Heboh Sumpah Pocong Wiranto
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVA – Ucapan heboh dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto. Eks Panglima TNI itu menantang mantan Kepala Staf Kostrad TNI Mayjen (Purn) Kivlan Zen dan mantan Pangkostrad Letjen (Purn) sekaligus calon presiden Prabowo Subianto, melakukan sumpah pocong.
Tantangan Wiranto ditegaskan untuk membuktikan siapa dalang peristiwa kerusuhan Mei 1998. Ia geram terhadap Kivlan Zein karena dirinya dituding seolah sebagai dalang kerusuhan menjelang berakhirnya kepemimpinan Presiden RI ke-2 Soeharto tersebut.
"Sumpah pocong saja, 98 itu yang menjadi bagian dari kerusuhan itu saya, Prabowo, Kivlan Zen. Sumpah pocong kita, siapa yang sebenarnya dalang kerusuhan, biar terdengar di masyarakat, biar jelas. Jangan asal menuduh saja," kata Wiranto di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa, 26 Februari 2019.
Wiranto meminta Kivlan agar tak asal menuduh. Kata dia, dirinya justru melakukan berbagai langkah persuasif dan kompromi dengan para aktivis reformasi. Upaya ini dilakukan agar jangan sampai muncul kekacauan yang merugikan masyarakat Indonesia.
"Bukan saya dalang kerusuhan. Saya justru mencegah kerusuhan terjadi. Dan, ternyata tiga hari saya sudah mampu mengamankan negeri ini," ujar Wiranto.
Baca: Tantang Wiranto Debat, Kivlan Zein: Saya Kupas Kulitnya di Muka Umum
Pernyataan Wiranto ini direspons Kivlan. Purnawirawan jenderal bintang dua itu tak kalah geram. Ia menantang balik Wiranto agar berani debat di forum terbuka. Selain itu, Kivlan menantang Wiranto berani menempuh penyelesaian lewat pengadilan. Bagi Kivlan, tantangan Wiranto untuk sumpah pocong tak tepat karena tak menyelesaikan persoalan.
"Sumpah pocong itu terminologi setan, bukan hukum. Saya mau buktikan itu dilakukan melalui debat dan pengadilan. Debat di depan umum, misalnya di tvOne tentang 98, tentang yang benar yang salah. Kedua, lewat pengadilan militer atau hak asasi manusia. Saya kupas itu kulitnya Wiranto di muka umum," kata Kivlan saat dikonfirmasi VIVA, Rabu, 27 Februari 2019.
Terlanjur jadi pemberitaan media dan membuat geger publik, tantangan sumpah pocong ala Wiranto disorot. Meski pendiri Partai Hanura itu meminta polemik sumpah pocong ini sudah cukup dan tak perlu diperpanjang.
Baca: Ditantang Balik Kivlan Zein, Wiranto: Cukup
Pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio heran isu kerusuhan Mei 1998 selalu diembuskan di musim pilpres. Namun, kali ini menurutnya lucu karena dilontarkan dengan tantangan sumpah pocong.
"Enggak perlu sumpah pocong sih. Negara ini lucu segala yang gaib diajak ke politik. Genderuwo, pocong lah," kata Hendri kepada VIVA, Rabu, 27 Februari 2019.
Hendri menekankan bila memang serius sebenarnya masalah ini bisa diusut. Pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998 terkesan percuma karena belum ada kelanjutan. "Kalau serius kan bisa. Karena saksi sejarahnya masih ada. Tinggal ditelusuri saja, mau enggak pertanyaannya," ujar Hendri.
Kritikan juga disampaikan peneliti senior pusat penelitian politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti 'Wiwiek' Zuhro. Dia berharap saling serang antar purnawirawan jenderal soal kerusuhan Mei 1998 disetop.
Ia menyindir terpenting dalam kasus ini adalah solusi bukan politisasi setiap musim pilpres.
"Gaduh di ruang publik dicukupkan dulu karena hanya membingungkan publik. Yang penting solusi masalah itu agar tak terus menerus dipolitisasi setiap kampanye pilpres," jelas Wiwiek kepada VIVA, Rabu, 27 Februari 2019.
