Skandal Buku Merah, Uji Nyali KPK
- Antara/M Agung Rajasa
VIVA – Alasan di balik pemulangan dua penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke institusi asalnya, Polri, setahun lalu, mulai terkuak. Dalam sidang etik yang digelar Pengawas Internal KPK setahun silam, dua penyidik dari Polri itu dijatuhi sanksi berat atas pelanggarannya dalam menangani perkara korupsi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Pengawas Internal KPK, penyidik atas nama Roland dan Harun akhirnya dikembalikan ke institusi asalnya pada 13 Oktober 2017. Keduanya diduga melakukan pelanggaran saat menyidik perkara dugaan suap uji materi di Mahkamah Konstitusi, dengan tersangka Basuki Hariman, direktur utama CV Sumber Laut Perkasa.
Roland dan Harun diduga telah menghilangkan barang bukti terkait kasus penggelapan tujuh kontainer daging di Bea Cukai yang melibatkan Basuki Hariman, pejabat Bea Cukai dan sejumlah aparat penegak hukum. Saat kasus itu bergulir, KPK masih menutup rapat soal pelanggaran yang dilakukan dua penyidik Polri. Bagi KPK, pengembalian ke institusi asal merupakan bentuk sanksi berat.
Anehnya, ketika kedua penyidiknya hendak dikembalikan, Polri justru mengajukan surat untuk menarik dua penyidik tersebut kepada KPK, karena alasan masa perbantuan penyidik Polri di KPK atas nama Roland dan Harun hampir selesai. Kasusnya pun redup.
Belakangan, meski mendapat sanksi berat, eks dua penyidik KPK itu justru mendapatkan karier moncer di Kepolisian. Roland Ronaldy mendapat promosi jabatan sebagai kapolres Cirebon dengan pangkat AKBP, sedangkan Kompol Harun lulus dari Sespimen dan kini menjabat kasubdit II Fiskal, Moneter, dan Devisa Ditreskrimsus Polda Metro Jaya.
Setahun berselang, sejumlah media nasional yang berkolaborasi dalam IndonesiaLeaks kemudian merilis hasil investigasi mengenai kasus korupsi yang diduga melibatkan para petinggi penegak hukum di negeri ini. Mereka mencium adanya indikasi kongkalikong untuk menutupi rekam jejak kasus tersebut. Â
Salah satu yang disorot adalah munculnya nama Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Dalam dokumen investigasi yang dirilis IndonesiaLeaks, Tito diduga paling banyak mendapat duit dari Basuki Hariman, baik secara langsung maupun melalui orang lain.
Daftar penerimaan itu tercatat dalam buku bank bersampul merah atas nama Serang Noor IR yang memuat indikasi aliran dana yang diduga untuk para pejabat negara, Bea Cukai, pejabat Polri, termasuk Tito Karnavian, baik ketika Tito masih menjabat sebagai kapolda Metro Jaya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Maret-Juli 2016 maupun ketika sudah dilantik sebagai kapolri.
Penyidik KPK, Surya Tarmiani yang sempat memeriksa Kumala Dewi, telah menyalin dokumen penting dan pengakuan saksi atas skandal suap Basuki Hariman kepada petinggi Polri ke dalam laptopnya. Celakanya, tas yang berisi laptop dan benda berharga lainnya dirampas orang tak dikenal saat turun dari taksi.
Surya lantas melaporkan perampasan itu ke Polsek Setiabudi, namun sampai kini pelakunya belum ditemukan.
Kemudian, diduga muncul skenario penghilangan atau perusakan barang bukti oleh dua perwira menengah Polri yang menjadi penyidik di KPK (Ronald dan Harun). Buku catatan pengeluaran perusahaan pada 2015-2016 dengan jumlah Rp4,33 miliar dan US$206,1 ribu itu sudah tidak utuh lagi. Sekitar 19 lembar catatan terkait aliran uang suap sengaja dirusak dan dihilangkan.
Muncul dugaan bahwa motif utama perusakan dan penghilangan buku catatan keuangan CV Sumber Laut Perkasa, untuk mengaburkan atau menghapus nama besar petinggi penegak hukum yang mendapatkan transaksi ilegal dari perusahaan milik Basuki Hariman.
Beruntung, peristiwa itu diketahui penyidik KPK lainnya dan terekam kamera CCTV di Ruang Kolaborasi Lantai 9 Gedung KPK pada 7 April 2017. Rekaman itu pula yang kemudian menjadi dasar Pengawas Internal KPK bergerak memeriksa dua penyidiknya terkait upaya penghilangan barang bukti.
Nyali KPK
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, KPK sudah berupaya mengusut kasus tersebut melalui tim Direktorat Pengawas Internal. Tapi, saat dua orang penyidik Polri yang menangani kasus itu tengah diperiksa Pengawas Internal KPK, institusi asal kedua penyidik tersebut, yakni Polri, sudah lebih dahulu menariknya.
"Jadi itu telah ditelusuri tim pengawasan internal, tapi memang dalam perjalanan proses pemeriksaan tersebut, KPK menerima permintaan pengembalian pegawai dari Mabes Polri karena dijelaskan ada kebutuhan penugasan lebih lanjut, sehingga waktu itu dua pegawai KPK itu dikembalikan," kata Febri di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin 8 Oktober 2018.
Menurut Febri, pimpinan KPK pernah menyebut bahwa pengembalian kedua penyidik dari institusi Polri itu bagian dari sanksi. Namun sayangnya, sebelum keputusan resmi dilakukan KPK, kedua penyidik tersebut ditarik lebih dulu oleh Polri. "Proses pemeriksaan internal masih berlangsung di KPK pada saat itu," ujar Febri.
Dengan demikian, KPK kata Febri, sudah tidak memiliki kewenangan memproses dua penyidik yang diduga melakukan perusakan barang bukti tersebut. Apalagi terkait proses hukum pidananya, Febri tak dapat berkomentar lebih lanjut.
"Silakan konfirmasi lebih lanjut bagaimana proses yang terjadi di instansi asal dua pegawai tersebut," ungkapnya.
Sementara itu, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengkritik sikap pimpinan KPK yang hanya diam menyaksikan kejahatan luar biasa terjadi di depan matanya. Bambang mempertanyakan di mana posisi hukum dan nurani keadilan dari pimpinan KPK atas kekisruhan yang terjadi di internal KPK.
"Yang tidak bisa dimaafkan dan sulit untuk dimengerti, pimpinan KPK dapat dituding telah secara sengaja menyembunyikan dan juga melakukan kejahatan yang sekaligus merusak kehormatan dan reputasi lembaga KPK yang dibangun bertahun-tahun dengan susah payah sehingga dapat dipercaya rakyat serta menjadi 'pelepas dahaga harapan'," kata Bambang dalam siaran persnya, Senin, 8 Oktober 2018.
Menurut Bambang, tidak ada pilihan lain, pimpinan KPK harus segera bangkit, bertindak 'waras' dan menegakkan keberaniannya. Jangan lagi mau dipenjara oleh ketakutannya sendiri untuk melawan kejahatan yang makin sempurna.
Dia menegaskan tidak bisa lagi ada upaya sekecil apapun untuk menyembunyikan kebusukan yang tengah terjadi apalagi melakukan kejahatan. Misalnya, menyatakan bahwa kedua penyidik KPK yang diduga melakukan perbuatan penghilangan barang bukti telah dihukum berat dengan mengembalikan ke instansi kepolisian dan fakta yang sebenarnya tak muncul di pemeriksaan pengadilan.
"Perlu diajukan pertanyaan yang lebih teliti, apakah betul sudah ada pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas internal KPK atas kasus di atas? Apakah benar, hasil pemeriksaan dari pengawas internal telah disampaikan pada pimpinan untuk kemudian diteruskan untuk ditindaklanjuti oleh Dewan Pertimbangan Pegawai," ujar pria yang akrab disapa BW tersebut.
Jika hal itu tidak benar, lanjut BW, pimpinan KPK telah dengan sengaja tak hanya menyembunyikan kejahatan tapi juga melindungi pelaku kejahatannya dan memanipulasi proses pemeriksaan yang seharusnya sesuai fakta yang sebenarnya, serta sekaligus melakukan kejahatan.
Bambang mengatakan, tindakan penyidik KPK yang diduga merobek 19 catatan transaksi adalah tindakan penyalahgunaan kewenangan atau setidaknya menggunakan kewenangan untuk kepentingan di luar KPK (pasal 1 angka 9 jo pasal 5 huruf a dan k) dan dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran disiplin berat sesuai pasal 8 huruf g, l, dan n dari peraturan KPK No 10 tahun 2016 tentang disiplin pegawai dan penasihat KPK.
"Jika merujuk pada pasal 8 huruf s jo pasal 11 peraturan di atas, tindakan itu dapat dikualifikasikan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana (setidaknya merintangi proses pemeriksaan atau obstruction of justice) dan telah timbul kerugian maka harus dikenakan pasal pidana selain mengganti kerugian yang timbul bukan sekadar mengembalikan ke instansi asalnya," ujarnya.
Bambang menambahkan, saat ini, pimpinan KPK tengah diuji dan publik seantero negeri sedang mengamati, apakah masih memiliki nyali untuk membongkar kasus ini hingga tuntas. Setidaknya memanggil dan memeriksa Tito Karnavian yang kala itu menjabat berbagai jabatan penting di Polri. Pemeriksaan ini sekaligus mengonfirmasi bantahan-bantahan para pejabat Polri atas keterlibatan Tito Karnavian.
"Karena itu, mari kita cari kebenaran dengan menggunakan hasil investigasi dari IndonesiaLeaks ini," tuturnya.
Bantahan Polri
Beredarnya nama pimpinan Polri sebagai pihak yang diduga menerima suap tentu menjadi perhatian Mabes Polri. Walau beberapa pejabatnya kompak membantah hasil investigasi IndonesiaLeaks itu, Polri tetap akan mempelajarinya.
"Ya kalau dipelajari tentu kita akan pelajari, tapi kalau memang itu hoaks ya nanti kita buang, gitu kan. Kita enggak akan membuang-buang waktu yang tidak perlu, sekarang kita fokus ke masalah yang kasus menghebohkan ini, Ratna Sarumpaet," ujar Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto di kantornya, Jakarta Selatan, 9 Oktober 2018.
Setyo menuturkan bahwa kasus yang dimunculkan itu merupakan kasus lama tahun 2017, dan kala itu penyidik kepolisian sudah melakukan penyelidikan. Bahkan, Direktur Reserse Kriminal Khusus, Komisaris Besar Polisi Adi Deriyan Jaya Marta telah memeriksa tersangka pengusaha importir daging Basuki Hariman.
"Nah di situ Pak Basuki Hariman tidak mengakui apa yang tertulis, karena dia mengatakan, dia menulis itu untuk mengambil uangnya. Jadi dia tulis atas nama si A si B si C, karena istrinya ikut mengontrol keuangan perusahaan. Jadi kalau dia menggunakan nama-nama itu," ujarnya.
Kemudian, Polri juga membantah kalau dua anggota polisi yang bertugas di KPK melakukan aksi vandalisme terhadap catatan buku warna merah itu. "Dua orang itu sudah diperiksa juga oleh Paminal, untuk dicek sampai sejauh mana kasusnya. Dan tidak terbukti dia melakukan itu, dan pemeriksaan dari sana juga tidak ada masalah," ujar Setyo.
Kasus ini bermula saat KPK melakukan operasi tangkap tangan pada 25 Januari 2017 terhadap bos CV Sumber Laut Perkasa Basuki Hariman bersama sekretarisnya Ng Fenny dan mantan hakim MK Patrialis Akbar.
Pengusaha impor daging itu diduga menyuap Patrialis untuk memengaruhi putusan hakim MK dalam perkara uji materi Undang Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Uji materi diajukan oleh asosiasi peternak dan pedagang ternak.
Sejatinya, Patrialis Akbar bukan target utama operasi tangkap tangan (OTT) saat itu, sebab tim KPK sebelumnya sudah mendeteksi dan menyelidiki kasus dugaan korupsi impor daging sapi yang melibatkan Basuki Hariman. Kasus itu disebut-sebut juga melibatkan banyak pihak, seperti pejabat Bea Cukai dan Polri.
Hanya saja belakangan, Basuki Hariman kembali melakukan penyuapan kepada Patrialis Akbar untuk memuluskan uji materi diajukan asosiasi peternak dan pedagang ternak. Basuki menganggap UU No 41 tahun 2014 itu merugikan perusahaannya di bidang impor daging.
Alhasil tim KPK mendahulukan proses penanganan suap hakim MK, lantaran itu hasil operasi tangkap tangan. Pada 4 September 2017, Pengadilan Tipikor memvonis Patrialis delapan tahun penjara karena menerima suap dari Basuki.
Sementara itu, dalam persidangan Basuki Hariman, aliran uang dari perusahaan Basuki terkuak tak hanya kepada nama Patrialis. Barang bukti berupa buku bank catatan keuangan perusahaannya turut dilampirkan jaksa KPK sebagai barang bukti.Â
Pada persidangan Basuki, staf keuangan perusahaan milik Basuki, Kumala Dewi Sumartono, menjadi saksi. Ia sempat ditunjukkan sejumlah barang bukti, termasuk buku bank berwarna merah atas nama Serang Noor itu. Kumala tegas mengatakan tahun dan membenarkan keberadaan buku itu.
Dalam putusan Pengadilan Tipikor kepada Basuki juga mencantumkan ratusan barang bukti, termasuk sejumlah salinan bukti pembelian valuta asing dari PT Antarartha Benua. Beberapa tanda bukti pembelian valuta asing itu sesuai dengan isi buku merah, dan keterangan Kumala Dewi tentang dugaan aliran dana ke Tito Karnavian yang saat itu masih menjadi kapolda Metro Jaya.
Basuki dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp400 juta, lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa yaitu 11 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Sementara itu, Fenny divonis 5 tahun penjara, dan diperberat menjadi 6 tahun penjara di tingkat banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Keduanya terbukti menyuap Patrialis Akbar senilai US$10 ribu, melalui orang dekatnya, Kamaluddin. Sayangnya, terhadap kasus Basuki atas suap impor daging (kasus pokoknya) justru menguap, tak terdengar lagi penanganannya saat ini di KPK.
Basuki Hariman ditengarai sebagai pemain lama di impor daging sapi. Ia juga pernah 'lolos' dari jeratan KPK, saat lembaga antirasuah itu fokus menangani perkara Ahmad Fathanah dan mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq. Namun, dari hasil investigasi media yang tergabung pada IndonesiaLeaks, duit panas Basuki Hariman kepada sejumlah pejabat negara dan petinggi Polri mesti diusut tuntas. Semoga ada titik terang.