HIV Positif Bukan Akhir Segalanya
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA – HIV is a virus. Stigma is the deadly disease. Selama ini stigma yang melekat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) begitu berat. Menderita penyakit ini seolah menjadi hukuman mati bagi penderitanya.
Dari tahun ke tahun, stigma buruk tadi tak juga luntur. Semuanya karena pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS belum cukup banyak.
Padahal rasanya penyakit ini bukanlah sesuatu yang pantas untuk dipandang sebagai momok yang menakutkan lagi. Tidak seperti zaman dulu, ketika teknologi kedokteran belum secanggih sekarang. ODHA pun tak perlu Anda jauhi, karena penularan virus HIV hanya bisa melalui darah, cairan sperma, cairan vagina dan ASI. Bukan melalui ludah atau pun keringat.
Menurut Andrea Gunawan, seorang Aktivis Kesehatan Seksual, kita perlu membasmi stigma terkait kehidupan seseorang berdampingan dengan HIV. Bagi yang ternyata HIV positif (HIV+), tak perlu berkecil hati dan menganggap dunia runtuh seketika. Itu karena saat ini ODHA punya harapan hidup yang bahkan sama dengan orang normal, yakni dengan mengonsumsi obat Antiretroviral (ARV).
Kepada VIVA, Jumat, 5 Oktober 2018, Andrea mengatakan bahwa semua orang dengan HIV+ bisa di-treatment dengan ARV, termasuk bagi ibu hamil.
"Jika ternyata kamu HIV+, masih ada harapan kok. Jangan takut dan menghindari treatment. Justru ARV memungkinkan ODHA hidup normal. Konsumsi selama enam bulan setelah diagnosis positif dan virus HIV kamu enggak akan bisa terdeteksi lagi, sehingga aman untuk mulai program kehamilan," ujar Andrea yang namanya kini terkenal di kalangan pengguna Instagram lewat akunnya, @catwomanizer, di mana ia sering memberikan berbagai edukasi, termasuk seputar kesehatan seksual.
HIV ≠ AIDS
Data yang dirilis UNAIDS, program HIV/AIDS milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Juli 2018 lalu, diperkirakan ada 36,7 juta ODHA di seluruh dunia pada akhir tahun 2016. Dari jumlah tersebut, 2,1 juta di antaranya adalah anak-anak (usia kurang dari 15 tahun).
Diperkirakan pula sebanyak 1,8 juta orang terinfeksi HIV pada 2016 atau sekitar 5.000 infeksi baru per hari.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang ARV, ada baiknya kita mengetahui lebih dulu bahwa HIV tidak selalu sama dengan AIDS. Menurut situs resmi Multicultural HIV and Hepatitis Service Australia, sering kali HIV/AIDS tertulis dan disebut sebagai satu istilah. Namun, HIV dan AIDS mempunyai arti yang berbeda.
***
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yang merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS. Jika Anda terinfeksi HIV, Anda akan dikatakan sebagai HIV+ atau HIV positif.
"HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, yang mana adalah pertahanan tubuh terhadap penyakit. Jika sistem kekebalan tubuh seseorang telah dirusak oleh virus, maka akan mengembangkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Ini berarti mereka akan mendapatkan infeksi dan penyakit yang mana tubuh mereka biasanya bisa melawan," demikian dikutip dari mhahs.org.au.
Infeksi yang menyerang di saat kekebalan tubuh menurun itu dikenal dengan infeksi opportunistik. Contohnya adalah Tuberkulosis (TB), jamur, Pneumocystis pneumonia (PCP) dan sebagainya.
"Kondisi di mana infeksi opportunistik menyerang tubuh ODHA ini lah yang disebut dengan nama AIDS," seperti dikutip dari odhaberhaksehat.org.
Perlu digarisbawahi bahwa didiagnosis menderita HIV bukan berarti seseorang memiliki AIDS atau mereka akan meninggal. Perawatan akan memperlambat kerusakan pada sistem kekebalan tubuh sehingga orang dengan HIV dapat tetap dalam kondisi baik dan sehat. Treatment atau perawatan terbaik bagi ODHA adalah dengan menggunakan ARV.
Masih ada harapan
Menurut World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia, terapi ARV memang tidak bisa menyembuhkan HIV, namun bisa menyelamatkan hidup ODHA, dengan cara mengurangi jumlah HIV di dalam tubuh, melindungi sistem kekebalan tuh, mencegah HIV berkembang menjadi AIDS dan mengurangi risiko penularan HIV.
Mereka yang terdeteksi HIV sangat dianjurkan segera mengonsumsi obat ini. Pengurangan besar terlihat pada tingkat kematian dan infeksi terutama pada penderita HIV tahap awal yang melakukan perawatan ARV. Sedangkan mereka yang telah berada di stadium lanjut bisa melakukan terapi yang terdiri dari kombinasi obat ARV untuk memaksimalkan penekanan virus HIV dan menghentikan perkembangan penyakit HIV.
Terapi ini juga mampu mencegah penularan HIV selanjutnya. WHO merekomendasikan terapi ARV untuk semua ODHA sesegera mungkin setelah diagnosis.
Pakar HIV Dr. dr. Evy Yunihastuti mengatakan, ODHA yang melakukan treatment dengan ARV bisa hidup seperti orang normal karena virusnya bisa tidak terdeteksi dan CD4-nya (kekebalan tubuhnya) kembali normal. Dengan treatment ARV, ODHA yang ingin hamil atau sedang hamil pun bisa melahirkan bayi yang sehat.
***
"Risiko penularan HIV dari ibu ke anak berkurang dari 35-45 pesen hingga sekitar 2-5 persen. Bahkan bisa kurang dari 1 persen jika jumlah virus (viral load) ibunya sudah tidak terdeteksi sebelum hamil," ucap Evy.
Sementara, Pokdisus AIDS FKUI, Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD-KAI mengatakan bahwa pasangan yang takut tertular HIV dari suami atau istrinya, juga bisa menggunakan ARV untuk pencegahan.
Lebih lanjut, kata Samsuridjal, ARV sangat berperan dalam menekan jumlah penderita HIV-AIDS di dunia karena hasilnya yang cukup baik. "Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), setelah enam bulan pemakaian, hampir 90 persen orang yang menggunakan ARV tidak ditemukan lagi adanya virus HIV," ujarnya.
ARV juga sangat bersahabat bagi ibu hamil. Bahkan ibu hamil yang mengidap HIV bisa tetap memberi ASI eksklusif bagi anak. Menurutnya, saat sebelum melahirkan viral load-nya tidak terdeteksi, calon ibu bisa memilih proses melahirkan biasa dan pemberian ASI eksklusif. Namun, jika viral load-nya di atas 1.000, calon ibu dianjurkan melakukan tindakan tambahan.
Penderita HIV yang mengonsumsi obat ini secara rutin selama enam bulan, virus HIV sudah tidak lagi ditemukan di tubuhnya. Tetapi, jika tidak dilanjutkan, virus akan ditemukan bahkan hanya dalam dua bulan. Ini lah mengapa terapi ARV harus dilakukan ODHA seumur hidup.
Evy pun menambahkan, ARV adalah terapi yang terbaik untuk HIV. "Pengobatan lain yang dibutuhkan adalah pengobatan infeksi opportunistik jika memang ada infeksi lainnya," kata Evy.
Lalu, berapa harga obat ARV dan di mana kita bisa mendapatkannya?
Andrea mengatakan, ARV bisa didapatkan di klinik, rumah sakit maupun puskesmas tertentu. Jika menggunakan BPJS, biayanya bisa gratis di beberapa tempat, salah satunya Puskesmas Kecamatan Senen, Jakarta. "Kalau enggak, cukup bayar Rp5.000 untuk stok sebulan," ucap wanita yang juga merupakan seorang Independent Image Consultant and Date Coach ini.
Tes HIV gratis
Tidak mudah untuk hidup sebagai ODHA. Karena beberapa efek samping yang ditimbulkan terapi ARV, banyak ODHA yang kemudian menghentikan pengobatan. Padahal sementara ini, terapi ARV merupakan satu-satunya harapan bagi para penderita HIV+.
Oleh karena itu, Andrea menyarankan untuk bergabung dengan komunitas yang bisa membantu menyemangati ODHA untuk terus sehat dan konsisten menjalani terapi ARV.
***
"Buat teman-teman HIV+ yang butuh penguatan dan pendampingan, bisa gabung komunitas @guebisa atau khusus perempuan, bisa ke @ippi_indonesia," ujar Andrea.
Perang melawan HIV/AIDS juga akan terus dilakukan orang-orang di seluruh dunia. Tentu saja, bicara hal ini, Anda juga harus memahami pentingnya mengetahui status kesehatan seksual Anda, agar jika terjadi apa-apa, bisa cepat ditangani.
Di Indonesia sendiri, sudah cukup banyak tempat-tempat yang menawarkan layanan cek HIV gratis. Andrea membagikan informasi daftar klinik dan puskesmas di Jakarta dan luar Jakarta yang menawarkan layanan tersebut lewat laman ini.
Lantas, siapa yang wajib untuk melakukan tes HIV?
"Prinsipnya, siapa pun (menikah atau belum), selama masih melakukan perilaku seksual berisiko (gonta-ganti pasangan tanpa kondom), juga tukar jarum suntik obat apa pun," ucap Andrea.
Lebih lanjut, ia mengatakan, bahwa mereka yang melakukan hal-hal yang ia sebutkan di atas juga wajib melakukan tes IMS (infeksi menular) setiap kali habis ganti pasangan tanpa kondom, tes HIV tiga bulan setelah kontak berisiko tersebut, pap smear minimal setahun sekali untuk deteksi dini tumor dan kanker rahim.
Terakhir, ia mengingatkan untuk selalu melakukan perilaku seks bertanggung jawab untuk mencegah kehamilan tak direncanakan dan penularan penyakit. (ren)