Preseden Buruk Frekuensi Telekomunikasi

Ilustrasi menara telekomunikasi.
Sumber :
  • www.pixabay.com/blickpixel

VIVA – Industri telekomunikasi Tanah Air sedang hangat belakangan ini. Musababnya soal tiga perusahaan yang menunggak pembayaran Biaya Hak Pengelolaan (BHP) frekuensi 2,3 GHz ke Kementerian Komunikasi dan Informatika.

First Media Resmi Dimiliki XL Axiata, Tak Ada yang Berubah

Tiga perusahaan yang menunggak adalah PT First Media Tbk, milik Lippo Group. Perusahaan ini mengutang Rp364,8 miliar. Kedua adalah PT Internux, produsen Bolt juga anak usaha Lippo Group, menunggak Rp343,5 miliar. Sedangkan ketiga adalah PT Jasnita Telekomindo yang menunggak Rp2,2 miliar. Jasnita merupakan milik pendiri perusahaan penyedia layanan internet ini adalah Direktur Jenderal Aplikasi Telematika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan.

Ketiga perusahaan itu sudah dua kali melewatkan jatuh tempo, yaitu 17 November 2016 dan 17 November 2017. Dan sampai tenggat 17 November 2018, mereka belum mampu menutupi utang BHP tersebut. 

Layanan 'Direct to Cell' Starlink Tidak Bisa Dipakai di Indonesia

Kominfo pun bersikap tegas. Sebelum tenggat akhir pekan lalu, kementerian yang dipimpin Rudiantara ini sudah mengancam mencabut izin frekuensi ketiga perusahaan tersebut. 

Hingga tenggat lewat, ketiga perusahaan memang konsisten, belum membayar kewajiban mereka dan akhirnya Kominfo menyiapkan Surat Keputusan pencabutan izin frekuensi. 

Bea Cukai Tegal Bersama Satpol PP Ringkus Ratusan Ribu Rokok Ilegal

Namun nyatanya, Kominfo melunak. Senin sore 19 November 2018, Kominfo menunda pencabutan izin frekuensi First Media dan Internux. Alasannya kedua perusahaan Lippo Group itu mengajukan proposal perdamaian untuk membayar BHP, meski proposal masuk ke Kominfo Senin siang. 

"Mereka mengajukan restrukturisasi model pembayaran pelunasan utang,” kata Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kominfo, Ferdinandus Setu, di Jakarta.

Dalam proposal tersebut dinyatakan bahwa keduanya berkomitmen akan membayar hingga 2020.

Segendang sepenarian, selain mengajukan proposal damai, duo perusahaan ini juga mencabut tuntutan PTUN mereka. Jubir Kominfo itu mengatakan, pencabutan gugatan itu berbarengan dengan masuknya proposal pembayaran hutang kedua perusahaan tersebut.

First Media dan Internux menggugat Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Tuntutan dengan nomor perkara 266/G/2018/PTUN.JKT awalnya diajukan perusahaan Lippo untuk mendapat penundaan penagihan pembayaran BHP Frekuensi pada perusahaan itu. 

Juru bicara Kominfo itu mengatakan, sedangkan Jasnita Telekomindo tak mengajukan proposal serupa seperti yang dilakukan dua perusahaan Lippo tersebut.  Jasnita tak melakukan upaya apa pun untuk menyelamatkan izin frekuensi mereka. 

PT Jasnita Telekomindo mengatakan, mereka sudah mengalihkan pelanggannya dari frekuensi ke layanan lain. Direktur Enterprise Jasnita Telekomindo Welly Kosasih menyatakan, saat ini pelanggan mereka telah dialihkan ke frekuensi layanan lain.

Welly mengakui, bahwa jaringan 2,3Ghz regional milik Jasnita tidak bisa berkompetisi dengan pemain level nasional. Itulah sebabnya mereka sedang mengembangkan kepada jasa nilai tambah.

Nasib pelanggan

Meski Kominfo urung mencabut izin frekuensi, namun kabar pencabutan izin yang sudah beredar sejak Minggu malam 18 November 2018 sudah membuat pelanggan Bolt dan First Media dilanda keresahan. 

Mereka bertanya-tanya bagaimana nanti nasib layanan mereka. Sejauh mana hak pelanggan layanan tersebut terlindungi. 

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) pun turun tangan. Lembaga ini meminta ketiga perusahaan fokus total pada nasib dan melindungi pelanggan. 

Koordinator Komisi IV BPKN, Nurul Yakin Setyabudi mengatakan, sejauh ini belum ada aturan khusus tentang kompensasi penghentian layanan. Untuk itu perlu ada kesepakatan yang dibuat yang memastikan hak pelanggan tidak dirugikan.

Menurutnya ada dua hal penting dari kasus penunggakan BHP. Pertama adalah skema pengalihan layanan First Media dan Bolt ke operator lain. Skema ini berjalan jika kedua perusahaan ini dicabut izinnya. 

Skema kedua yang terdampak dari dinamika ini adalah kompensasi maupun ganti rugi pelanggan layanan tersebut. 

Untuk skema pertama, regulator atau lembaga konsumen turun tangan melalui kesepakatan Business to Business dengan operator lain. Dalam pengalihan ini, tak melibatkan konsumen. 

Pokoknya, jangan sampai konsumen dirugikan. Ibaratnya jangan sampai ada pemutusan layanan walau satu detik pun,” kata dia kepada VIVA, Senin, 19 November 2018.

Jika layanan di pindah ke operator lain, maka menurutnya, pelanggan jangan sampai dikenakan biaya pemasangan atau instalasi baru.

"Operator harus menyiapkan mekanisme agar pemindahan layanan operator lain berjalan baik dan sederhana," ujarnya.  

Kemudian skema kedua, bagaimana bentuk kompensasi melibatkan perwakilan konsumen dan stakeholder, dan jika dipandang perlu bisa melibatkan perwakilan konsumen. 

Soal nilai besaran kompensasi, skemanya diserahkan kesepakatan dari regulator dan stakeholder dan jika perlu melibatkan pembahasannya dengan perwakilan konsumen. 

Soal batasan waktu pemberian kompensasi, Nurul Yakin meminta Kominfo untuk sigap dan jangan mengulur-ulur pencabutan izin ketiga perusahaan tersebut. 

Menurutnya, Kominfo harus segera mungkin mengambil keputusan soal pemberian kompensasi pelanggan. Jika terus dibiarkan, maka pengguna akan memakai layanan yang ilegal. 

"Jadi secepatnya lah. Kalau menuntut ketentuan perlindungan konsumen ya, (kompensasi) harus 10 hari tuntas. Penyelenggara telekomunikasi ini kan layanan publik, jadi tak boleh terlarut-larut," jelasnya. 

Kasus ketiga perusahaan ini, menurut Nurul Yakin, menjadi pelajaran bagi kejadian serupa di masa depan. Sebab menurutnya, kasus pencabutan izin ini baru pertama kalinya.

Senada dengan BPKN, lembaga perlindungan konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan, Kominfo harus memberikan fasilitas kepada pelanggan untuk melakukan penuntutan haknya dalam kasus pencabutan hak frekuensi. 

Hak konsumen yang dimaksud ialah mengenai pengembalian uang jaminan jika antara pelanggan dan perusahaan memiliki perjanjian tersebut. Lalu mereka juga harus mengembalikan data yang telah dibeli konsumen.

Sebelumnya memang ada kasus penghentian layanan telekomunikasi, yakni Esia milik Bakrie Telecom dan Flexy milik Telkom, namun kasus lama ini bisa berjalan dengan mulus. Malah Nurul Yakin mengapresiasi cara Telkom yang jauh-jauh hari sudah menyiapkan risiko migrasi.

Nah bedanya, kasus ketiga perusahaan ini tidak didukung dengan aturan kompensasi ke pelanggan. Untuk itu, Nurul Yakin mendesak Kominfo untuk melahirkan aturan dan skema perlindungan konsumen dalam bidang telekomunikasi. 

Selama ini, ketentuan perlindungan konsumen tercecer di mana-mana, artinya ada ketentuan di undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri sampai Keputusan Menteri. Untuk memudahkan, Nurul Yakin mengatakan sebaiknya aturan perlindungan konsumen di bidang telekomunikasi bisa dikompilasi. 

"Operator harus melakukan risk management dan mitigasi agar layanan tetap berlanjut sebagaimana diharuskan regulasi, sehingga tidak merugikan Konsumen dan jangan lari dari tanggung jawab," ujarnya. 

Preseden buruk

Nah sikap Kominfo berubah menerima proposal perdamaian ini dikritik keras oleh Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi. 

Menurutnya, seharusnya Kominfo tutup mata saja, tegas untuk mencabut izin frekuensi perusahaan yang menunggak sampai tenggat pada 17 NOvember 2018 sesuai pernyataan Menkominfo Rudiantara yang ngotot pencabutan izin pada awalnya. 

Rudiantara mengatakan, pencabutan izin frekuensi ketiga perusahaan itu memang pelik dan bakal berdampak sistemik, yakni pada industri dan bisnis perusahaan. Namun, hal itu terpaksa dilakukan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar, yakni sumber daya frekuensi yang merupakan milik negara. 

"Untuk mencabut izin penggunaan frekuensi, juga menjadi keprihatinan kami, karena kami berharap ada sustainability dari industri maupun perusahaannya. Namun, tentunya kepentingan negara, kepentingan rakyat merupakan kepentingan yang lebih besar," ujarnya. 

Namun apa yang akhirnya terjadi, Kominfo ancam cabut izin di awal malah menerima proposal damai pada masa akhir. 

Heru khawatir, ketidaktegasan Kominfo ini bisa menjadi bumerang bagi Kominfo. Bisa saja ada orang yang melaporkan Kominfo karena dianggap membiarkan kerugian uang negara yang harusnya sudah masuk sejak 2016. 

"Ini kan jadi preseden. Pertama apakah pemerintah bisa tegas terhadap ketentuan yang dibuatnya sendiri. Kedua, ini bukan soal izin pemanfaatan frekuensi semata tapi menyangkut uang negara yang seharusnya sudah masuk ke kas negara sejak 2016," ujar Heru. 

Menurut Heru, relasi dalam kasus ini bukan antara operator satu dengan operator lainnya. Tapi negara yang menguasai frekuensi melawan perusahaan. 

Kekhawatiran Heru juga dirasakan oleh Nurul Yakin. Dia menilai seharusnya keputusan soal izin frekuensi tiga perusahaan itu sudah keluar sejak Senin pagi 19 November 2018.  

"Seharusnya begitu hari kerja sudah nunggu sampai sore. Jangan sampai melanggar hukum, ini hitungan detik (izin frekuensi) bisa loh melanggar hukum,” katanya

Selain itu, Nurul Yakin meminta Kominfo juga memperhatikan jangan sampai keputusan menerima proposal perdamaian ini justru membuka celah munculnya layanan ilegal, yang mana bisa berbuntut panjang bagi pemerintah dan perusahaan yang menunggak. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya