Klimaks Susahnya Atur Harga Tiket Pesawat
- Pixabay
VIVA – Rapat koordinasi para menteri ekonomi awal pekan ini memutuskan untuk merevisi tarif batas atas atau disingkat TBA, untuk penerbangan rute domestik. Penurunan TBA ada di kisaran 12 hingga 16 persen.
Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, menjelaskan, penurunan terendah sebesar 12 persen ditetapkan untuk rute-rute gemuk seperti di daerah Jawa. Kemudian sisanya ditetapkan hingga 16 persen pada rute-rute seperti rute penerbangan hingga ke Papua.
Budi menegaskan, keputusan penurunan itu tidak berarti pemerintah melakukan intervensi secara langsung tarif maskapai. Namun, hal itu telah diatur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Perubahan keputusan tersebut pun tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Aturan itu pun telah ditandatangani Rabu, 15 Mei 2019.
“Revisi ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap aspirasi dari masyarakat dengan tetap memperhatikan keberlangsungan industri penerbangan, terutama menjelang pelaksanaan angkutan Lebaran tahun 2019,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Polana B Pramesti di kantornya, Kamis 16 Mei 2019.
Menurut Polana, komponen biaya yang memberi kontribusi terhadap penurunan TBA tersebut berasal dari efektivitas operasional pesawat udara di bandara. Terjadi efisiensi bahan bakar dan juga jam operasi pesawat udara.
Meski TBA mengalami penurunan, Polana mengharapkan masyarakat memahami, harga tiket pesawat sifatnya fluktuatif. Penentuan dasar tiket pun tidak hanya ditentukan oleh satu faktor.
"Tapi multi faktor, di antaranya biaya operasional penerbangan, jasa kebandarudaraan (PSC), jasa pelayanan navigasi penerbangan, pajak, asuransi dan lain-lain," ungkapnya.
Selain itu, menurut dia, beberapa faktor penentu harga tersebut sangat dipengaruhi oleh kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Apabila rupiah melemah, kemungkinan harga tiket pesawat naik sangat besar.
"Diharapkan agar masyarakat dapat memahami, karena harga tiket bersifat fluktuatif," tuturnya.
Ultimatum Pemerintah
Polana menegaskan, pemberlakuan tarif sesuai KM 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, harus diterapkan maskapai dua hari setelah aturan revisi tersebut ditandatangani.
Jika merujuk pada hal tersebut, artinya pada Jumat 17 Mei 2019, maskapai harus sudah menyesuaikan harga tiket yang ditetapkan. Sebab, revisi aturan itu diteken pada 15 Mei 2019. Sanksi pun ditegaskan bakal diterapkan bagi yang melanggar.
"Kami ada ketentuan PM 78 Tahun 2016 tentang sanksi administrasi, nanti ada hierarkinya, mekanismenya dan peringatan kemudian pembekuan, pencabutan dan denda administrasi," ujarnya.
Meski TBA diturunkan, dia pun mengingatkan maskapai untuk tidak menurunkan pelayanannya. Kemudian, ketepatan waktu penerbangan atau On Time Performance (OTP) masih harus menjadi prioritas maskapai.
Penurunan tarif tersebut pun diharapkan tidak membebani maskapai. Karena efisiensi penerbangan yang dihasilkan dari peningkatan OTP tersebut. Tercatat, terjadi peningkatan OTP pada Januari-Maret 2019 rata-rata 86,29 persen dari 78,88 persen pada periode yang sama 2018.
"Penurunan TBA tersebut tetap mengedepankan faktor-faktor substansial penerbangan. Seperti keselamatan, keamanan dan juga On Time Performance maskapai," tegasnya.
Baca juga: Tiket Pesawat Mahal, Penumpang Lari ke Angkutan Darat
Dia mengatakan, keputusan baru ini akan dilakukan evaluasi secara berkala setiap tiga bulan dan sewaktu-waktu dalam hal ini terjadi perubahan signifikan.
"Di sisi lain kami juga memperhatikan keberlangsungan usaha maskapai penerbangan," ungkapnya.
Menanggapi hal tersebut, Garuda Indonesia mengaku siap mengikuti aturan tersebut. Meskipun demikian, ketika dikonfirmasi VIVA, Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan, tidak menjelaskan detail bagaimana komposisi penurunan tiket yang akan dilakukan.
"Garuda akan mengikuti aturan tersebut," ungkapnya.
Konsumen Ragu
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi menilai, keputusan Kemenhub ini bentuk klimaks dari kejengkelan Menhub Budi yang ingin maskapai menurunkan tarifnya. Sebab, imbauan yang terus dikeluarkan tak pernah digubris maskapai hingga saat ini.
Menurut Tulus, penurunan persentase TBA di atas kertas memang bisa menurunkan tarif pesawat, namun secara praktik belum tentu demikian. Sebab faktanya, semua maskapai telah menerapkan tarif tinggi, rata-rata di atas 100 persen dari tarif batas bawah.
"Sehingga persentase turunnya TBA tidak akan mampu menggerus masih tingginya harga tiket pesawat dan tidak akan mampu mengembalikan fenomena tiket pesawat murah," ungkap tulus dikutip VIVA dari keterangannya, Kamis 16 Mei 2019.
Baca juga: TBA Dipangkas Kemenhub, Tiket Pesawat Masih Mahal
Dia menjabarkan, setelah diturunkan, maskapai memang tidak leluasa lagi untuk menaikkan tarifnya hingga 100 persen, seperti sebelum diturunkan. Tetapi intinya, turunnya persentase TBA tidak otomatis akan menurunkan harga tiket pesawat, sebagaimana diharapkan publik.
"YLKI juga mengkhawatirkan, setelah menhub menurunkan TBA ini, juga akan direspons negatif oleh maskapai dengan menutup rute penerbangan yang dianggap tidak menguntungkan atau setidaknya mengurangi jumlah frekuensi penerbangannya," ujarnya.
Dia pun menyarankan, kalau pemerintah memang ingin menurunkan tiket pesawat, seharusnya bukan hanya dengan mengutak-atik formulasi TBA. Tetapi bisa menghilangkan atau menurunkan pajak pertambahan nilai (PPN) tarif pesawat sebesar 10 persen.
"Bisa diturunkan misalnya menjadi 5 persen saja. Jadi pemerintah harus fair, bukan hanya menekan maskapai saja, tetapi pemerintah tidak mau mereduksi potensi pendapatannya," paparnya.
Selain itu, komponen tarif kebandaraudaraan yang setiap dua tahun mengalami kenaikan juga memberatkan. Komponen ini berpengaruh pada harga tiket pesawat.
"Karena tarif kebandarudaraan (PJP2U) include on ticket," tegasnya. (art)