Sakit Jiwa Efek Pemilu
- VIVAnews/Tri Saputro
VIVA – Bekas tinta ungu di jari hampir pudar warnanya dan diskon pemilu pun mulai berhenti. Meriahnya hajatan besar pesta demokrasi lima tahunan yang dinanti-nanti pun sudah terlewati 17 April 2019 lalu. Kini hasil resmi pemilihan umum (pemilu) dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang masih ditunggu.
Tapi rakyat Indonesia mesti bersabar karena hasil resmi pemilu tahun ini secara nasional dirilis paling telat 35 hari usai pencoblosan. Artinya, rakyat baru mengetahui selambat-lambatnya pada 22 Mei 2019 mendatang. Itu sesuai aturan dalam Pasal 413 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun waktu pengumuman bisa lebih cepat jika penghitungan secara nasional segera kelar.
Meski demikian, sejumlah lembaga survei telah merilis hasil hitung cepat alias quick count. Menilik pemilu yang sudah-sudah, hasil hitung cepat biasanya tak beda jauh dengan hasil resmi KPU.
Dan dalam masa penantian tersebut hingga pengumuman kelak, beberapa hal bisa terjadi. Salah satu fenomena yang kerap mewarnai pasca-pemilu dan membuat hati miris, calon legislatif (caleg) atau pendukungnya mengalami stres hingga gangguan jiwa atau sakit mental karena kecewa.
Baru-baru ini beberapa pria, yang merupakan pendukung pasangan calon presiden tertentu mengamuk dan merusak televisinya karena tak puas dengan hasil hitung cepat pemilu 2019, yang disiarkan stasiun televisi swasta. Itu satu kasus pendukung yang kecewa. Di luar sana, tentu masih ada yang bernasib sama, terutama caleg yang berlaga dan 'habis-habisan' berjuang untuk menjadi anggota dewan.
Pengalaman ini berkaca pada Pemilu 2009 dan 2014 lalu. Menyegarkan ingatan lima tahun silam, Witarsa stres tidak bisa mengembalikan biaya yang dipinjam dari keluarga dan rekan-rekannya untuk pencalonan istrinya, yang akhirnya gagal jadi anggota dewan. Sehari setelahnya, pihak keluarga membawa dia ke padepokan di Desa Sinarancang, Cirebon. Tak cuma Witarsa, masih ada cerita lain caleg gagal yang memilukan setelahnya dan bakal terus berulang saban pemilu kelar, termasuk tahun ini.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam mengatakan, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pasca-pemilu 2009, ada ribuan orang sakit jiwa baru yang dikaitkan dengan dampak pemilu tahun itu. Lima tahun kemudian, jumlah orang sakit jiwa karena hal yang sama kembali terjadi. Tahun ini, jumlah pasien sakit jiwa diperkirakan bertambah. Sakit jiwanya bisa ringan seperti depresi hingga berat seperti psikosis akut.
Sekadar informasi, pada Pemilu 2019, ada 245.106 caleg DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang memperebutkan 10 persen kursi. Artinya, kata Ari, ada sekitar 200 ribuan caleg gagal yang kecewa lantaran tak lolos menjadi anggota parlemen. Ini bisa menjadi bibit munculnya gangguan jiwa pasca-pemilu (post election stress disorder/PESD) bila mereka tak bisa mengatasinya.
Selanjutnya, faktor pemicu munculnya PESD
***
Faktor Pemicu
Ari menjelaskan, beberapa caleg telah melakukan berbagai cara rasional hingga tak masuk akal supaya bisa duduk di kursi legislatif. Ada yang memilih keluar dari pekerjaannya karena merasa memiliki peluang besar menjadi anggota dewan hingga mengeluarkan dana besar selama kampanye.
"Dana besar yang dikeluarkan selama kampanye merupakan salah satu faktor stres tersendiri," kata dia.
