Menakar Kesiapan Indonesia Menyongsong Revolusi Industri 4.0

Presiden Jokowi dalam peresmian Gojek di Vietnam
Sumber :
  • Instagram/@gojekindonesia

VIVA – Revolusi industri 4.0 menjadi salah satu topik bahasan pada debat Pilpres 2019 putaran kedua, Minggu, 17 Februari 2019, di Hotel Sultan, Jakarta. Pertanyaan terkait revolusi industri 4.0 pertama kali diajukan pada Calon Presiden nomor urut 01, Jokowi.

"Apa strategi Bapak menghadapi revolusi industri 4.0 di sektor pertanian, perikanan, dan peternakan, yang sebagian besar pelakunya masih skala kecil dan tradisional?" ujar Anisha Dasuki, moderator debat melontarkan pertanyaan pada Jokowi.

Mantan Wali Kota Solo itu memulai jawabannya dengan pemaparan Revolusi Industri 4.0 di mana peradaban dunia mengarah pada kecepatan internet yang sangat tinggi, Artificial Intelligence (AI), Internet of Thing, Big Data, dan teknologi robotik.

"Dan saya meyakini bahwa dengan persiapan pembangunan sumber daya manusia kita akan bisa mempersiapkan bangsa kita menuju Revolusi Industri 4.0," kata Jokowi.

Revolusi industri, sebelum mengarah pada generasi keempat yang kini seluruh dunia sedang berbenah menyongsongnya, telah dimulai sejak abad 17. Revolusi industri pertama berlangsung pada periode tahun 1750-1850, di mana ditandai dengan penemuan mesin pembuat kapas menjadi benang, diciptakan oleh James Hargreaves.  

Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri), Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) dan Ketua KPU Arief Budiman (tengah) menyanyikan Indonesia Raya saat sebelum memulai debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta
 
Seiring berjalannya waktu, lahir mesin uap yang menandai kemajuan peradaban. Moda transportasi bermesin, alat pertanian, telegram, dan kumparan terbang, tahap demi tahap mewarnai kehidupan pada masa itu.

Dunia seolah menolak stagnan. Dari waktu ke waktu, teknologi bergerak maju. Melalui tangan-tangan para ilmuwan, tercipta karya-karya mutakhir yang dikembangkan secara berkelanjutan, sehingga muncul industri-industri besar.

Dan kini, zaman revolusi industri 4.0 berada di depan mata. Menurut Ekonom asal Jerman, Profesor Klaus Schwab yang pertama kali memperkenalkan konsep itu, dalam era industri 4.0 hidup dan cara kerja manusia akan berubah.

Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali mengatakan, bahwa revolusi yang berarti perubahan, saat ini tengah terjadi dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.  
 
Manusia Vs Robot

Beberapa tahun terakhir, gaung mengenai industri 4.0 kian nyaring terdengar. Tak ingin ketinggalan, Presiden Jokowi pun meresmikan peta jalan atau roadmap yang disebut Making Indonesia 4.0. Harapannya, sektor industri 4.0 tersebut bisa menciptakan lapangan kerja lebih banyak dan investasi baru berbasis teknologi.

Namun, selama ini isu yang muncul justru ketakutan terhadap datangnya masa di mana teknologi mewarnai seluruh aspek kehidupan. Misalnya, semakin sempitnya lapangan pekerjaan lantaran komputerisasi pabrik dan tenaga manusia digantikan oleh teknologi robot.  

Robot yang menggantikan siswi di upacara wisuda
 
Terkait itu, Rhenald Kasali berpendapat bahwa tak serta-merta eksistensi robot akan berlaku dalam waktu dekat. Menurutnya, tiap negara memiliki porsi yang berbeda. Artinya, mereka mempunyai pertimbangan masing-masing jika hendak menggeser tenaga manusia dengan mesin.

"Indonesia itu menggunakan tenaga kerja manusia karena lebih murah dibanding robot. Jadi robot itu kan juga mahal," katanya.

Profesor lulusan University of Illionis ini menuturkan, tenaga robot lebih cocok didayagunakan di negara yang tenaga kerjanya mengalami kemunduran atau defisit demografi, seperti Jepang, Amerika dan negara-negara Skandinavia.

Namun negara berkembang bukan berarti tak perlu robot. Pekerjaan-pekerjaan berbahaya yang selama ini mengandalkan tenaga manusia, sebaiknya segera diambil alih oleh makhluk buatan yang digerakkan teknologi AI itu. "Misalnya, pekerjaan menjaga pintu tol, karena khawatir dirampok, kena knalpot mobil, ditabrak, itu berbahaya," katanya.

Profesi yang berisiko tinggi menantang maut, seperti menangkap teroris, pemadam kebakaran, dan pengeboran minyak di daerah berombak dan laut dalam juga termasuk yang semestinya dioperasikan oleh robot.

Di Indonesia, Rhenald menyebutkan, berbeda dengan negara yang kurang penduduk. Sampai tahun 2045, justru kita masih mengalami bonus demografi. Di satu sisi, ini berarti kebutuhan terhadap penggunaan robot di sektor industri belum bersifat urgent. Namun di sisi lain, menjadi tantangan bagi pemerintah untuk melatih ulang sumber daya manusia (SDM), agar mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di era serba teknologi, yaitu industri 4.0.  

Jokowi Ajak 2 Cucunya Nonton Laga Timnas Indonesia Vs Filipina di Manahan

Rhenald Kasali
 
"Di Indonesia, sampai 2045 kita mengalami bonus demografi. Jadi kita punya banyak waktu untuk melatih ulang SDM (sumber daya manusia) kita, karena kita kelebihan tenaga kerja," katanya menambahkan.

Akan tetapi bukan berarti tenaga robot sama sekali tidak diterapkan di industri Tanah Air. Meski belum secara keseluruhan, perusahaan yang bergerak di bidang perakitan ponsel dan otomotif telah memberlakukan sistem semi robotik.
 
Industri 4.0 mencakup empat elemen. Rhenald Kasali menyebut di antaranya adalah mobility, big data, Artificial Intelligence, dan Cloud Computing. Suatu negara dikatakan siap untuk beradaptasi dengan industri 4.0 apabila telah menggenggam sumber daya di bidang tersebut.

Penjelasan OIKN soal Heboh Aguan Investasi di IKN Demi Selamatkan Jokowi

Menurut Rhenald, Indonesia masih belum sampai pada tataran itu. "Selama ini industri kita masih terlalu jauh, sehingga lama-lama bisa jadi tidak kompetitif, karena baru mengandalkan mekanistik. Jadi otomasinya di mesin saja. Padahal mesin itu harus dilengkapi dengan sensor, cloud, dan sebagainya," katanya.

“Apabila industri tidak cepat adaptif terhadap perubahan, maka dalam arus teknologi global, ia akan tergerus. "Industri yang lama selalu ketinggalan."

Jokowi Tanpa Partai dan Diisukan Gabung Golkar, Bahlil: Kami Selalu Terbuka kepada Siapa Saja

Inovasi Anak Bangsa

Meski Indonesia masih jauh dari gemerlap unsur industri 4.0, ada angin segar dari generasi muda saat ini yang melakukan inovasi dan terobosan dengan mendirikan perusahaan rintisan (startup). Startup yang dibidani anak bangsa adalah perusahaan berbasis teknologi yang telah bersentuhan dengan elemen industri 4.0 tersebut.

"Misalnya kita bisa lihat Gojek, Kitabisa.com. pertanian terpadu di daerah Lembang, dan peternakan di Sumatera," kata Rhenald.

"Peternakan di Sumatera ada yang sudah pakai sensor. Jadi kalau ada sapi badannya demam, itu di telinganya sudah dipasangi sensor. Jadi bisa langsung diangkat dan diobati," ujarnya.  

Muhammad Alfatih Timur, CEO kitabisa.com
 
Namun tak dapat dipungkiri bahwa usaha rintisan membutuhkan pendanaan yang cukup besar untuk bisa berkembang. Hal ini membuat sejumlah perusahaan asing ikut bermain sebagai roda penggerak perekonomian startup.

Gojek, misalnya. Startup ride hailing yang didirikan Nadiem Makarim pada 2010 itu, kini telah meraih gelar unicorn. Artinya, perusahaan tersebut telah meraih pendanaan sebesar US$1 miliar atau setara Rp14 triliun lebih. Tercatat sederet perusahaan asing yang mendanainya, yaitu Google, JD.com, Tencent, Mitsubishi Corporation, dan Provident Capital.

Rhenald mengatakan, bahwa investor dari luar negeri ikut menyuntikkan dana bagi unicorn lokal, bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Hal itu lumrah, sebagaimana terjadi pada industri-industri lainnya.

"Unicorn ini sifatnya bukan dibeli. Tetapi mereka saling berbagi. Jadi pemegang sahamnya ini mereka rame-rame. Sudah sangat lazim terjadi seperti di dalam industri-industri lainnya," ujarnya menjelaskan.

Faktor lainnya, di balik penetrasi asing ke startup karya anak negeri, adalah karena perusahaan berbasis teknologi dinilai kurang begitu seksi bagi investor lokal. "Belum banyak pemain lokal yang berani invest di situ. Pemain lama kebanyakan di tambang, perkebunan, dan properti. Unicorn ini asetnya enggak kelihatan karena mereka mengandalkan teknologi," kata Rhenald.  

Sementara itu, lebih mengerucut lagi menyinggung soal kesiapan Indonesia menyambut era industri 4.0, Rhenald menyatakan bahwa pemerintah perlu berbenah di berbagai sektor. Pertama, harus dibangun industri pelengkapnya. Misalnya industri pembuatan sensor, sehingga semua fasilitas produksi dilengkapi dengan sensor.

Selanjutnya, Indonesia harus mempunyai jasa cloud computing yang besar dan masuk segera ke teknologi 5G. Kemudian pembiayaannya di sektor non-perbankan.

Teknologi 5G Indosat Ooredoo.
 
Dari sisi SDM, anak-anak muda harus memiliki mindset yang ekploratif. Contohnya Steve Jobs tak pernah belajar IT tapi ia menjadi penemu perusahaan yang sangat inovatif.

"Termasuk Nadiem (pendiri Gojek) juga tak pernah belajar IT tapi menjadi pelopor di bidang IT. Apa yang membedakan mereka? Mereka membuat sesuatu yang baru, dengan mindset yang eksploratif," kata Rhenald.

Pola pikir eksploratif adalah berani mencoba mengambil jalan yang sama sekali baru, tanpa meniru secara mentah-mentah terhadap pola yang dilakukan kebanyakan orang.
 
"Selama ini, kita belajarnya masih eksploitatif, yaitu hanya melakukan sesuatu yang sama, diulang-ulang. Karena lagi top properti, maka masuk properti. Karena lagi top tambang, semua masuk tambang." 
 
Anak-anak muda harus berani mencoba sesuatu yang baru. Kelak mereka yang akan memperbarui regulasi, menciptakan hal baru walaupun tidak pernah sekolah di bidang itu. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya