Nasib Si Milenial, Terjebak Lingkaran Generasi Sandwich

Ilustrasi keluarga
Sumber :
  • Pixabay/Denise Husted

VIVA – Apa arti mapan bagi Anda? Setiap orang pasti punya definisi masing-masing. Jika diukur dari seberapa banyak materi yang ia punya, mungkin mapan bisa digambarkan dengan seseorang yang sudah punya banyak aset seperti rumah, mobil, tabungan, gaji tinggi, sehingga bisa membiayai gaya hidup mewah.

Aryo dan Nindya, adalah sepasang suami istri yang mengaku belum mapan secara finansial. Dalam sebulan, pasangan yang sudah menikah 10 tahun ini selalu merasa kekurangan dan beberapa kali terpaksa meminjam uang ke kerabat hingga ke bank untuk menutupi biaya hidup.

Padahal Aryo bekerja sebagai pegawai pemerintahan dengan gaji di atas Rp12 juta. Sedangkan Nindya adalah karyawan bank dengan gaji Rp7 jutaan. Namun dengan penghasilan itu, mereka tak pernah cukup.

Besar pasak daripada tiang mungkin adalah ungkapan yang cocok untuk pasangan ini, jika dipahami permasalahannya datang dari pihak keluarga. Meski sudah menikah dan memiliki keluarga sendiri, Aryo dan Nindy masih harus menanggung biaya hidup orang tua dan adik-adiknya.

Ilustrasi ibu dan anak.

Orangtua Aryo yang berumur 70 tahun masih tinggal bersama mereka. Tak hanya itu, Aryo juga masih membiayai kuliah adiknya. Belum lagi masalah cicilan rumah, mobil, biaya hidup sehari-hari dan lain-lain.

Padahal di lain sisi, Aryo dan Nindy yang dikaruniai tiga orang anak harus fokus juga pada biaya sekolah. Terutama anak ke-3 yang mengalami autisme dan membutuhkan pendidikan hingga biaya khusus. 

Kondisi yang dialami Aryo dan Nindy bukan hanya soal mengatur keuangan. Bagaimanapun, keluarga adalah nomor satu. Merawat orang tua adalah perbuatan yang mulia. Namun di sisi lain, tanggung jawab terhadap anak dan istri juga tak bisa diabaikan.

Berkaca dari Aryo dan Nindy, ternyata kondisi yang mereka alami, juga terjadi pada hampir sebagian besar penduduk di dunia. Bahkan mungkin Anda sendiri mengalaminya. 

Berdasarkan survei Pew Research Center pada 2013, hampir 47 persen orang-orang yang berusia 40 – 50 tahun memiliki orang tua yang berusia 65 tahun atau lebih, dan juga sedang membesarkan anak yang berusia 18 tahun atau lebih. Sekitar 15 persen di antaranya bertanggung jawab terhadap kebutuhan finansial orang tua dan anaknya.

Kondisi tersebut dikenal dengan istilah “generasi sandwich”. Ini merupakan istilah bagi orang-orang yang terhimpit secara finansial untuk mencukupi kebutuhan banyak pihak. Tak hanya dirinya, tetapi juga anak-anak bahkan orang tuanya dalam waktu bersamaan.

Sebenarnya istilah “sandwich generation” atau generasi sandwich pertama kali dikemukakan oleh pekerja sosial bernama Dorothy Miller pada 1981. Istilah ini dipakai untuk menggambarkan orang-orang di usia paruh baya (middle age) yang terjepit (sandwiched) dalam memenuhi kebutuhan anak-anak mereka dan juga orang tuanya, dari mulai kebutuhan finansial sehari-hari hingga kesehatan secara bersamaan.

Tak hanya orang tua, yang harus ditanggung oleh generasi ini tak terbatas, bisa saja mertua, anak, keponakan, adik, atau kakak. 

Psikolog anak dan remaja, Vera Ithabiliana, mengatakan bahwa generasi sandwich ini juga terjadi bukan hanya pada orang yang sudah menikah, tapi juga yang single.

"Single tapi punya tanggungan, itu juga bisa disebut generasi sandwich. Yang diurus mulai dari masalah rumah tangga, kesehatan, plus kebutuhan dirinya sendiri," ujar Vera kepada VIVA, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa umumnya generasi sandwich 30-50 tahun dan yang ditanggung tidak hanya soal finansial melainkan psikis. 

"Mereka terjebak dalam banyak hal yang harus dikerjakan padahal waktunya tidak banyak. Mesti berbagi waktu, belum lagi mereka juga butuh afeksi dan juga kasih sayang. Di lain sisi kalau ada yang salah dan ada yang tidak terpenuhi, dia langsung merasa bersalah."

Generasi yang rentan stres dan perceraian

Riset American Psychology Assosiation mengungkap bahwa 2 dari 5 laki-laki generasi sandwich merasakan stres berat. Lebih miris lagi angkanya pada responden perempuan. Dikatakan 3 dari 5 perempuan generasi sandwich mengalami stres berat.

"Perempuan memang lebih rentan, karena mereka di rumah seharian. Kalau laki-laki terbiasa di luar rumah, jadi yang menghadapi langsung perempuan. Tapi pada dasarnya bebannya sama."

Begitu juga dengan yang single. Bahkan kelak saat berumah tangga, karakter tersebut akan terbawa hingga ke anak-anaknya.

"Dengan beranjaknya usia, generasi milenial pun berpindah ke fase pernikahan dan memiliki anak. Karakter khas mereka menambah tekanan para milenial ketika menjadi generasi sandwich dan harus menjalankan berbagai peran sebagai istri/suami, pekerja, serta mengurus orang tua dan buah hati."

Ilustrasi perceraian.

Jika dibiarkan tanpa solusi, tentu akan berdampak pada kesehatan dan kondisi keluarga secara keseluruhan. 

"Kalau stres didiamkan akan muncul keluhan fisik seperti pusing, bisa psikosomatis. Dan jika dibiarkan berlarut larut bisa menjadi depresi dan bisa hingga naik level menjadi lebih parah."

Generasi 'Sandwich' Mesti Cerdas Atur Keuangan, Jenis Investasi Ini Bisa Jadi Pertimbangan

Di lain sisi, kondisi yang melibatkan generasi ini juga rentan perceraian. "Pasti hal itu akan terus memicu konflik hingga sebabkan perceraian. Karena banyak kebutuhan, kepentingan berbenturan, baik dari atasnya (orang tua), bawahnya (anak dan istri), baik dengan kepentingan dia sendiri."

Hidup dinamis sebagai generasi sandwich

4 Kiat Putus Rantai Generasi Sandwich

Hidup sebagai generasi sandwich sudah tak terelakkan. Dan bagaimanapun, generasi ini tidak selamanya negatif karena ada hal-hal positif yang bisa dilakukan. Semua tergantung bagaimana Anda menjalaninya.

"Butuh support dari lingkungan, tipsnya yang pertama realistis dengan kemampuan, bisa mengukur dalam sehari maksimalkan semua. Termasuk pasangan, berbagi peran, berbagi tugas," ujar Vera.

2 Kesalahan Umum Orang Indonesia Saat Beli Asuransi

Sementara itu, menurut buku ‘Mertua vs Menantu’ yang ditulis Hendra Sipayung yang mengutip ungkapan guru besar Prikologi, Prof. Dr. Jeanette Murad Lesmana soal konflik generasi sandwich, dirinya menyebut bahwa generasi ini biasanya terjadi karena pasangan belum memiliki pemahaman atau kesepakatan tentang beberapa hal berikut ini. 

1. Kebiasaan. Setiap rumah memiliki kebiasaan masing-masing. Karena itu,  menantu sebagai "pendatang" harus bisa menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang berlaku di rumah mertua. Misalnya, jika mertua tipe rajin, maka menantu sebaiknya tidak bangun di atas jam 10 pagi, meskipun di akhir pekan atau hari libur. 

2. Kontribusi. Bukan hanya uang, tapi juga kontribusi fisik, waktu, dan lain-lain. Anggota keluarga harus berdiskusi agar jelas task list atau kontribusi soal siapa memberi berapa, siapa mengerjakan apa, dan sebagainya. Tapi dalam hal ini, pasangan tidak perlu memaksakan diri jika belum mampu memberi konstribusi maksimal. Sesuaikan dengan kemampuan saja. 

