Pisau Bermata Dua 'Polisi' Hoax

Warga melakukan aksi teatrikal saat mengkampanyekan Gerakan Anti Hoax di Solo, Jawa Tengah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

VIVA – Dari segi etimologi, kata 'hoax' muncul pada abad ke-18. Oxford English Dictionary pertama kali mengutip kata hoax sebagai kata kerja pada 1796, yang tertuang dalam kamus Grose’s Classical Dictionary of the Vulgar Tongue: “Hoaxing, bantering, ridiculing. Hoaxing a quiz: joking an odd fellow. University wit,”.

Satu dekade kemudian, hoax sebagai kata benda muncul. Sejak itu, kata hoax dikonotasikan sebagai penipuan atau tipuan yang dilakukan dengan sengaja. Namun ternyata hoax bukanlah kata yang asli. Kata tersebut, menurut banyak etimolog, berasal dari kata hocus pocus yang diringkas menjadi hocus.

Etimolog menduga, hoax berkembang dari kata hocus yang pada abad ke-17, merupakan kata benda dan kata kerja. Hocus pocus jangan dikira lekat dengan tokoh politik atau penguasa pada masa itu.

Jauh dari perkiraan, hocus pocus merupakan sebutan untuk trik atau tipuan yang kerap dipertunjukkan oleh pesulap atau juggler. Pada abad ke-17, kata hocus dalam konteks kriminal berarti 'membius' seseorang dengan menggunakan minuman keras.

Dalam catatan sejarah, hoax sebagai sebuah tipuan telah dipakai oleh tokoh publik, sekaligus pemimpin Revolusi Amerika, Benjamin Franklin pada 1745. Ia sengaja melontarkan hoax untuk menipu publik.

Kala itu, lewat harian Pennsylvania Gazette, mengungkap adanya sebuah benda bernama 'Batu China' yang dapat mengobati rabies, kanker, dan penyakit-penyakit lainnya. Sayangnya, nama Benjamin Franklin saat itu membuat standar verifikasi kedokteran tidak dilakukan sebagaimana standar semestinya.

Meski begitu, ternyata batu yang dimaksud hanyalah terbuat dari tanduk rusa biasa yang tak memiliki fungsi medis apapun. Hal tersebut diketahui oleh salah seorang pembaca harian Pennsylvania Gazette yang membuktikan tulisan Benjamin Franklin tersebut.

Pada era modern, hoax terkenal yang sengaja disampaikan oleh ilmuwan, yakni hoax Sokal. Hoax ini dilakukan oleh profesor fisika New York University, Amerika Serikat pada 1996.

Harusnya tidak ada

Berdasarkan catatan VIVA, di kawasan Asia Tenggara terdapat tiga negara yang mengesahkan Undang-undang Antihoax. Ketiganya yaitu Malaysia, Vietnam dan Singapura.

Platform X Tak Deklarasi Anti Hoaks Pilkada, Budi Arie: Tak Ada Perwakilannya di RI

Pertama Malaysia. Negeri Serumpun Indonesia ini memperkenalkan undang-undang untuk menangkal penyebaran informasi dan berita palsu (hoax dan fake news) di awal April tahun lalu dengan nama Malaysia's Anti-Fake News Act 2018 di era kepemimpinan Perdana Menteri Najib Razak.

Tidak Ada Kompromi sama Konten 'Bullying', 'Hate Speech' hingga Aktivitas Ilegal

Berdasarkan UU tersebut, seperti dikutip dari MalayMail, seseorang yang melanggar akan dijatuhi hukuman hingga enam tahun penjara dan denda sebesar RM500 ribu (Rp1,8 miliar).

Menteri Kehakiman Malaysia, Azalina Othman Said, mengatakan undang-undang tersebut tidak akan mempengaruhi kebebasan berbicara dan kasus-kasus di bawahnya akan ditangani melalui proses pengadilan independen.

Ria Ricis Akan Dimintai Keterangan dalam Kasus Hoaks Nikah Siri Atta Halilintar

"Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi publik dari penyebaran berita palsu, sementara memungkinkan kebebasan berbicara sebagaimana diatur di bawah konstitusi," ungkapnya.

Dalam undang-undang tersebut, berita palsu didefinisikan sebagai “berita, informasi, data dan laporan yang seluruhnya atau sebagian salah”, termasuk fitur, visual dan rekaman audio.

Undang-undang tersebut mencakup publikasi digital dan media sosial dan akan berlaku untuk pelanggar yang menyebarkan "berita palsu" di dalam dan luar Malaysia, termasuk orang asing, jika Malaysia atau seorang warga Malaysia terpengaruh.

Namun, ketika PM Razak digulingkan oleh seniornya, Mahathir Mohamad, UU kontroversial ini dibatalkan oleh Parlemen Malaysia pada pertengahan Agustus 2018.

Dikatakan kontroversial yang bisa dipakai untuk memenjarakan orang yang dinyatakan oleh pihak berwenang menyebarkan berita palsu (fake news).

Para anggota parlemen memutuskan mencabut undang-undang ini setelah menggelar pembahasan selama tiga jam.

