Kereta Masa Depan Anti-Polusi
- The Guardian
VIVA – Jerman meluncurkan kereta bertenaga hidrogen pertama di dunia. Inovasi ini sekaligus menandakan dimulainya masa untuk menggeser tenaga diesel yang mengakibatkan polusi, dengan sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
Kereta bertenaga hidrogen itu diberi nama Coradia iLint. Seperti dilaporkan The Guardian, pada Senin lalu, 17 September 2018, transportasi massal berbodi biru terang itu memulai debutnya menyusuri rute sepanjang 62 mil (100 km).
Coradia iLint melenggang di rel yang juga biasa dilalui kereta api diesel, melaju menembus kota Cuxhaven, Bremerhaven, Bremervoerde dan Buxtehude di Jerman utara.
Sistem operasinya dilengkapi dengan sel bahan bakar yang memunculkan listrik melalui ‘perkawinan’ hidrogen dan oksigen. Sementara uap dan air, yang memiliki sifat ramah lingkungan, menjadi satu-satunya elemen yang dihasilkan dari pembuangan, alias nol-emisi.
Perusahaan kereta api Alstom dari Perancis, yang melahirkan Coradia iLint, merencanakan akan mengirim 14 unit lagi kereta sejenis. Mereka akan dikirimkan ke negara bagian Lower Saxony pada tahun 2021.
“Kereta hidrogen pertama di dunia memasuki layanan komersial dan siap untuk produksi secara bertahap,” ujar Chief Executive Officer Alstom, Henri Poupart-Lafarge, dalam upacara pembukaan di Bremervoerde.
Bremervoerde, merupakan stasiun di mana kereta dapat mengisi ulang bahan bakar hidrogen. Satu tangki hidrogen Coradia iLint, cukup untuk berjalan sejauh kira-kira 600 mil (1000 km).
Sejumlah negara maju juga disebut telah mengincar kereta Coradia iLint, di antaranya Belanda, Inggris, Belanda, Denmark, Norwegia, Italia dan Kanada. Di Perancis, pemerintahnya mengklaim bahwa mereka ingin kereta hidrogen bisa dioperasikan pada tahun 2022.
Dilansir dari laman DW, beberapa tahun terakhir, Jerman sebagai negara yang dikenal memiliki fasilitas transportasi publik yang maju, cukup ambisius mengurangi emisi CO2 hingga 40 persen. Negara Panzer ini juga berkomitmen menggunakan 80 persen energi terbarukan dalam pasokan listrik pada tahun 2050.
Apabila mengacu pada target capaian tersebut, tak mengherankan jika Jerman menandatangani surat perjanjian kerja sama dengan Alstom pada tahun 2014, di mana ia setuju untuk menyediakan total 60 kereta.
Kereta masa depan
Meluncurnya Coradia iLint di rel kereta Jerman, bisa dikatakan debut perdana. Tapi sebenarnya pada tahun 2016, kereta berbodi biru itu sudah mulai diperkenalkan ke dunia pada pameran perdagangan Innotrans. Alstom menjuluki produk besutannya sebagai ‘kereta masa depan’.
Inti dari sistem iLint adalah sel bahan bakar yang terletak di atas kereta. Hidrogen dipasok ke sel, dan kemudian digabungkan dengan oksigen yang diambil dari udara ambien di dalamnya. Reaksi percampuran dua unsur kimia tersebut berupa listrik, yang digunakan untuk memberi kekuatan gerak bagi kereta.
Selain output-nya yang bersih, yaitu berupa uap air, keunggulan utama iLint adalah manajemen daya yang pintar, serta penyimpanan energi yang fleksibel. Energi listrik dipasok sesuai kebutuhan.
Artinya, sel bahan bakar hanya diperlukan untuk bekerja dalam operasi penuh, ketika kereta api dipercepat selama periode yang berkelanjutan. Saat kereta api berhenti, sel bahan bakar hampir sepenuhnya dimatikan, sehingga menghemat konsumsi hidrogen.
Meski begitu, di balik keunggulan yang ditawarkan kekuatan hidrogen, ada harga tak murah yang harus dibayar. Perusahaan mengatakan bahwa 14 kereta api yang dibelinya dari Alstom akan menelan biaya sekitar $94,7 juta. Tetapi Stefan Schrank, manajer proyek di Alstom, menyebut investasi itu akan sepadan.
"Tentu, membeli kereta hidrogen agak lebih mahal daripada kereta diesel, tetapi lebih murah untuk dijalankan," katanya kepada kantor berita AFP.
Dari mana sumber hidrogen?
Upaya perlindungan iklim dengan menciptakan moda transportasi yang ramah lingkungan, bisa cukup masuk akal dengan hadirnya kereta api bertenaga hidrogen. Namun, pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah, dari mana unsur bersimbol ‘H’ itu akan didapat dalam jangka panjang?
Dalam fase awal ini, Alstom kabarnya berupaya menyediakan hidrogen dari emisi industri. Ia bahkan berjanji, akan membuat segalanya lebih mudah bagi operator transportasi dengan menyediakan layanan pemeliharaan dan insfrastruktur.
Saat ini, pihaknya juga sedang mencari metode hijau untuk memproduksi bahan bakar bagi iLint. Salah satu contoh yang ada adalah elektrolisis, yang melibatkan pemecahan air menjadi unsur hidrogen dan oksigen.
Sebenarnya, senyawa H2O (air) merupakan komponen dasar bagi kehidupan di Bumi. Unsur Hidrogen menyumbang 75 persen dari semua materi di alam semesta ini.
Namun, untuk memperoleh kemurnian unsur hidrogen yang berdiri sendiri, tidak serta-merta didapat begitu saja. Melainkan perlu diproduksi melalui proses elektrolisis.
Selain prosedur tersebut, hidrogen juga dapat ditangkap melalui reformasi gas alam, yaitu menggabungkan metana yang terkandung dalam gas alam dengan uap suhu tinggi.
Sepertinya tak muluk-muluk jika Jerman berani mengambil langkah maju, dengan menyediakan kendaraan yang bergantung pada hidrogen. Pasalnya, negara ini telah melakukan investasi di Energiepark Mainz, pabrik yang dirancang untuk menghasilkan hidrogen dari tenaga angin.
Memproduksi hidrogen dari tenaga angin berarti bahwa listrik yang mungkin mendestabilisasi jaringan, diubah menjadi sumber energi yang dapat disimpan dan diangkut dalam berbagai bentuk - termasuk sel bahan bakar untuk menggerakkan kendaraan.
Di tahun 2030, Jerman juga berencana untuk memiliki sistem energi berupa ribuan stasiun pengisian hidrogen dan 1,8 juta kendaraan sel bahan bakar. Sehingga bukan hanya kereta, kendaraan nol-emisi lain seperti mobil (BMW), yang telah lebih dulu diciptakan, akan memakai konsep alat transportasi yang ramah lingkungan.
Seberapa penting kendaraan ramah lingkungan?
Jika dibandingkan dengan di Indonesia, moda transportasi kereta api menggunakan bahan bakar biodiesel. Biodiesel yang dimanfaatkan adalah solar dengan campuran bahan bakar nabati sebesar 20 persen (B20).
Hal itu dilakukan juga sebagai bentuk pemanfaatan minyak nabati yang melimpah di dalam negeri, utamanya dari sawit.
Penggunaan campuran biodiesel juga disebut mampu mengurangi emisi yang diciptakan kereta api, bila dibanding bahan bakar solar murni.
Terkait dampak polusi, serta perbandingan antara bahan bakar biodiesel dengan hidrogen, VIVA mencobamenanyakan hal itu pada ahli hidrogen, Deputi TAB, Eniya. Namun sayangnya, belum mendapat tanggapan.
Di negara-negara maju, seperti Jerman, Inggris, Kanada, antusiasme menjaga planet Bumi dengan menekan gas buang yang berkontribusi pada polusi sudah ramai dicanangkan.
Bahkan warganya telah cukup banyak yang melek terhadap konsep sustainable ride, alias perjalanan yang berkelanjutan. Artinya, sesuatu yang telah dipakai, semestinya masih dapat diputar siklusnya menjadi hal yang bernilai manfaat. Minimal tidak mencemari.
Seperti pada kendaraan ramah lingkungan, gas buangan mereka tidak mengotori maupun merusak ekosistem, melainkan menjaganya tetap lestari.
Tapi tak dapat dinafikan, sebagaimana pendapat para ahli, bahwa untuk mewujudkan sistem tersebut di seluruh dunia, masih perlu proses panjang.
Di negara-negara maju, seperti Jerman, yang jelas-jelas telah mampu berinvestasi membangun sumber pengisian hidrogen, tak lepas dari tantangan. Menurut ilmuwan, sumber terbarukan sering berfluktuasi dengan cuaca.
Sehingga, sampai manusia memiliki cara untuk menyimpan sumber energi terbarukan, itu tidak akan sepenuhnya menggantikan kekuatan konvensional. (ren)