Kontroversi Larangan Jilbab Atlet Judo
- ANTARA FOTO/BOLA.COM/M Iqbal Ichsan
VIVA – Senin, 8 Oktober 2018, sekira pukul 10.00 WIB, di tepi arena Asian Para Games 2018 di Gedung Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, terjadi perdebatan sengit antara wasit dan pelatih serta atlet blind judo putri Indonesia, Miftahul Jannah.
Mereka tampak serius berbicara. Tak lama kemudian, tiba-tiba diantar ofisial dan pelatihnya, Miftah begitu panggilan atlet asal Aceh itu, pergi meninggalkan arena dengan wajah yang tampak sedih.
Melihat kejadian itu, suporter Indonesia, bersorak sorai dan mempertanyakan apa yang terjadi pada Miftah. Karena, sesuai jadwal yang dikeluarkan pelaksana pertandingan, gadis 21 tahun itu akan bertanding di kelas 52 kilogram pukul 10.18 WIB, melawan wakil Mongolia, Oyun Gantulga.
Tak lama setelah itu, tersiar kabar bahwa Miftah dinyatakan tidak bisa bertanding dan kalah karena didiskualifikasi. Penyebabnya, ia menolak melepas  jilbab hitam yang dikenakannya ke arena blind judo.
Miftah memilih tetap memakai jilbabnya dan tak mau bertanding jika wasit memaksanya melepas kain penutup salah satu aurat tubuhnya itu.
Apa yang terjadi pada Miftah cukup menyita perhatian masyarakat, apalagi Indonesia, merupakan tuan rumah kejuaraan empat tahunan itu. Minimnya pengetahuan dan sosialisai tentang aturan olahraga dianggap jadi pemicu.
Apa yang dialami atlet peraih medali emas Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) 2016 di Jawa Barat kelas 48 kilogram ini kemudian menjadi kontroversi.
Berbagai pihak yang tak tahu permasalahan sebenarnya, mendadak mengecam panitia penyelenggara. Bahkan, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia, Zainut Tauhid Sa'adi, dengan lantang menuding apa yang terjadi pada Miftah sebagai diskriminasi beragama.
"Seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi, karena pertimbangan untuk menghormati hak asasi manusia terhadap pejudo yang melaksanakan keyakinan agamanya," kata Zainut Tauhid.
 Zainut membandingkan apa yang terjadi di blind judo Asian Para Games dengan cabang olahraga lain di Asian Games 2018 Jakarta-Palembang.
"Waktu di gelaran Asian Games saja ada beberapa atlet yang waktu tanding menggunakan hijab tidak masalah seperti atlet karate, panjat tebing dan panah. Jadi agak aneh jika pada Asian Para Games hal tersebut dilarang," katanya.
Benarkah ada diskriminasi?
Blind judo sebenarnya bukan cabang olahraga biasa, terutama jika atlet yang bertanding memiliki keterbatasan fisik.
Judo merupakan olahraga kuno asal Jepang yang identik dengan teknik bantingan dan kuncian. Karena itulah, aturan yang ditetapkan Federasi Judo Internasional (IJF), tidak memperbolehkan seorang judoka mengenakan jilbab.
"Ini memang aturan dari judo internasional, alasannya karena ditakutkan pada saat main bawah (newasa), akan ketarik dari lawannya yang bisa menyebabkan tercekik. Peraturan ini sebenarnya sudah diberlakukan sejak awal tahun ini. Pada Asian Games 2018, juga sudah diterapkan. Namun, sosialisasinya kepada atlet masih minim," kata Penanggung Jawab Tim Judo Indonesia, Ahmad Bahar, Senin, 8 Oktober 2018.
Sebenarnya apa yang dialami Miftahul Jannah bukan kali ini saja terjadi, tapi juga pernah dialami atlet judo Arab Saudi, Wojdan Ali Seraj Abdulrahim Shahrkhani.
Shaherkani yang ditunjuk mewakili Kerajaan Arab di Olimpiade London 2012, nyaris saja tak bisa bertanding karena terbentur aturan keselamatan atlet judo.
Padahal dia datang ke kejuaraan musim panas itu dengan undangan khusus dari Komite Olimpiade Internasional (IOC). Karena tak ada kompetisi judo yang digelar di Arab.
Shaherkani ketika itu masih memegang sabuk biru. Sedangkan seluruh calon lawannya di Olimpiade London bersabuk hitam.
Untuk mendatangkan Shaherkani bertanding di Olimpade London bukan perkara mudah. Karena ada beberapa syarat yang diajukan Komite Olahraga Arab ke IOC, untuk bisa mengikutsertakan warganya di Olimpiade itu.
Syarat itu di antaranya, selama di London, panitia tidak boleh menyatukan Shaherkani dengan atlet pria. Selama bertanding, Shaherkani diwajibkan memakai pakaian sopan sesuai hukum Islam.
Namun, pada 30 Juli 2012, ternyata Shaherkani baru sadar ada regulasi tentang pakaian atlet judo. Salah satunya tidak memperbolehkan memakai jilbab seperti yang dikenakan wanita Arab.
Ketika itu juga Shaherkani memutuskan untuk mundur dari Olimpiade London jika dipaksa bertanding tanpa jilbab. Kondisi saat itu semakin tak menentu hingga akhirnya ayah Shaherkani berbicara langsung pada penyelenggara Olimpiade, bahwa putrinya ingin mencetak sejarah baru bagi wanita Arab, bisa bertanding di ajang kejuaraan dunia dengan pakaian sopan seperti diatur hukum Islam.
Pada 31 Juli 2012, IOC dan Federasi Judo Internasional akhirnya sepakat mengizinkan Shaherkani bertanding mengenakan jilbab.
Hanya saja demi keselamatan nyawanya, disepakati Shaherkani harus mengubah desain jilbab jadi yang lebih aman, dengan ketentuan penutup kepalanya harus ketat dari desain jilbab pada umumnya. Kain jilbab tidak mengitari leher dan di bawah dagu. Sebab bisa menyebabkan atlet tercekik lawan saat bertanding.
Dengan kesepakatan itu, pihak Shaherkani akhirnya membuat desain baru jilbab sesuai ketentuan dan Shaherkani bisa bertanding. Dan pada 3 Agustus 2011, Shaherkani memulai laga perdana internasional di babak penyisihan atau babak 32.
Aturan dan Prinsip
Kontroversi di arena blind judo membuat Miftah angkat bicara tentang kejadian yang membuatnya didiskualifikasi.
Ia mengungkapkan dalam pertemuan khusus dengan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, beberapa jam setelah Miftah meninggalkan arena blind judo.
Miftah mengatakan, sebenarnya dia sangat antusias ketika namanya masuk dalam skuat blind judo Indonesia di Asian Para Games 2018 Jakarta, apalagi dirinya dijadikan salah satu ikon untuk mempromosikan kejuaraan itu ke masyarakat.
Cita-cita Miftah tak muluk-muluk, dia hanya ingin mengukir prestasi di kejuaraan tingkat Asia itu agar bisa mengharumkan nama bangsa, agama dan keluarga. Tapi, ada sebuah prinsip yang tertanam pada dirinya tentang jilbab yang dikenakannya.
Miftah mengaku akan tetap mengenakan jilbab meski berlaga di arena. Sayangnya, prinsip itu berbenturan dengan aturan keselamatan atlet yang telah ditetapkan. Miftah juga mengakui sangat mengetahui tentang regulasi itu.
Saat berada di tepi arena blind judo, Miftah dihadapkan pada dua jalan berbeda, antara prinsip diri dan aturan yang berlaku. Akhirnya Miftah memutuskan untuk meneguhkan prinsip dan tak mau melanggar aturan. Karena itulah, Miftah memilih untuk mundur dari ajang itu.
"Peristiwanya Miftah mempertahankan prinsip. Ya regulasinya seperti itu, tapi prinsip aku juga harus dijalani. Sama-sama jalan," kata Miftah.
"Saya harap, teman atlet muslim lainnya bisa tetap menggunakan jilbab saat bertanding. Masalah prinsip dan regulasi, keduanya harus dijalankan, jadi semua keputusan itu harus dihormati," ujar dara berparas manis itu menambahkan.
Menpora pun mengapresiasi keputusan Miftah yang memegang teguh prinsipnya meski harus mengubur impiannya.
"Olahraga itu tak hanya tentang kemenangan dan kekalahan, tapi tentang respek, totalitas, dan penghargaan pada prinsip-prinsip. Dalam kasus ini tentunya terkait regulasi para judo internasional maupun keyakinan Miftah untuk menjaga keyakinan dirinya," kata Imam Nahrawi. (umi)