Imlek dan Toleransi Beragama

sorot imlek tionghoa budaya china
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

VIVA - Warga keturunan Tionghoa di Tanah Air akan bergembira. Mereka turut menyambut tahun baru China atau dikenal dengan sebutan Imlek pada Selasa, 5 Februari 2019.

Mengintip Festival Kue Bulan Paduan Budaya Nusantara-Tionghoa, Ternyata Sudah Ada 3000 Tahun Lalu

Berdasarkan perhitungan penanggalan mereka, tahun baru ini akan memasuki tahun ke 2570. Tentunya, mendapatkan hidup yang lebih baik, berkah, dan keberuntungan menjadi harapan mereka.

Tapi, pada perayaan tahun ini tampaknya mereka akan mendapatkan tantangan yang berbeda. Seperti dilansir dari BBC Indonesia, perayaan Imlek menghadapi penolakan dari sejumlah ormas di Bogor dan Pontianak.

Dilema Air Minum Dalam Kemasan

Belum lama ini, beredar surat edaran dari Forum Muslim Bogor (FMB) yang menyatakan penolakan terhadap perayaan tahun baru Imlek dan Cap Go Meh (puncak perayaan Imlek) 2019. Salah satu poin dari isi surat tertanggal 23 Januari itu adalah meminta Pemerintah Kota dan Kabupaten Bogor tidak memfasilitasi perayaan Imlek dan Cap Go Meh di wilayah Bogor, terutama yang melibatkan umat beragama lainnya, khususnya umat Islam.

Mereka beranggapan Imlek dan Cap Go Meh bukan sekadar tradisi etnis China, namun juga hari raya keagamaan, maka dari itu tidak tepat bagi pemerintah untuk mendukungnya, karena bisa mengurangi keimanan umat Islam.

Meriahkan Tahun Naga Kayu di Jakarta, Bank Mandiri Ajak Nasabah dan Mitra Rayakan Imlek

Dalam surat itu, pemuka dan tokoh muslim Bogor juga diseru untuk menjelaskan fakta Cap Go Meh dan bahayanya terhadap akidah umat serta keharaman umat Islam untuk menghadiri atau terlibat di dalamnya.

Selain di Bogor, dua ormas juga menentang penyelenggaraan kegiatan Cap Go Meh di Pontianak. Mereka adalah Pemuda Pancasila Kalimantan Barat dan Kota Pontianak serta Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM) Kalbar. Mereka menilai perayaan Imlek yang mendekati pemilu legislatif dan pemilu presiden bakal membuat situasi tidak kondusif.

Pengaruh Kasus Ahok

Peneliti kemasyarakatan dan kebudayaan Thung Ju-Lan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menilai penolakan perayaan Imlek di beberapa daerah ini merupakan dampak dari intoleransi dan narasi politik yang bergulir setelah kasus penistaan agama yang menjerat mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

"Ada gerakan-gerakan [intoleransi] yang baru dan terutama pengaruhnya karena Pilkada DKI dengan masalah kasus Ahok," kata Thung, masih dilansir dari BBC Indonesia.

Apalagi, tambah dia, Bogor lokasinya tak jauh dari Jakarta. Sehingga gelombang intoleransi di ibu kota dengan mudah menjalar ke kota satelit itu.

Untuk penolakan perayaan Imlek di Pontianak, Thung mengakui motifnya berbeda. Tapi dia menilai pengaruh kasus Ahok terhadap gelombang intoleransi di kota itu tetap tidak bisa dipungkiri.

"Intoleransinya itu dikaitkan dengan pemahaman yang sempit tentang beberapa konsep. Intoleransi itu, semakin kita nggak ngerti semakin tidak toleran, semakin paham kita akan semakin toleran," kata Thung.

"Yang terjadi sekarang terlalu banyak hal yang muncul dan tidak dipahami [soal Imlek], karena selama ini sudah salah kaprah," katanya.

Hormati Imlek

Terpisah, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyerukan kepada semua masyarakat untuk saling menghormati perayaan Imlek di Indonesia yang bertepatan pada Februari 2019.

"Saya mengajak semua kita untuk saling menghargai, menghormati tradisi yang sudah cukup lama ada dan hidup di tengah-tengah kita. Jadi bentuk penghormatan dan penghargaan yang berbeda dengan kita itu sama sekali tidak mereduksi, mengurangi keimanan kita," kata Lukman di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Senin, 28 Januari 2019.

Lukman menjelaskan bahwa perayaan Cap Go Meh dan Imlek diyakini menjadi bagian dari ritual keagamaan. Ada yang meyakini itu tradisi perayaan yang sifatnya tradisi budaya saja, terlepas dari apa pun pemahaman orang terhadap perayaan seperti itu.

"Agama kita mengajarkan agar menghargai dan menghormati keyakinan yang berbeda dengan kita. Maka sebenarnya bentuk penghargaan dan penghormatan seperti itu bukanlah pembenaran tapi justru pengamalan ajaran-ajaran agama kita, karena kita dituntut untuk menghormati dan menghargai kepercayaan orang lain yang berbeda dengan kita," tuturnya.

Sementara itu, Wali Kota Bogor, Bima Arya, juga angkat bicara. Dia menegaskan bahwa Bogor Street Festival (BSF) yang akan digelar 19 Februari 2019 mendatang merupakan simbol persatuan di tengah keberagaman warga Kota Bogor yang dibalut dalam pesta rakyat.

"Ada yang mengatasnamakan FMB. Mereka menyatakan surat terbuka yang pada intinya tidak menyetujui adanya Bogor Street Festival. Kami merasa perlu untuk menyampaikan kepada publik mengenai posisi Pemkot Bogor di sini. Ini menyangkut juga atas nilai-nilai kebersamaan dan keberagaman yang diyakini oleh kita sebagai warga Bogor dari masa ke masa," kata Bima, Senin, 28 Januari 2019.

Bima Arya tak sependapat bila BSF bisa melunturkan akidah umat Islam. Menurutnya, akidah seseorang tidak bisa dinilai akan berkurang atau luntur hanya sebuah perayaan kebudayaan.

"Kalau ada pernyataan bahwa kegiatan ini berdampak kepada akidah, izinkan saya untuk menyampaikan suatu pandangan bahwa hal itu terlalu menyederhanakan keyakinan kita. Terlalu sempit rasanya ketika kehadiran dikaitkan dengan akidah. Insya Allah akidah kita kepada agama yang kita anut tidak akan luntur," katanya.

Bima juga menyebut bahwa BSF dari tahun ke tahun selalu dihadiri tokoh-tokoh nasional. "Apakah akidah seorang Ahmad Heryawan luntur ketika menghadiri BSF ini setiap tahun? Apakah akidah Presiden Jokowi luntur ketika ikut merayakan keberagaman budaya di Indonesia? BSF juga pernah dihadiri Menteri Pariwisata, Menteri Agama dan sejumlah tokoh lainnya," tutur Bima.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Bogor KH Mustofa Abdullah Bin Nuh pun sependapat dengan pernyataan Wali Kota Bogor Bima Arya mengenai aksi budaya Bogor Street Festival 2019. Ia sepakat bahwa Bogor Street bukan milik agama atau etnis tertentu, hanya saja momennya bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh.

Terkait pernyataan Forum Muslim Bogor tentang kegiatan Cap Go Meh yang dikemas sebagai acara Bogor Street Festival, dia menilai sudah melewati batas dan menimbulkan keresahan. Apa yang disampaikan FMB, lanjutnya, menjadi ancaman yang dapat mengoyak kebersamaan, kerukunan antar etnis dan agama di Kota Bogor yang selama ini sudah terjalin dengan baik.

Sedangkan, Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, memastikan pesta rakyat perayaan Imlek akan tetap digelar. Dia menyampaikan para pihak yang semula menolak sudah mendapatkan arahan dari Polresta Pontianak.

"Pihak kepolisian yang paling paham terhadap adanya kemungkinan gangguan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat)," kata Edi, seperti dilansir dari BBC Indonesia.

Edi menilai penolakan yang diutarakan dua organisasi massa pada November tahun lalu, cuma riak-riak saja dan memastikan penentangan itu sudah ditangani. Dia menyatakan perayaan kebudayaan ini menciptakan efek domino di Kota Pontianak, para pelaku ekonomi mikro dan menengah juga ikut mendulang keuntungan ekonomi.

Terkait dengan agenda politik, Edi meyakinkan bahwa selama kepolisian dapat memastikan berlangsungnya perayaan dengan aman, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Agenda politik, kata Edi, tidak serta merta membuat agenda lainnya berhenti sama sekali.

10 Ribu Orang

Perayaan Imlek Nasional 2019 sendiri akan diadakan di Hall B3 dan C3 JIEXPO, Kemayoran, mulai Kamis, 7 Februari 2019 sampai dengan 10 Februari 2019, dari pukul 10.00 hingga 22.00 WIB. Diprediksi, lebih dari 10 ribu orang akan hadir dalam kegiatan tersebut.

Ketua Panitia Imlek Nasional Tahun 2019, Sudhamex, mengatakan sebagai generasi penerus, suku Indonesia Tionghoa adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Dia menyampaikan suku Indonesia Tionghoa harus aktif memperjuangkan pembangunan Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani, mandiri secara ekonomi dan berbudaya luhur dan berkeadilan di segala bidang.

Sudhamex menyampaikan berbagai simbol dan tradisi akan memeriahkan perayaan bertajuk 'Merajut Kebhinekaan Memperkokoh Persatuan tersebut'. Seperti warna dasar merah putih yang merupakan dimensi kebangsaan, dan motif batik mega mendung yang menggambarkan dimensi akulturasi budaya.

Selain itu, juga akan ada alat musik klasik guzheng yang digunakan untuk mengiring lagu-lagu kebangsaan Indonesia, dan juga kolintang digunakan untuk mengiringi lagu-lagu daerah Indonesia maupun lagu Mandarin.

Tidak hanya itu, dalam pagelaran ini juga akan ada atraksi khas Tionghoa Barongsai yang ditampilkan bersama dengan Reog dan Ondel-ondel. Aneka kuliner khas Tionghoa dan makanan dari berbagai daerah di Indonesia juga bisa dinikmati di sini.

Sudhamex berharap agar perayaan Imlek Nasional 2019 bisa menjadi momentum penting untuk suku Indonesia Tionghoa dalam ikut membangun bangsa Indonesia.

"Saya ingin Indonesia lebih makmur berkeadilan serta menjunjung tinggi toleransi dengan cara terus merajut kebhinekaan dan memperkokoh persatuan Indonesia," katanya. (hd) 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya