Selamat Tinggal Pernikahan Anak
- Pixabay
VIVA – Mei 2018, peristiwa pernikahan anak di bawah umur di Kabupaten Bantaeng menghebohkan masyarakat Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Maros.
Mempelai laki-laki bernama Sattu (14) dan istrinya, Rosniah (16). Orangtua mereka mengakui, pernikahan itu memang hasil perjodohan, tetapi bukan atas dasar paksaan melainkan memang saling menyukai.
Kisah pernikahan Sattu dan Rosniah, adalah satu dari sekian banyak kasus pernikahan anak di bawah umur yang terjadi di Indonesia.
Di tahun 2017, data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sempat mengungkap, sebanyak 340 ribu anak Indonesia menikah dalam setahun. Jumlah tersebut menempati peringkat tujuh sedunia.
Fakta ini, mendorong banyak pihak untuk mendesak pemerintah, segera mengubah Undang-undang Perkawinan, UU No.1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa perempuan boleh menikah pada usia 16 tahun.
Endang Wasrinah, Maryanti dan Rasminah yang merupakan penyitas dari perkawinan anak mengajukan uji materi UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi.
Gayung bersambut, setelah proses panjang dan setelah ditunda 1 tahun 8 bulan, MK akhirnya mengabulkan permohonan uji materi terkait batas usia pernikahan dalam UU Perkawinan. Semula, UU menetapkan batas usia yang dianggap diskriminatif, di mana batas minimum usia pernikahan bagi perempuan 16 tahun, sedangkan laki-laki 19 tahun.
MK akhirnya membacakan putusan terhadap gugatan No.22/PUU-XV/2017 yang memohonkan pengujian Pasal 7(1) UU Perkawinan Anak mengenai batas usia anak pada Kamis, 13 Desember 2018. MK sepakat bahwa usia perkawinan anak perempuan yang dibedakan dengan anak laki-laki bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan memerintahkan pembentuk UU untuk segera melakukan perubahan terhadap UU Perkawinan dalam jangka waktu 3 tahun.
Apabila dalam jangka waktu 3 tahun pembentuk UU tidak segera melakukan perubahan terhadap UU Perkawinan, maka frasa “16 tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan harus dibaca 18 tahun, menyesuaikan ketentuan usia anak di dalam UU Perlindungan Anak.
Diapresiasi
Putusan MK tersebut diapresiasi banyak pihak. Salah satunya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ketua KPAI, Dr Susanto mengatakan, putusan MK yang memerintahkan Pemerintah dan DPR mengubah batas usia perkawinan adalah keputusan tepat. Hal ini menunjukkan keseriusan negara dalam menghapus perkawinan usia anak.
Batas usia perkawinan anak perempuan yang tercantum dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 khususnya pasal 7 ayat 1 yaitu “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun”.
"Usia 16 tahun ini bertentangan dengan UU No 35 Tahun 2018 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 26 bahwa orangtua wajib mencegah terjadinya perkawinan usia anak," katanya saat berbincang dengan VIVA.co.id.
Padahal, dalam UU Perlindungan Anak, usia anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Hal senada disampaikan pemerhati anak, Dr Seto Mulyadi. "Saya kira ini patut diapresiasi dan sangat bagus karena selama ini, (UU Perkawian) itu menyebabkan adanya diskriminasi," kata pria yag akrab disapa Kak Seto ini saat berbincag dengan VIVA.co.id.
Baik Susanto maupun Kak Seto mengatakan, jika batas usia perkawinan anak perempuan tidak segera direvisi, maka akan menimbulkan problem jangka panjang, terutama untuk sumber daya manusia di masa yang akan datang.
Kak Seto, Susanto hingga Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin bahkan sepakat, anak yang menikah di usia masih sangat belia bukan cuma merusak masa depannya, tapi juga merusak masa depan keluarganya.
"Umumnya anak yang menikah usia anak, pendidikannya rendah bahkan putus sekolah. Hal ini rentan menyebabkan dampak jangka panjang bagi keluarganya dan berpotensi menyebabkan kemiskinan yang berulang," ujar Susanto.
Di sisi lain, menikah usia anak berpotensi meningkatkan jumlah angka kematian ibu dan balita. Lebih jauh lagi, perkawinan anak juga berdampak pada kualitas keluarga, padahal mereka akan mengasuh anak di kemudian hari.
"Yang pasti, dari data yang ada, fakta di lapangan pertama, pendidikan mereka rendah, karena mereka kawin, mereka drop out," ujar Lenny.
Dengan begitu, Lenny yakin, wanita yang menikah dini pasti sudah tidak bisa belajar bahkan banyak mereka yang tidak lulus Sekolah Dasar (SD).
Kemudian dari sisi kesehatan, adanya pernikahan di bawah umur, mau tidak mau akan berpengaruh pada kesehatan reproduksi. "Banyak juga partnernya orang dewasa, sampai terjadi infeksi iritasi. Jadi hal-hal ini berdampak," ujar Lenny menambahkan.
Selain itu juga ada dampak ekonomi karena harus ikut menghidupi keluarga. Perempuan yang menikah di usia sangat muda akan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Ujung-ujungnya, mengcreate poverty (kemiskinan). Padahal banyak yang berharap dengan menikah, masalah ekonomi bisa selesai. Tapi faktanya, justru menambah masalah baru.
Ini semua, harus disadari akan mengarah pada indeks pembangunan manusia. Jika perkawinan anak terus terjadi, indeks manusia lambat laun akan mengancam indeks pembangunan manusia. Jika seperti ini, perempuan rentan mengalami KDRT. Bahkan, jika sudah memiliki anak, anaknya berisiko meninggal dunia atau bahkan terlantar.
"Jadi beban yang harus diterima anak-anak ini bertubi-tubi ini yang tidak bisa kita biarkan," kata Lenny.
Usia Tepat Menikah
Agar pernikahan tak menjadi beban, maka harus direncanakan dengan matang. Usia menikah yang ideal pun harus dipertimbangkan.
Mengenai hal ini, Kak Seto menilai, usia ideal perempuan untuk melangkah ke jenjang pernikahan bukanlah usia 16 tahun. Idealnya, perempuan menikah itu di usia 24-25 tahun. "Karena sudah matang menjelang menatap masa dewasa muda. Tapi paling tidak usia ini juga tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Anak," ujarnya.
Kak Seto menuturkan, secara psikologis, usia 24-25 tahun adalah usia matang seseorang untuk berbagi kehidupannya bersama dengan pasangan. Di usia ini, perempuan sudah baik dalam kematangan bersosialisasi, menghargai adanya perbedaan, dan tidak hanya mengedepankan ego masing masing. Di usia ini, biasanya, seseorang mulai bisa berkorban, saling bisa memahami perasaan, dan sebagainya.
"Jadi itu yang paling ideal untuk yang kami amati dalam menangani kasus-kasus keretakan dalam keluarga."
Diharapkan dengan usia pernikahan yang matang, perempuan bukan hanya bisa terhindar dari KDRT, tapi juga bisa mendapatkan pendidikan yang layak minimal 12 tahun hingga SMA.
"Jika perempuan sudah matang dalam memilih jodoh, itu bisa menyesuaikan diri dengan pasangan, karena dalam konflik perkawinan, bukan egoisme dari laki-laki saja tapi dari perempuan," ujar Kak Seto menambahkan.
Hal yang sama disampaikan psikolog Meity Arianty. Menurut dia, usia ideal menikah adalah kisaran 21-25 tahun. "Usia 21 bagi wanita dan 25 bagi pria dianggap sudah cukup matang untuk membina keluarga," ujar Meity.
Meity khawatir, jika perkawinan usia remaja tak dicegah, rentan menimbulkan perceraian, merampas hak tumbuh kembang remaja. "Mereka yang belum matang atau siap menghadapi pernikahan, secara finansial belum stabil, belum lagi tekanan psikologis lainnya, semua itu tidak mudah," ujarnya.
Secara psikologis ada banyak alasan mengapa usia menikah di atas 20 tahun dianggap ideal. Salah satunya karena faktor kedewasaan. Tapi ingat, bukan semata usianya yang dewasa, namun juga kecerdasan emosi dan pola pikir yang dinilai sudah cukup matang.
"Di usia ini dianggap sudah cukup mampu membedakan antara cinta yang sesungguhnya dengan cinta monyet, sudah dapat membedakan ketulusan."
Di usia ini juga, lanjut Meity, seseorang juga dianggap sudah melakukan pencarian jati diri dan sudah tahu apa yang menjadi keinginannya.
Harus Dikawal
Agar putusan MK terkait perubahan batas usia perkawinan terealisasi, KPAI berjanji akan mengawal proses perubahan regulasi ini baik di DPR maupun Pemerintah. Hal ini sekaligus menjadi momentum mendorong harmonisasi usia anak dalam aturan perundang-undangan lainnya.
"Ke depan, KPAI akan mengawal penguatan pendidikan orangtua sebagai penanggung jawab utama perlindungan anak agar tidak mengawinkan pada usia anak," kata Susanto.
Tak hanya KPAI, Kementrian PPPA juga akan terus mengawal perkembangan perubahan usia perkawinan anak ini. Kementerian PPPA akan koordinasi dengan kementerian terkait dan DPR. Mereka akan melibatkan 13 lembaga untuk mencegah maraknya pernikahan anak. Mereka akan merapatkan barisan dan membulatkan tekad mencegah perkawinan anak. (mus)