3. Pola asuh. Pola pengasuhan anak mengikuti aturan dari orang tua, bukan kakek nenek. Karena anak adalah produk dari orang tua, bukan kakek nenek. Bila kakek nenek ingin melarang ini itu pada cucu (anak), maka harus sepengetahuan orang tuanya (anda dan pasangan), agar anak tahu, otoritas ada di tangan orang tua bukan kakek nenek.  

4. Pembelaan. Teguran dari orang tua mungkin terdengar biasa saja di telinga  anda, tapi tidak demikian bagi pasangan. Untuk itu, anda perlu membela pasangan agar ia tidak merasa terus disalahkan atau mengalah. Konflik kerap timbul, karena salah satu merasa tidak dibela atau diberi dukungan oleh pasangannya. 

5. Privacy. Setiap anggota keluarga harus saling menjaga privacy, dengan memberikan waktu dan tempat bagi masing-masing anggota keluarga untuk melakukan kegiatan yang disukai, tanpa diketahui  dan diinterupsi oleh anggota keluarga yang lain. Tapi yang lebih utama, privacy bagi anda dan pasangan. 

Ilustrasi pasangan muda.
  
"Modal wajib" bagi pasangan generasi sandwich. Agar konflik, seperti yang dialami Aryo dan Nindy, tak berkepanjangan, menurut Prof. Dr. Jeannette, ada beberapa hal yang menjadi modal wajib bagi pasangan:  

1. Komunikasi. Hidup bersama keluarga besar, maka komunikasi antara generasi harus sebaik mungkin. Segala sesuatu yang mengganjal perasaan, harus dibicarakan. Juga, sering-sering menjadi pendengar yang baik. Bila dalam kasus Aryo dan Nindy, maka Nindy-lah yang harus mengajak suaminya untuk berdiskusi, dan menemukan solusi yang terbaik.  

2. Penyesuaian. Pihak yang menumpang tinggal harus tahu diri dan menyesuaikan diri dengan penghuni dan sikon rumah. Misalnya, pasangan yang menumpang di rumah orang tua/mertua, maka pasangan harus menyesuaikan diri. Sebaliknya, bila orang tua yang menumpang di rumah anak, maka orang tua harus menyesuaikan diri.  

3. Kesepakatan. Pasangan harus membentuk teamwork yang baik dan memiliki kesepakatan. Jika sejak awal menikah sudah sepakat tinggal bersama orang tua, maka segala risiko harus dijalani bersama. Pasangan harus sepakat dan saling mengetahui dan memahami setiap kebutuhan, tak terkecuali dalam urusan pembantu atau babysitter

4. Kebesaran hati. Butuh kebesaran hati bagi ketiga generasi untuk bisa hidup berdampingan dengan mesra dalam satu atap. Bagi pihak yang menumpang, sebaiknya jangan berlaku seenaknya sendiri, karena  posisinya hanya menumpang, bukan pemilik rumah. Bagi pihak yang ditumpangi sebaiknya tidak bersikap pamrih.  

5. Perbedaan = Aset. Apa yang membuat sandwich istimewa? Tentu saja isi roti yang berbeda di setiap lapisannya. Sama halnya dengan keluarga besar, setiap individu memiliki karakter berbeda. Karena itu, perbedaan jangan dijadikan alasan saling bertentangan. Justru perbedaan itu merupakan aset yang memperkaya kehidupan. 

6. Selesaikan segera. Minus dari tinggal bersama orang tua, giliran terjadi konflik dengan pasangan, orang tua akan mengetahuinya. Beda halnya bila Anda dan pasangan tinggal di rumah sendiri. Meski demikian, konflik harus diselesaikan sesegera mungkin. Bila keadaan sudah tak lagi memanas, bicarakan masalah dengan kepala dingin dan rasional sampai tuntas. 

7. Beri perhatian. Meski banyak waktu dan energi yang tersita untuk orang tua dan anak-anak, bukan berarti anda dan pasangan lupa memperhatikan diri sendiri dan perkawinan. Sesekali nikmati waktu hanya berdua di luar rumah, entah makan di resto, nonton di bioskop, atau bertemu teman-teman. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya