Jejak Tjong A Fie, Bangsawan Legendaris Tionghoa di Medan
- VIVA.co.id/Rochimawati
VIVA – Menyusuri sejarah Kota Medan di Sumatera Utara tidak akan lengkap jika belum menengok kawasan Kota Tua. Salah satu saksi sejarah keberadaan Kota Medan adalah rumah milik bangsawan Tionghoa, Tjong A Fie. Letaknya di Jalan Ahmad Yani No.105, Kesawan, Kota Medan.
Di antara himpitan bangunan tua lainnya, rumah Tjong A Fie memang tampak berbeda. Selain pagar dan gapura dengan paduan warna kuning dan hijau, pepohonan pun terlihat menutupi bangunan rumah.
Saat memasuki rumah yang saat ini telah menjadi museum, saya disambut dengan halaman yang hijau dan asri serta tertata dengan indah.
Sebuah prasasti di sebelah kanan, seperti menyampaikan salam selamat datang kepada saya. Dan, perjalanan saya untuk menyusuri kehidupan bangsawan asal Tiongkok yang dikenal sangat toleran ini pun dimulai.
Pekerja Keras
Terlahir dengan nama Tjong Fung Nam, dari keturunan orang Hakka di Sungkow, Meixian, Guangdong, tahun 1860 yang akhirnya dikenal dengan nama Tjong A Fie.
Berasal dari keluarga sederhana, Tjong A Fie bersama kakaknya Tjong Yong Hian meninggalkan bangku sekolah dan memilih membantu ayahnya yang memiliki toko di China.
Saat muda, Tjong A Fie memutuskan untuk merantau ke Hindia Belanda (Indonesia) mencari penghidupan yang lebih baik. Pada tahun 1875 Tjong A Fie menyusul kakaknya ke Medan, Sumatera Utara.
Saat itu kakaknya sudah menjadi kapitan (pemimpin) Tionghoa di Medan. Tjong A Fie kemudian bekerja di toko milik teman kakaknya dari memegang buku, melayani pelanggan, menagih utang serta tugas-tugas lainnya.
Tjong A Fie dikenal pandai bergaul tidak hanya dengan orang Tionghoa, namun juga dengan warga Melayu, Arab, India, dan orang Belanda. Ia mulai belajar berbicara dengan bahasa Melayu yang menjadi bahasa perantara masyarakat di Tanah Deli.
Karena pekerja keras dan sering menjadi penengah, Tjong A Fie pun diminta pemerintah Belanda untuk membantu mengatasi berbagai masalah. Dan karena ketekunannya itulah, Tjong A Fie diangkat menjadi Mayor Tionghoa di Medan.
Saat di Medan inilah, Tjong A Fie bertemu dengan istrinya yang ketiga yang merupakan perempuan keturunan China dan Melayu bernama Lim Koei Yam.
Sebelum ke Indonesia, Tjong A Fie telah menikah di China. Dan saat tiba di Penang, Malaysia ia juga menikah dan memiliki tiga anak. Dari istri ketiganya Tjong A Fie memiliki tujuh anak dan 29 cucu.
Saat ini satu cucunya yang telah berusia 70 tahun yang masih menempati rumah di lantai dua. Sementara cucu lainnya telah tersebar di sejumlah wilayah Indonesia dan luar negeri.
Jejak sejarah
Kembali ke penyusuran saya di rumah Tjong A Fie, begitu memasuki, rumah bagian depan saya disambut empat wanita muda. Dua orang sebagai penjaga tiket masuk dan dua orang lagi adalah pemandu. Untuk memasuki bagian dalam cukup membayar Rp37.500 per orang.
Setelah membayar, saya pun dihampiri seorang pemandu wanita berhijab yang menawarkan diri untuk menjadi pemandu.
Diawal menjelajahi rumah yang masih terlihat asli, saya diperkenalkan dengan foto keluarga Tjong A Fie. Di foto itu terlihat istri ketiga Tjong A Fie yang merupakan perempuan asli Medan serta anak dan cucunya.
"Usia rumah sudah 119 tahun, untuk bangunan rumah, tegel dan langit-langit semuanya masih asli," kata Handa sang pemandu.
Rumah ini dibangun untuk istri tercintanya, Kiem Koi Yap. Rumah klasik yang mengusung konsep arsitektur gaya Eropa, Tionghoa, dan Melayu ini baru dibuka untuk umum sejak 2009 lalu. Dan ditetapkan sebagai Cagar Budaya Medan.
Dinding-dinding rumah dipenuhi foto-foto Tjong A Fie di masa lalu, di sana terlihat saat bersama istri dan anak-anaknya. Di salah satu ruangan terdapat foto Sultan Deli. Tjong A Fie dikenal dekat dengan Sultan Deli yang berkedudukan di Istana Maimun dan merupakan partner bisnis bidang perkebunan.
Usaha perkebunan Tjong A Fie adalah, kelapa, karet, kopi dan tembakau. Ruang tamu tersebut pun didekorasi warna kuning untuk menghormati Sultan Deli yang merupakan asli Melayu. Di ruangan tersebut masuk terdapat brankas yang berusia 100 tahun.
Selain ruangan khusus menerima Sultan Deli, ada juga ruangan untuk menerima tamu dari Eropa dan pribumi. Di ruangan itu kursi, meja dan partisi masih asli yang diimpor dari China. Dan ruang tamu yang terakhir adalah untuk menerima tamu dari kalangan Tionghoa.
Meski telah berusia 100 tahun lebih, dinding dan kayu masih terawat dengan baik. Seperti halnya kamar tidur Tjong A Fie dan istrinya, tempat tidur kayu besar terlihat masih kokoh.
Ada pula, timbangan badan dan brankas. Brankas masih asli yang diimpor dari London, dan telah berusia lebih dari usia rumah. Selain kamar utama dan kamar anak, di rumah itu juga terdapat ruangan untuk berdoa pada bagian bawah dan bagian atas. Tjong A Fie dan keluarga beragama Kong Hu Cu.
Selain di lantai satu, saya pun menyusuri lantai dua rumah Tjong A Afie. Saat menaiki tangga, masih terdapat kait di setiap anak tangga yang gunanya untuk mengaitkan karpet. Namun saat ini tidak lagi digunakan.
Di lantai dua terdapat ruangan doa, ruang makan dan kamar anak Tjong A Fie, dari situ terlihat halaman belakang rumah yang memiliki luas 6.000 meter dengan luas bangunan 4.000 meter persegi.
Bangunan di buat segi empat segingga pada bagian tengah bangunan bisa melihat lantai satu. Jendela dari kayu berjajar rapi dan masih terlihat terawat dengan baik.
Di lantai dua ini ruangan seperti ballroom yang menghadap ke halaman depan rumah dengan banyak jendela kayu. Ruangan tersebut memang digunakan untuk pesta dansa. Lampunya masih asli dan diimpor dari Italia, sementara lantai kayu juga masih asli.
Rumah Tjong A Fie juga memiliki ruang kumpul keluarga yang dipenuhi banyak kursi yang juga berbahan kayu. Bahkan, hampir seluruh perabotan dan bangunan berbahan kayu.
Atap berbahan kayu yang dilukis ornamen Tionghoa, anak tangga berbahan kayu, beberapa ruang juga dinding atau pembatasnya juga berbahan kayu. Dan menurut pemandu, semua itu masih terawat dengan baik.
Bangsawan dermawan dan toleran
Selain dikenal sebagai bangsawan yang dermawan dan dihormati, Tjong A Fie juga diketahui sangat toleran dan berjasa dalam membangun Kota Medan yang saat itu dinamakan Deli Tua. Medan tumbuh seiring dengan kiprah Tjong A Fie. Pada 1913, ia pun mendirikan Bank Kesawan.
Beberapa bukti dan jasanya dalam usaha mengembangkan kota Medan adalah menyumbangkan menara lonceng untuk Gedung Balai Kota Medan yang lama, pembangunan Istana Maimun, Gereja Uskup Agung Sugiopranoto, Kuil Buddha di Brayan, kuil Hindu untuk warga India, Batavia Bank, Deli Bank, Jembatan Kebajikan di Jalan Zainul Arifin serta mendirikan rumah sakit Tionghoa pertama di Medan bernama Tjie On Jie Jan.
Tjong A Fie juga sangat menghormati warga muslim, bahkan ia berperan serta dalam mendirikan tempat ibadah yakni Masjid Raya Al-Mashum dan Masjid Gang Bengkok serta ikut merayakan hari-hari besar keagamaan bersama mereka.
Karena sifatnya yang dermawan dan toleran tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, agama dan asal usul, Tjong A Fie selalu dikenang warga Medan dan sekitarnya yang mengenalnya.
Bahkan di surat wasiatnya pun tertulis tentang kegiatan sosial yang ditulisnya empat bulan sebelum meninggal. Tjong A Fie meninggal pada usia 61 tahun tepatnya 4 Februari 1921. Karena kedermawanannya yang tanpa memandang suku, agama dan ras, pemakaman Tjong A Fie didatangi ribuan pelayat.
Tjong A Fie di makamkan di pemakaman keluarga yang memiliki luas satu hektare di Pulau Berayan, Medan. Di makam itu hanya ada Tjong A Fie dan istri ketiganya. Sedangkan makam anak-anaknya dibuat terpisah. (ren)