Sejarah Politik Tak Tuntas
***
Dugaan keterlibatan jenderal TNI saat kerusuhan Mei 1998 memang harus dijernihkan. Menurut Wiwiek, kasus ini mesti dijelaskan secara obyektif dan bisa dipertanggungjawabkan.
Ia menyoroti kontroversi kasus ini selalu muncul sejak Pilpres 2009. Dalam tiga kali pilpres, isu ini dinilainya selalu dimainkan. Meski saat Pilpres 2009 tak terlalu deras politisasinya. "Masalah ini senantiasa muncul sejak Pilpres 2009. Untuk menjernihkan sejarah politik Indonesia dan menghentikan polemik sudah saatnya penuntasan masalah ini disegerakan," ujar Wiwiek.
Bumbu politik dalam penggelindingan isu kerusuhan Mei 1998 ini menggambarkan persaingan friksi antar dua kubu di Pilpres 2019. Di Pihak petahana ada Menko Polhukam Wiranto yang terseret. Lalu, di kubu oposisi ada calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto.
"Tantangan itu makin memperkeras friksi antar kubu. Apalagi dilakukan Menko Polhukam dan capres yang sedang berlaga di pilpres kali ini," tutur pengamat politik UIN Jakarta, Adi Prayitno.
Baca: Wiranto: Saya Bukan Dalang Kerusuhan 1998, Saya Justru Mencegah
Diserang Wiranto, kubu Prabowo tak tinggal diam menyampaikan pembelaan. Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN), Ferdinand Hutahaean menyindir manuver Wiranto hanya strategi untuk mengalihkan perhatian dan fokus publik.
"Masak seorang jenderal bintang empat, menko polhukam dan eks Panglima ABRI kehilangan rasionalitas dengan mengajukan sumpah pocong," ujar Ferdinand kepada VIVA, Rabu, 27 Februari 2019.
Menurut dia, seharusnya Wiranto bisa menjelaskan secara runut soal tragedi Mei 1998. Sebagai Panglima ABRI saat itu, Wiranto dinilai punya informasi kuat terkait peristiwa tersebut. "Lebih baik itu dijelaskan biar saksi sejarah yang lain menilai apakah Wiranto jujur atau bohong. Bukan dengan menantang sumpah pocong," kata Ferdinand.
Adapun Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Inas Nasrullah Zubir ikut merespons kubu Prabowo. Menurut Inas, pernyataan Wiranto yang menantang sumpah pocong karena isu fitnah terkait kasus HAM seperti kerusuhan Mei 1998 sudah makin parah.
"Pak Wiranto hanya menangkal fitnah kepadanya. Maka itu sumpah pocong ditembak ke hidung Prabowo. Ya enggak masalah," tutur Inas kepada VIVA, Rabu, 27 Februari 2019.
Baca: Haris Azhar: Jokowi dan Prabowo Punya Problem Serius soal HAM
Inas menekankan, suara kubu rival beberapa kali menyudutkan Wiranto yang digambarkan terlibat dalam tragedi Mei 1998. Isu ini dilempar sebagai kegagalan era Jokowi dalam penuntasan kasus HAM.
"Sudah 20 tahun lebih kasus ini enggak jelas. Pak Wiranto tidak salah. Itu kan menangkal fitnah yang menyerangnya. Cerdaslah kubu sebelah kalau memainkan isu," ujar Inas.
Terkait kontroversi kasus kerusuhan Mei 1998, sudah dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Diketuai Marzuki Darusman, TGPF dibentuk pada 23 Juli 1998 dan ditekan era Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie.
Peran TGPF bertujuan untuk menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei 1998. Adapun TGPF saat itu terdiri dari gabungan unsur Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), pemerintah, dan LSM.
TGPF dalam laporannya menelaah dugaan pelaku kerusuhan Mei 1998 terdiri dari tiga golongan. Tiga golongan itu terbagi massa aktif yakni massa pendatang yang terorgarnisir. Lalu, ada provokator yang menjadi penggerak massa. Kemudian, massa pasif yaitu warga lokal yang ikut tersulut untuk melakukan kericuhan.
Untuk hasil TGPF tragedi Mei 1998, sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Namun, pihak Kejagung berargumen mesti ada Pengadilan Hak Asasi Ad Hoc dalam merespons penyelidikan TGPF. (umi)