Mengantisipasi Ancaman Tsunami

Tulisan buatan warga korban gempa dan tsunami di Desa Loli Saluran, Kecamatan Banawa, Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu, 3 Oktober 2018.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Gempa dan tsunami menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia. Terakhir, bencana alam tersebut melanda Palu, Donggala, serta tempat-tempat lain di Sulawesi Tengah.

Brigadir Jenderal Carla River Kenang Bantuan Militer AS untuk Aceh Pasca Tsunami 2004

Ribuan orang telah kehilangan nyawa akibat gempa dan tsunami itu. Belum lagi kerugian yang bersifat materi seperti kerusakan bangunan, rumah-rumah, hingga jalan-jalan yang ditimbulkan begitu besar.

Sebelumnya, gempa juga mengguncang dan meluluhlantakkan Lombok, dan sejumlah wilayah lain di Nusa Tenggara Barat. Di tengah situasi tersebut, muncul kabar bahwa daerah-daerah lain di Indonesia juga masuk sebagai daerah rawan terjadi gempa atau tsunami. Salah satunya adalah Jawa Tengah bagian selatan.

Ahmad Ali-Abdul Karim Sediakan Layanan Kesehatan Gratis Bagi Penyintas Gempa dan Tsunami Palu

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pun segera bereaksi atas adanya ‘peringatan’ tersebut. Dia memerintahkan jajarannya untuk rutin mengecek sistem peringatan dini atau early warning system (EWS) untuk alat deteksi dini tsunami, bisa berfungsi dengan baik.

"Pengecekan EWS ini rutin kami lakukan, tetapi sekali-kali ada orang yang ngambil, ya kami tindak. Tapi sekarang sudah bagus," kata Ganjar di kantornya, Kamis 4 Oktober 2018.

Gempa 5 Magnitudo Guncang Ternate Senin Pagi, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami

Ganjar mengakui, Jateng memang menjadi salah satu provinsi yang rawan bencana, baik kekeringan, banjir, kebakaran, letusan gunung hingga gempa dan tsunami. Karenanya, upaya antisipasi bencana hingga sosialisasi ke masyarakat terus digencarkan sejak awal.

"Dulu, setelah bencana besar tsunami Aceh, kita menyiapkan diri. Maka, terakhir kita yang kena tsunami Cilacap dan Kebumen. Sekarang, di sana kami pasang sistem peringatan dini," katanya.

Meski begitu, diakui Ganjar, upaya menjaga EWS di wilayah rawan gempa dan tsunami tidak mudah. Banyak EWS yang dipasang kerap hilang, karena ulah masyarakat. Karenanya, ia mengajak agar warganya bisa menjaga dengan baik EWS sebagai bagian dari mitigasi bencana.

"Maka, saya bilang jangan (diambil). Tsunami itu ngeri, biarlah kita jaga bareng-bareng EWS ini," ujarnya.

Dalam waktu dekat, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu pun menyebut bahwa dirinya akan belajar langsung ke Jepang, terkait mitigasi bencana. Menurutnya, negara tersebut telah terbukti memiliki mitigasi bencana yang baik, serta pembangunan yang aman.

"Saya lagi nyusun RPJMD dan kami minta para pakar himpunan ahli geofisika, agar dikasih ilmu yang cukup, agar kami bisa merencanakan pembangunan yang aman," katanya.

Waspada Ombak Tinggi

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengimbau para nelayan yang beraktivitas di pesisir selatan Jawa Tengah untuk waspada ombak tinggi. Ombak tinggi itu dipengaruhi oleh perubahan tekanan udara akibat dampak badai tropis yang muncul dari pasifik timur raya Filipina.

Analis cuaca dari Stasiun Maritim Kelas II BMKG Kota Semarang, Shafira Fani Fadhila, mengungkapkan, peringatan risiko tinggi bagi aktivitas pelayaran tersebut berlaku untuk tujuh hari ke depan. Baik kapal kecil maupun kapal feri agar berhati-hati saat melaut.

"Para nelayan harus berhati-hati, karena ketinggian gelombang laut selatan Jawa Tengah sedang tidak stabil," kata Shafira di Semarang, Kamis, 4 Oktober 2018.

Berdasarkan pengamatan BMKG, tinggi gelombang perairan selatan Jawa Tengah pada Kamis itu mencapai 1,5 meter hingga 2,5 meter. Bahkan, untuk ombak Samudera Hindia kini meningkat hingga 3 meter.

Selain imbauan untuk nelayan, pihaknya juga mengingatkan agar wisatawan yang mengunjungi pesisir pantai Cilacap, Kebumen maupun Yogyakarta untuk ekstra waspada. Terlebih, pengaruh badai tropis itu juga menyebabkan angin yang cukup kencang.

"Tetap jaga kondisi karena angin berubah sangat kencang, ditambah gulungan ombak yang tinggi bisa membahayakan nyawa wisatawan di garis pantai selatan," tuturnya.

Rawan Gempa dan Tsunami

Mochammad Riyadi, dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, dalam sebuah seminar nasional menyampaikan bahwa Indonesia memang rawan gempa bumi dan tsunami. Salah satu bencana tsunami yang menjadi titik balik adalah tsunami Aceh pada 2004 yang menewaskan lebih dari 250.000 orang.

Dia menyampaikan, tragedi itu menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya informasi gempa bumi yang cepat guna mendukung sistem peringatan dini tsunami. Sementara itu, sebelum 2004, Indonesia belum memiliki sistem peringatan dini tsunami.

Selain itu, jaringan sensor gempa tidak cukup melingkupi wilayah Indonesia, penentuan parameter gempa membutuhkan waktu di atas 30 menit, minimnya moda diseminasi dalam penyebaran informasi gempa bumi.

Dalam paparannya, Riyadi menyebut bahwa pantai-pantai di sepanjang Pulau Sumatera bagian barat, Jawa bagian selatan, Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi, sampai Papua sebagai daerah yang rawan terjadi tsunami.

"Indonesia rawan terhadap bencana tsunami lokal karena sebagian daerah pantainya dekat dengan sumber tsunami. Bencana tsunami dapat terjadi kurang lebih 30 menit setelah gempa bumi terjadi," kata Riyadi dalam salah satu kesimpulannya.

Kemudian, peringatan dini adalah kombinasi kemampuan teknologi dan masyarakat untuk menindaklanjuti hasil dari peringatan dini tersebut. Atas ancaman gempa dan tsunami tersebut, dia mengimbau pemerintah daerah perlu memastikan mampu menerima berita gempa bumi atau berita peringatan dini tsunami serta saran dari BMKG secara tepat dan sepanjang waktu melalui berbagai alat komunikasi.

Tidak lupa, dia mengingatkan, gempa bumi yang menjadi salah satu sebab timbulnya tsunami, merupakan gejala alam yang sampai sekarang masih sulit diperkirakan kedatangannya. Maka diperlukan pengembangan teknik prediksi gempa bumi dengan berbagai metode.

Sementara itu, peneliti tsunami dan gempa bumi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, membenarkan bila Jawa Tengah bagian selatan memang masuk sebagai daerah rawan tsunami. Begitu pula dengan daerah di sepanjang pantai barat Sumatera, selatan Nusa Tenggara, utara Nusa Tenggara. Selain itu, di utara Papua, pantai timur Manado dan Maluku serta pulau-pulau kecil di Kepulauan Ambon.

"Daerah pantai yang berhadapan dengan samudera dan zona subduksi lempeng, rawan tinggi terhadap tsunami," kata dia, Kamis, 4 Oktober 2018.

Widjo mengatakan, tsunami early warning system (TEWS) hanya mengandalkan instrumen di darat dan modeling. Untuk meningkatkan keandalan, lanjutnya, perlu sistem monitoring muka laut.

Namun, persoalannya adalah sistem monitoring muka laut untuk keperluan EWS di Indonesia ini tidak ada. Hanya ada sensor pasang surut.

"TEWS kita ada tapi tidak pakai alat sensor di laut," ujarnya.

Harus Tahu Diri

Senada, Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, juga membenarkan Jawa Tengah merupakan daerah rawan gempa dan tsunami. Sebab, daerah itu berhadapan dengan zona megathrust yaitu pertemuan antara lempeng induk Australia dan Eurasia.

Dia menyampaikan, gempa besar terakhir yang ikut mengguncang Jawa Tengah bagian selatan dan mengakibatkan tsunami terjadi pada 1994 di Banyuwangi, kemudian pada 2006 di Pangandaran dan Cilacap.

Selain Jateng, dia juga menyebut sepanjang pantai barat Sumatera, selatan Nusa Tenggara, utara Nusa Tenggara, kemudian di utara Papua, pantai timur Manado dan Maluku serta pulau-pulau kecil di Kepulauan Ambon juga masuk daerah rawan gempa.

"Kondisi ini abadi ya, kita ada di zona tumbukan lempeng, sudah takdir alam," kata Daryono, Kamis, 4 Oktober 2018.

Oleh karena itu, kata dia, mau tidak mau, suka tidak suka, bangsa ini harus tahu diri. Mereka harus bisa hidup secara harmoni dengan alam.

"Seperti apa, karena sering terjadi gempa, maka bangun rumah yang tahan gempa. Agar tidak ambruk bangunnya yang kuat, semen jangan diirit-irit," kata dia lagi.

Daryono menuturkan, bila bangunan kuat, kemungkinan ketika terjadi gempa bisa bertahan dan hanya retak. Yang terpenting adalah bisa menghindari jatuhnya korban. Selain soal bangunan, dia mengatakan, masyarakat harus tahu kiat-kiat menghadapi gempa.

"Jika di dalam rumah, terjadi gempa kuat, jalannya sudah sempoyongan, jangan lanjutkan lari, berhenti. Cari perlindungan di sana, entah kursi, meja, amben. Jangan terobos karena bisa kena bangunan rumah yang ambruk," kata dia.

Bila di dalam gedung, Daryono mewanti-wanti agar masyarakat tetap tenang, tidak boleh berlindung di bawah tangga. Lalu, jika ada di lantai 4, jangan melompat, tapi bertahan dalam ruangan itu.

"Sikap tenang membuat kita lebih aman. Warga juga bisa memikirkan agar bangunannya aman, maka membangun dengan menggunakan bambu atau kayu yang didesain menarik," ujarnya.

Selain itu, Daryono mengimbau pemerintah harus serius dalam memperhatikan mitigasi bencana, misalnya menjalankan program pelatihan, serta penyadaran terhadap masyarakat dalam menghadapi bencana.

Bagi masyarakat yang ada di pesisir, jangan santai-santai saja. Mereka harus sadar bahwa mereka hidup di tengah ancaman bencana, di negeri yang rawan terjadi bencana.

"Harus melakukan edukasi, latihan, dan menerapkan evakuasi mandiri. Menjadikan mitigasi bencana sebagai gaya hidup," katanya.

Terkait bagaimana menghadapi tsunami, khususnya bagi mereka yang tinggal di dekat pantai, satu yang utama menurut Daryono adalah dengan menjadikan gempa sebagai peringatan dini. Setiap gempa melanda, baik besar atau tidak, masyarakat harus ‘menganggap’ potensi tsunami kemungkinan besar terjadi tanpa menunggu pengumuman dari instansi berwenang.

"Lari, menjauh. Tidak ada cara yang lain. Kalau akhirnya tidak ada tsunami, anggap saja olahraga. Kalau ada bisa selamat," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya