BPJS dan Napas Lega Pasien Kanker
- ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
VIVA – Kanker payudara dikatakan sebagai kanker yang paling umum menyerang wanita. American Institute for Cancer Research (AICR) menyebut satu dari delapan wanita menderita kanker payudara. Indonesia sendiri memiliki kasus penderita kanker dengan angka yang semakin meningkat setiap tahunnya.Â
Organisasi kesehatan dunia, WHO, bahkan meramalkan di tahun 2030, Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah pasien kanker payudara sampai 7 kali lipat. Sayangnya hal itu sangat bertolak belakang dengan upaya pencegahan dan penyelamatan pasien kanker di Indonesia. Bukan cuma soal mengatasi penyakitnya yang kronis, penderita kanker payudara juga dihadapkan pada kenyataan soal pengobatannya yang mahal.
Berdasarkan Data Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), posisi pertama dalam pembiayaan terbesar adalah kanker payudara, dan pembayaran kanker menelan biaya hingga Rp2,8 triliun.
Obat-obatan bagi pasien kanker juga cukup mencekik. Meski kasus pelayanan kanker hanya 3 persen, namun untuk pembayaran obat-obatannya mengambil porsi 43 persen. Dilihat dari total biayanya, mencapai Rp2,49 triliun atau 36,61 persen.
Fakta tersebut tentunya membuat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) kebakaran jenggot, pasalnya pembiayaan pelayanan pasien kanker berpengaruh pada defisit anggaran yang terjadi di BPJS Kesehatan.
Berdasarkan hal tersebut beberapa waktu lalu BPJS mengeluarkan kebijakan untuk meniadakan obat kanker Trastuzumab (obat kanker payudara HER2 positif) dari daftar obat yang ditanggung. Kebijakan tersebut diambil berdasarkan rekomendasi Dewan Pertimbangan Klinis pada 21 April 2018.
Hal itu sontak melukai banyak pihak, pasalnya trastuzumab adalah salah satu obat penting yang paling diandalkan pasien kanker. Protes pun mulai bermunculan tak lama ketuk palu atas keputusan tersebut.
Protes bukan hanya datang dari kalangan terkait, namun juga dari pasien yang keberatan jika obat tersebut ditiadakan dari daftar obat yang dijamin BPJS. Salah satunya Juniarti Tanjung (46), Ia bersama sang suami Edy Hariadi melayangkan gugatan kepada Presiden Joko Widodo, BPJS Kesehatan, Menteri Kesehatan, dan Dewan Pertimbangan Klinis.Â
Dalam gugatannya Juniarti menilai BPJS Kesehatan tidak secara serius memberikan jaminan kesehatan bagi dirinya yang divonis kanker payudara dengan HER2 positif.Â
Berdasarkan keterangan yang diterima Juniarti dan sang suami dari BPJS Kesehatan, penghapusan trastuzumab itu dilakukan karena obat dinilai terlampau mahal. Sebagai solusinya, BPJS Kesehatan meminta Juniarti untuk melakukan pengobatan dengan 22 jenis obat lainnya.
Padahal menurut Edy sang suami, obat trastuzumab adalah obat yang paling tergolong memiliki kualitas tinggi, dan sudah terbukti berhasil memperpanjang harapan hidup pasien penderita kanker payudara.
"Bagi kami tindakan menghapus trastuzumab adalah perbuatan melawan hukum. Maka kami ajukan gugatan ke Pengadilan Jakarta Pusat, juga ke PTUN dan nanti kelak ke MK," ujar Edy beberapa waktu lalu.
Edy menambahkan sejauh ini tidak ada obat lain yang seampuh trastuzumab. Tanpa obat itu, harapan hidup istrinya pun bisa saja menurun.
"Tanpa obat itu nyawa istri saya bertahan 1,5 sampai 2 tahun sudah bagus. Padahal penderita yang sama dengan obat itu bisa bertahan sampai 15 tahun," ujarnya.
Edy mengaku tidak tahu apakah istrinya bisa mendapatkan manfaat dari gugatan ini atau tidak bila mereka menangkan. Namun, minimal dia berharap penderita kanker payudara lainnya bisa kembali mengakses obat tersebut.
Alasan BPJSÂ
Pencabutan trastuzumab dari daftar obat yang dijamin BPJS tentu bukan tanpa alasan. Dewan Pertimbangan Klinis menilai, trastuzumab tidak efektif untuk terapi kanker payudara stadium lanjut. Karena itu, keberadaan obat tersebut harus ditinjau ulang.
Dokter Hematologi-Onkologi Medik Rumah Sakit Kanker Dharmais Dr dr Nugroho Prayogo, SpPD-KHOM menjelaskan, trastuzumab tidak lagi dijamin BPJS kesehatan lagi karena terkait masalah efektivitas manfaat dan biaya.
Menurut dia, efektivitas pemberian trastuzumab pada pengidap kanker di tiap stadium berbeda-beda. Jika pemberian pada stadium awal, trastuzumab memberikan kesempatan penyembuhan yang lebih tinggi.Â
"Untuk stadium awal memberikan kesembuhan jelas, kesempatan hidupnya jauh lebih lama," ujarnya di Jakarta, Rabu 12 Juli 2018.
Sedangkan pada kanker stadium IV atau metastasis, di mana sel kanker sudah menyebar ke sejumlah organ lainnya, trastuzumab hanya berfungsi untuk memperpanjang kesempatan hidup dan memperbaiki kualitas hidup.
Nugroho menerangkan, pemberian trastuzumab pada penderita kanker stadium awal sangat penting guna mencegah peningkatan ke stadium lanjut atau bahkan bisa memberikan kesembuhan.Â
Dia mengatakan, sebelumnya BPJS Kesehatan memberikan jaminan pengobatan trastuzumab pada penderita kanker stadium metastasis dan tidak menjamin untuk stadium awal. Saat ini kebijakan tersebut di balik dengan memberikan jaminan trastuzumab pada pengidap kanker payudara stadium awal.
Nugroho mengungkapkan, biaya untuk pemberian obat trastuzumab pada pasien kanker payudara bisa mencapai Rp15-20 juta satu kali pengobatan. Sementara pasien setidaknya harus melakukan lima hingga delapan kali pemberian trastuzumab dalam satu periode pengobatan.
"Satu vial (440 mg/20 mL) mencapai Rp15-20 jutaan. Idealnya mereka menerima 17 siklus dalam setahun. Tapi periode terapinya diperkecil jadi 5-8 kali."
Menangkan Gugatan
Setelah melewati masa pelik, melalui tiga kali persidangan dan tiga kali mediasi, akhirnya pada mediasi ketiga hari pada 27 September 2018 BPJS angkat tangan, dan Juniarti bisa mendapatkan haknya.
BPJSÂ Kesehatan dipastikan menjamin kembali biaya obat kanker payudara HER2 positif, trastuzumab. Juniarti dan BPJS Kesehatan telah menandatangani akta kesepakatan yang mengakhiri konflik mereka, pada Kamis 4 Oktober 2018.
Penandatangan akta perdamaian itu dilakukan di depan hakim mediator. Dalam salah satu poin akta perdamaian itu, BPJS Kesehatan dengan tegas menyatakan akan menjamin kembali obat kanker tratuzumab dan akan memberikan secepatnya.
Selain itu BPJS Kesehatan dan para tergugat juga sepakat untuk menjalankan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 22 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Restriksi Penggunaan Obat Trastuzumab untuk Kanker Payudara Metastatik pada Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional, yang baru diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM tanggal 23 Juli 2018.
Kepala humas BPJS Iqbal Anas Ma'ruf menyebut bahwa semua yang ditempuh BPJS sudah sesuai prosedur.
"BPJS Kesehatan menghormati keputusan mediasi. Penjaminan obat trastuzumab dilakukan sesuai dengan pengaturan di Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 22 Tahun 2018," ujarnya saat dihubungi VIVA lewat pesan singkat.
Ia menyebut bahwa keputusan itu karena memperhatikan aturan-aturan  tentang pasien yang berhak mendapatkan obat tersebut. "Selain itu BPJS juga memperhatikan aspek kendali mutu dan kendali biaya," ujarnya.
Ketua Bidang Keorganisasian dan Sistem Informasi Kelembagaan PB IDI Dr. Mahesa Paranadipa, MH mengatakan bahwa seorang dokter dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan standar pelayanan dan evidence based medicine (ebm) termasuk dalam memilih obat yang akan diresepkan kepada pasien.Â
Ia menyebut bahwa prinsip lain dalam peresepan yaitu pengobatan yang rasional. “Definisi WHO tentang pengobatan rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat," ujarnya kepada VIVA.
Terkait biaya, selama obat, alat, bahan tersebut sesuai dengan standar dan ebm maka harus masuk dalam  pembiayaannya pengobatan.Â
"Untuk pasien peserta JKN, sudah seharusnya mendapat pengobatan yang sesuai standar dan ebm. Jika ada yang tidak dibiayai oleh JKN sesuai standar maka dampaknya pelayanan menjadi under-standar. Tujuan paling penting adalah pasien menerima pelayanan yang optimal tanpa mengurangi standar dan mutu pelayanan."