Ekonomi menjadi faktor utama pencetus caleg gagal menjadi stres hingga gangguan jiwa atau sakit mental. Apalagi jika modal yang digunakan berasal dari pinjaman, dengan jaminan aset miliknya. Padahal aset-aset tersebut akan disita jika tak bisa mengembalikan. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan kekecewaan dan stres cukup berat, belum lagi jika rumah tangga berantakan karena masalah tersebut.
Senada dengannya, Ketua Program Studi Terapan Fakultas Psikologi UI Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi mengatakan, gangguan jiwa yang menyerang caleg gagal dipicu kekecewaan dan harapan yang luar biasa.
"Kalau orang ikut caleg, pengorbanannya macam-macam, termasuk dana besar sekali," ujar Rose, saat dihubungi VIVA.
Dia menjelaskan, para caleg kadang mengeluarkan semua cadangan dana yang dimiliki, sehingga seluruh harapan bertumpu pada peluang tersebut. Sayangnya, mereka alpa mempertimbangkan risiko yang bakal terjadi. Nah, harapan yang begitu besar membuat seorang mencurahkan energinya sehingga ketika gagal, tak punya jalan keluar.
"Itu bisa berujung pada depresi karena dia sudah malu secara sosial, sudah menggaungkan, sudah pasang baliho. Karena mengalami tekanan yang luar biasa dan tidak ada yang memberikan support, ini bisa berdampak depresi," katanya.
Menurut Rose, caleg gagal yang paling rentan mengalami stres hingga gangguan jiwa adalah mereka yang cara berpikirnya sangat reaktif. Sementara bagi caleg dengan pemikiran matang dan tak 'ngoyo' atau nafsu menjadi anggota legislatif tidak akan mengalaminya.
Hal yang sama juga bisa terjadi kepada para pendukungnya yang kecewa. Karena berdasarkan pengamatannya, ada beberapa pendukung yang justru lebih garang dibanding calon yang didukungnya. Itu karena usaha mereka untuk memenangkan calon yang didukung cukup besar. Apalagi jika dia tak menggunakan nalarnya, seperti mengeluarkan dana sendiri untuk memenangkan calon yang didukung, sehingga jika calonnya gagal maka kecewanya pun sangat dalam hingga bisa berujung gangguan mental.
"Dia sudah mengeluarkan effort yang luar biasa, kemudian mengidolakan seseorang, jadi itu sama jatuhnya karena punya harapan yang tinggi," ujar Rose.
Sementara dari kacamata sosiologi, Sosiolog dari Universitas Nasional (Unas) Sigit Rohadi melihat ada beberapa faktor yang menyebabkan sebagian caleg mengalami stres hingga potensi sakit jiwa pasca-pemilu. Pertama, faktor raising expectation atau harapan yang ketinggian dari para caleg.
"Jadi para caleg yang harapannya melambung dihadapkan kenyataan dengan hasil sementara melalui quick count. Itu yang menyebabkan stres," ucapnya kepada VIVA.
Kedua, faktor deprivasi atau kondisi psikologis seseorang yang merasa tidak puas karena telah mengeluarkan dana besar, investasi besar, ditambah usia yang tak lagi muda. Sehingga dia melihat pemilu kali ini menjadi kesempatan terakhirnya.
"Tapi kalau masih muda atau baru terjun, mereka tidak begitu stres," ujar dia.
Selanjutnya, meminimalisir dan mengatasi gangguan jiwa
***
Cegah dan atasi gangguan jiwa
Untuk meminimalisir jumlah caleg gagal jadi pasien rumah sakit jiwa, Sigit menyarankan kepada caleg dan pendukungnya di pemilihan berikutnya untuk benar-benar yakin dan mampu dalam beberapa hal, seperti pengetahuan, materi dan psikis saat memutuskan terjun ke dunia politik dan menjadi anggota legislatif. Mereka perlu memahami sistem mendapatkan kursi di parlemen karena kenyataannya banyak dari mereka tidak paham dengan sistem tersebut, namun merasa sangat yakin mendapat kursi.
Ada yang namanya parliamentary threshold atau batas suara minimal partai politik dalam pemilu untuk ikut dalam penentuan perolehan kursi di parlemen. Ini yang tak dipahami mereka. Menurut dia, hal itu mestinya disosialisasikan sehingga caleg tak cuma modal duit untuk dapat kursi.
Dengan sosialisasi, mereka akan lebih paham sistem organisasi dan sistem politik, di mana politik itu pun bukan lahan untuk mendapatkan uang. Sigit menyarankan, orang yang ekonominya tidak kuat, jangan coba-coba masuk ke jalur politik karena cita-citanya bisa tamat.
"Kalau terjun di politik tidak memiliki sumber daya yang kuat, (tujuannya) hanya akan mencari APBN atau APBD untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan, partai harus kuat membentengi ini," ujarnya.
Sementara itu, Ari menambahkan, stres dan gangguan jiwa akibat gagal dalam pemilu bisa dihindari, asalkan caleg pasrah, siap menang, apalagi kalah. Tetap dekat dengan Tuhan dan siap legowo, menanggung dampak kekalahan seperti rasa malu.
Di samping itu, tetap hidup sehat dengan rutin berolahraga, menghindari rokok, alkohol, dan suplemen yang justru bisa memperburuk kondisi kesehatan. Keluarga juga harus tetap mendukung karena mereka punya peran penting dalam pemulihan jiwa caleg gagal dalam pemilu.
"Keluarga harus selalu mendampingi dan memberi semangat bagi caleg yang gagal karena kesempatan untuk menjadi caleg memang kecil," ucap Ari.
Selain keluarga, para dokter harus memahami berbagai kondisi terkait gangguan jiwa dan stres. Karena selain pemulihan fisik, mereka juga harus memperhatikan psikologis pasien akibat dampak pemilu.
Seia sekata dengannya, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan RI, dr. Fidiansjah mengatakan, kesiapan caleg menerima kenyataan karena tidak sesuai yang diharapkan harus bisa dilakukan. Karena itu, ketika caleg mengatakan ingin menjadi caleg maka harus ada surat keterangan kesehatan termasuk kejiwaan.
Menariknya, dia menganggap stres pasca-pemilu sebagai sebuah kejadian yang tidak biasa atau dianalogikan seperti bencana alam yang tidak dapat diprediksi. Artinya, kejadian tidak lazim termasuk stres pasca-pemilu sama dengan stres pasca-bencana.
"Ini sebuah situasi yang diketahui banyak pihak sebagai sesuatu seperti kejadian yang tidak biasa atau bencana. Proses ini (pemilu) adalah proses persaingan dan gangguan jiwa itu bisa terjadi dari ringan sampai tingkat berat,” tuturnya.
Untuk menangani masalah tersebut, Kementerian Kesehatan sudah memberikan arahan semua rumah sakit agar siap melayani pasien yang mengalami masalah kejiwaan pasca-pemilu. Selain rumah sakit jiwa, pihaknya juga mengimbau kepada rumah sakit umum, puskesmas dan institusi pelayanan kesehatan lainnya untuk melakukan penyesuaian menghadapi kejadian tak biasa tersebut.
Sejumlah rumah sakit umum daerah (RSUD) telah menyatakan kesiapannya menerima caleg stres atau depresi karena gagal menjadi anggota dewan dalam Pemilu 2019, di antaranya RSUD Depok dan RSUD Dr R Koesma Tuban, Jawa Timur. Sementara sesuai regulasi yang berlaku, BPJS Kesehatan bakal menanggung pengobatan dan pendampingan para caleg peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang mengalami depresi ringan hingga berat sampai gangguan jiwa pasca-pemilu.
Pendampingan dan perawatan medis memang penting diberikan kepada caleg atau pendukung yang tiba-tiba mengalami stres hingga gangguan jiwa usai pemilu. Namun tak bisa diabaikan bahwa dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor penting kesembuhan mereka.