Charles Santiago, anggota parlemen dari koalisi Pakatan Harapan, mengatakan bahwa keputusan membatalkan UU Berita Palsu adalah bagian dari upaya untuk menghapus semua UU yang melanggar hak asasi manusia atau yang membatasi kebebasan berpendapat.

Sementara itu, Teddy Baguilat, anggota kaukus parlemen Asia Tenggara tentang HAM memuji langkah ini. Menurut dia UU tersebut jelas dibuat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan untuk mencegah warga mencermati urusan publik. "Harusnya sejak awal undang-undang ini tak boleh ada," tegasnya.

Merusak inovasi

Kedua Vietnam. Pada Oktober 2018, amandemen Undang-Undang Keamanan Siber dilakukan dengan dalih melindungi negara itu dari meningkatnya ancaman dunia maya.

Pemerintah mengaku telah terancam oleh puluhan ribu serangan dunia maya dalam skala besar, yang secara langsung menyebabkan kerugian ekonomi serius, serta mengancam keamanan dan ketertiban sosial.

Namun, aturan itu dikritik oleh banyak perusahaan teknologi global dan kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM), karena merusak perkembangan inovasi. Seperti dikutip dari Asia One, parlemen menyetujui amendemen undang-undang yang diajukan oleh Kementerian Keamanan Publik Vietnam sejak Juni tahun lalu.

Amandemen undang-undang yang resmi berlaku tahun ini menuntut perusahaan teknologi asing untuk mendirikan kantor dan menyimpan data di Vietnam. Facebook dan Google, dua layanan online yang banyak digunakan di negara ini, tidak memiliki kantor atau fasilitas penyimpanan data lokal.

Terakhir Singapura. Negeri tetangga Indonesia tersebut resmi mengeluarkan undang-undang anti informasi dan berita palsu (hoax dan fake news) pada Rabu, 8 Mei 2019.

Mengutip situs Ubergizmo, Kamis, 9 Mei 2019, dikenal sebagai Undang-Undang Perlindungan dari Kepalsuan Online dan Manipulasi (the Protection from Online Falsehoods and Manipulation Bill), regulasi ini dimaksudkan untuk memberi payung hukum pemerintah untuk bertindak cepat menangkal hoax dan fake news.

Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura, K. Shanmugam, mengklaim bahwa undang-undang ini bukan tentang memberikan kekuatan kepada partai politik yang berkuasa.

"Tidak ada keuntungan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya keuntungan politik, yang mencoba membiarkan kebohongan berkembang pesat dan merusak fakta," ungkapnya.

Ia melanjutkan berkembang pesatnya hoax dan fake news akan merusak institusi Singapura. Shanmugam juga memastikan tidak ada partai politik yang akan mendapat manfaat dari maraknya hoax dan fake news tersebut.

"Jelas, ini akan merusak pihak mana pun yang ingin menganggap dirinya mainstream dan kredibel. Anda telah melihat apa yang terjadi di Amerika. Anda telah melihat apa yang terjadi di Inggris," tegas dia.

Shanmugam juga membantah UU ini untuk membungkam kritik terhadap kebijakan pemerintah. Undang-undang itu mewajibkan platform media online untuk melakukan koreksi atau menghapus konten yang dianggap palsu oleh pemerintah.

Aturan itu mengganjar 10 tahun penjara atau denda hingga SGD1 juta atau Rp10,5 miliar bagi yang dianggap bersalah. Selain tiga tersebut, ada Rusia, Prancis dan Jerman yang dalam beberapa bulan terakhir telah mengeluarkan aturan yang sama terhadap hoax, fake news dan ujaran kebencian atau hate speech.

Segudang Pasal

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan, mengaku sudah punya payung hukum untuk menangkis hoax, fake news dan ujaran kebencian atau hate speech.

"Penyebar hoax di media sosial atau internet akan dikenai Pasal 28 (1) Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sesuai ketentuan dalam pasal tersebut, pada ayat 1 mengatur setiap orang dilarang untuk menyebarkan berita bohong," kata dia kepada VIVA.

Kemudian, dalam pasal 28 (2) berbunyi terdapat ketentuan larangan kepada setiap orang untuk menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian.

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)," paparnya.

Dalam bab ketentuan pidana pada UU ITE tercantum rincian ancaman pidana penyebar hoax. Pasal 45 (2) UU ITE berbunyi setiap orang yang memenuhi unsur yang dimaksud dalam pasal 28 ayat 1 atau ayat 2 maka dipidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Semuel mengatakan, bicara hoax itu ada dua hal. Pertama, berita bohong harus punya nilai subyek obyek yang dirugikan. Kedua, melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

"Kalau berita-berita itu menimbulkan kebencian, permusuhan, dan mengakibatkan ketidakharmonisan di tengah masyarakat. Sanksinya hukuman (pidana penjara) selama enam tahun dan/atau denda Rp1 miliar," ungkapnya.

Selain pasal 28, penyebar hoax juga bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam UU tersebut, ada dua pasal yang bisa menjerat penyebar hoax yaitu pasal 14 dan pasal 15.

Pasal 14

(1) Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

(2) Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan la patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Pasal 15:

Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya