RUU Permusikan, Belenggu Kebebasan Musisi?
- ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
VIVA – Polemik Rancangan Undang-undang Permusikan, sepertinya tak kunjung usai. Musisi Tanah Air, penggagas Kami Musik Indonesia bersama puluhan orang penggiat musik yang terdiri dari penyanyi, pencipta lagu, manajer, produser, akademisi, dan Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan menentang isi RUU yang dianggap membelenggu kebebasan mereka dalam berekspresi.
Sebanyak 267 musisi yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan menilai tidak ada urgensi bagi DPR dan pemerintah untuk membahas dan mengesahkan RUU Permusikan menjadi Undang-undang. Menurut mereka, RUU menyimpan banyak masalah fundamental yang dinilai membatasi dan menghambat dukungan perkembangan proses kreasi dan justru akan merepresi pekerja musik.
"Kami tetap mendukung upaya menyejahterakan musisi dan terbentuknya ekosistem industri musik yang lebih baik, hanya caranya bukan dengan mengesahkan RUU ini,” tulis KNT dalam siaran persnya yang diposting di akun instagram Efek Rumah Kaca, Minggu 3 Februari 2019.
Danilla Riyadi, salah satu anggota koalisi dalam rilis tersebut menambahkan, “Kalau musisinya ingin sejahtera, sebetulnya sudah ada UU Perlindungan Hak Cipta dan lain sebagainya dari badan yang lebih mampu melindungi itu. Jadi, untuk apalagi RUU Permusikan ini."
Pasal Bermasalah
KNT menemukan ada 19 pasal dalam RUU Permusikan yang dianggap bermasalah. Mulai dari pasal 4,5,7,10,11,12,13,15,18,19,20,21,31,32,33,42,49,50, dan 51. “Dengan kata lain, banyaknya pasal yang mengatur hal yang tidak perlu diatur ini menunjukan RUU Permusikan ini tidak perlu,” kata Arian 13 dari Band Seringai.
Marcell Siahaan, salah satu musisi yang ikut menolak RUU Permusikan tersebut pun ikut angkat bicara. Menurut Marcell, RUU Permusikan tidaklah efektif, apalagi hal tersebut dibuat dalam keadaan yang tidak terlalu genting.
“Sebetulnya (RUU Permusikan) enggak urgent, bukan hanya masalah isi atau kontennya. Tetapi, dari awalpun ini sudah tidak urgent, karena saya berpikirnya efisien efektif saja,” kata Marcell, saat ditemui di Cilandak, Jakarta Selatan, Senin 4 Februari 2019.
Ia menambahkan persoalan para seniman itu sudah cukup diatur oleh beberapa undang-undang yang sudah ada. Maka, RUU Permusikan tidak perlu lagi. “Banyak hal yang sebetulnya sudah diatur dengan UU, ada UU HKI, ada UU kebudayaan. Itu sudah berbicara sedikit tentang seni mengenai musik. Jadi, buat saya tidak perlu lagi membuat UU,” ujar Marcell.
Selain itu, Marcell merasa bahwa RUU Permusikan merupakan undang-undang yang ‘nyeleneh’, baik dari isi pasal maupun kontennya. Maka, ia berharap, agar RUU Permusikan tersebut segera dicabut.
“Undang-undangnya saja sudah nyeleneh menurut gue. Paling nyeleneh itu pasal 5, itu gila. Ya, tentang itu tadi mengekang kebebasan kita berpendapat (berekspresi),” ujar Marcell.
Ia pun menambahkan, “Cabut aja undang-undangnya. Ada kok, pasal 70 Undang-undang no 12 tahun 2011 menyatakan bahwa draft ini bisa dicabut. Bisa dicabut. Ya dicabut saja."
“Pengaturan tata kelola industri musik sangat penting, untuk memastikan perlakuan adil untuk semua pihak yang terlibat di dalamnya. Sehingga, kita dapat lebih memajukan musik Indonesia,” kata Glenn Fredly, yang juga ditemui di Cilandak.
Menurut peneliti Koalisi Seni Indonesia, Hafez Gumay, jika memang RUU Permusikan ini dilanjutkan prosesnya, maka harus berkualitas dalam konteks tata kelola industri musik.
Namun, selagi RUU Permusikan ini masih dalam proses di DPR, Hafez menyarankan, wakil rakyat melibatkan semua orang. Termasuk, para pelaku musik untuk memberikan masukan dan pembahasan lebih lanjut.
Di sisi lain, dalam diskusi yang sempat memanas ini, beberapa musisi berpendapat sejumlah hal tak perlu diatur dalam RUU Permusikan. Misalnya, hal-hal yang telah diatur dalam peraturan undang-undang lain seperti UU Hak Cipta, UU Pemajuan Kebudayaan, serta UU Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
Larangan menodai nilai agama, mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, membawa pengaruh negatif budaya asing, serta merendahkan harkat dan martabat manusia ,juga tidak perlu diatur RUU Permusikan, karena berpotensi mengancam kebebasan berekspresi.
“Saya menilai, RUU Permusikan merepresi berekspresi. Musik bukan hanya penghibur, tetapi merespons situasi sosial politik budaya di masyarakat, dan itu tidak selalu indah. Pasal-pasal karet dalam RUU membuat musisi rentan dikriminalisasi,” ujar musisi Kartika Jahja.
Bisa Diubah
Musisi sekaligus Anggota komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, Anang Hermansyah menanggapi penolakan Rancangan Undang-undang yang digagasnya. Ia merespons salah satu tanggapan terkait Pasal 5 yang menurut banyak musisi sebagai pasal karet yang mengekang kebebasan berekspresi dan multitafsir.
"Kalau ada yang bilang mengekang kebebasan berekspresi ayo kita dudukkan. Karena sifatnya adalah terbuka dan RUU memiliki landasan untuk dikritisi,” kata Anang sat dihubungi VIVA, Selasa, 5 Februari 2019.
Sebagai salah satu inisiator RUU Permusikan itu, Anang mengaku memang telah berdiskusi dengan Badan Keahlian DPR, dalam merumuskan aturan tersebut. Namun Anang mengungkapkan bahwa sejak awal ia tidak pernah mengusulkan aturan yang mengatur tentang kebebasan berekspresi.
"Kalau mau tahu waktu pertama kali aku memberikan permasalahan-permasalahan di industri musik, itu aku tidak pernah berbicara tentang kebebasan berkreasi dikekang seperti itu, itu tidak pernah. Ada itu catatannya di DPR ada. Tapi aku enggak mau buka. Biarin sajalah," kata dia.
Menurutnya, yang sekarang beredar adalah hasil dari diskusi DPR yang masih sangat terbuka untuk kembali dirumuskan bersama. "Eh aku sudah dapat ini yang sudah kita diskusikan beramai-ramai, ini hasilnya dari parlemen. Setuju enggak, apa yang tidak setuju kita buang-buangin yuk (pasal yang tidak disetujui), itu ada bareng Mas Glenn semua diskusinya," tutur Anang.
Anang mengatakan, bahwa pada saat itu Glenn yang akan menyampaikan kepada musisi lainnya. Namun, ia tidak tahu apa yang disampaikan hingga terjadi penolakan besar-besaran. Menurutnya, hal itulah yang menjadi pangkal dari semua penolakan yang terjadi belakangan ini.
"Akhirnya kontra produktif terhadap cita-citanya," kata dia. Padahal, menurutnya banyak masalah di industri musik yang perlu diatur terlepas dari beberapa pasal yang ditolak. Seperti beberapa di antaranya aturan terkait royalti, program pendidikan vokasi di bidang musik, dan aturan yang menyejahterakan musisi tradisional.
"Makanya saya bertanya itu masalah atau bukan? Harusnya itu masalah yang dibetulkan. Kita enggak boleh egois. Pertanyaannya sekarang apakah kita butuh UU atau cukup Peraturan Pemerintah biasa atau peraturan daerah itu, kita diskusi," kata dia.
Sebelumnya, Anang dan istrinya, Ashanty, sempat berseteru dengan Jerinx SID terkait RUU Permusikan. Aturan ini dinilai banyak musisi membahayakan bagi mereka. Ini karena ada beberapa pasal yang berpotensi menjadi pasal karet.
Pasal yang dikhawatirkan menjadi pasal karet adalah Pasal 5 yang isinya larangan bagi para musisi seperti membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi hingga membuat musik provokatif.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju, saat dihubungi VIVA, Selasa malam, 5 Februari 2019 mengatakan penolakan yang gencar dari kalangan musisi terkait dengan Pasal 5 karena dikhawatirksn akan berdampak pada pembatasan bagi musisi dalam berkreasi.
“Kami memang fokus di Pasal 5, namun kalau dilihat dari awal sampai akhir, RUU ini memang soal perizinan yang menurut saya tidak akan bagus bagi industri,” kata Anggara.
Ia menambahkan, RUU Permusikan inisiatif DPR yang ingin mengatur industri musik, oleh karena itu kalangan musisi harus mulai konsolidasi jangan semuanya diserahkan ke DPR.
“Silakan kawan-kawan musisi membuat semacam blue print kemudian serahkan ke Pemerintah dan DPR. Saya kira dengan adanya penolakan ini, bisa saja ada perubahan,” katanya. (umi)