memastikan, pengamanan maksimal pada hari pengumuman hasil rekapitulasi Pemilu 2019 pada 22 Mei mendatang. Ia telah memerintahkan jajarannya untuk tidak mentolerir setiap pelanggaran yang terjadi, dan pasti ditindak tegas.Â
"Kita akan mengamankan secara maksimal, kita sudah siapkan rencana rencana pengamanan yang melibatkan personel yang cukup agar masyarakat juga merasa terjamin sepanjang semua mengikuti aturan hukum maka akan baik-baik saja," kata Tito di kantor Kementerian Perindustrian Jakarta, Senin, 20 Mei 2019.Â
Namun, menurutnya, jika nanti ada pihak yang merasa keberatan mengikuti aturan hukum, maka tentu Polri akan melakukan pengamanan juga. "Kalau ada pelanggaran hukum kita akan melakukan penindakan hukum sesuai dengan aturan yang ada," ujarnya.Â
Untuk jumlah tim pengamanan aksi 'people power' 22 Mei, Polda Metro Jaya menyiapkan tak kurang 50 ribu personel gabungan dari TNI, Polri dan Pemda. "Itu sudah kita tentukan lokasi-lokasi mana saja yang diamankan," kata Kabid Humas Polda Meteo Jaya, Kombes Argo Yuwono kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin, 20 Mei 2019.
Sebanyak 50 ribu personel itu akan disebar di objek-objek vital hingga pusat keramaian dan pusat perbelanjaan yang ada di Jakarta. Seperti KPU, Bawaslu, DPR, MPR, Istana Negara dan ada sentra ekonomi, pasar, mal, stasiun-stasiun, terminal dan tempat berkumpulnya orang.
Terkait adanya rencana aksi, Argo mengatakan Polda Metro Jaya telah menerima surat pemberitahuan dari sejumlah elemen. Polisi masih mempelajari surat itu sebelum akhirnya mengizinkan massa untuk menggelar aksi.
Sementara itu, Polri memastikan seluruh anggota Polri yang terlibat pengamanan saat aksi 22 Mei di KPU hanya dibekali tameng dan gas air mata. Polri melarang anggotanya yang berada di lapangan nanti, membawa senjata api dan peluru tajam.
"Konsep pengamanan Polri untuk tanggal 22 Mei yang akan datang bersama dengan rekan-rekan TNI, paling pokok adalah seluruh aparat keamanan yang melaksanakan pengamanan tidak dibekali senjata api dan peluru tajam" ujar Kabiro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo kepada wartawan, Sabtu, 18 Mei 2019.
Dedi menambahkan, seluruh aparat keamanan telah diinstruksikan tidak boleh membawa senjata api dan peluru tajam saat mengamankan aksi 22 Mei. Jika ditemukan ada di antara demonstran yang membawa senjata api dan peluru tajam maka patut diduga itu serangan terorisme.
"Karena aparat keamanan tidak boleh, ini sudah perintah dari pimpinan tidak boleh membawa senjata api dan peluru tajam di saat mengamankan seluruh aksi masyarakat," ujar Dedi.
Capres 02, Prabowo Subianto bertekad akan terus memperjuangkan keadilan demi rakyat Indonesia. Pemerintah juga tidak perlu menakut-nakuti rakyat dengan tuduhan makar. Sebab di antara rakyat yang memperjuangkan keadilan, terdapat jenderal yang dahulu rela mati membela NKRI, sehingga tidak mungkin melakukan makar.
"Enggak usah nakut-nakuti kita dengan makar-makar. Orang-orang ini bukan makar, jenderal-jenderal ini sudah mempertaruhkan nyawanya sejak lama, mereka tidak makar. Kita membela bangsa dan negara Republik Indonesia. Jangan takut-takuti kita dengan senjata yang diberikan oleh rakyat," kata Prabowo, di Hotel Grand Sahid, Selasa, 14 Mei 2019
Saat ini, Prabowo masih menunggu itikad baik dari pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk menyadari kesalahannya. Menurut Prabowo, saat ini kedaulatan ada di tangan rakyat.
"Kalau kau memilih ketidakadilan berarti kau mengizinkan penjajahan terhadap rakyat Indonesia. Kami masih menaruh harapan kepadamu. Sikap saya, yang jelas saya akan menolak hasil penghitungan yang curang. Kami tidak bisa menerima ketidakadilan dan ketidakjujuran," ujarnya.
Di luar hiruk pikuk pengamanan dan rencana aksi 22 Mei, Komisioner KPU Viryan Aziz menegaskan sebesar apa pun unjuk rasa yang dilakukan tidak akan dapat memengaruhi penetapan hasil Pemilu 2019. Unjuk rasa, menurutnya, hanya sekadar mekanisme penyampaian pendapat, namun bukan merupakan faktor yang memiliki keterkaitan terhadap pemilu sesuai undang-undang yang mengatur.
"Seberapa pun banyak massa yang turun dalam demo-demo tidak akan mengubah hasil pemilu," ujar Viryan di KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat, 10 Mei 2019.
Viryan mengingatkan, hal yang lebih tepat dilakukan adalah menempuh mekanisme legal untuk mempersoalkan dugaan kecurangan yang dilakukan pihak tertentu. Mekanisme itu adalah pelaporan ke Bawaslu dengan menyertakan bukti-bukti yang nyata. "Kalau mau ada yang demonstrasi massa, tidak tepat. Yang lebih tepat sekarang itu, yang dibutuhkan, demonstrasi data," ujar Viryan.
Menurutnya, pemilu diatur undang-undang, Bawaslu selanjutnya memiliki prosedur untuk memproses aduan itu. Aduan selanjutnya akan menjadi pertimbangan dalam merumuskan keputusan terkait hasil pemilu.
"Demonstrasi data dilakukan dalam rapat pleno terbuka. Di situlah dikonfrontir, (aduan) benar atau tidak? Kalau pernyataan-pernyataan (dalam unjuk rasa) itu kan tidak bisa (diproses). Ini kan demokrasi. Proseduralnya demikian," ungkapnya. (ase)