Fakta di Balik Kontroversi MSG 

Ilustrasi garam, MSG dan gula.
Sumber :
  • Pixabay/Stocksnap

VIVA – Siapa yang tak kenal dengan MSG alias Monosodium Glutamat? Penyedap rasa masakan yang di Indonesia populer dengan sebutan vetsin (mecin) ini terus dipandang kontroversial. Bisa dibilang, kontroversi penggunaan mecin sudah mendarah daging di kalangan masyarakat. 

Mecin tak hanya dikaitkan dengan sejumlah masalah kesehatan, bahkan sampai dianggap sebagai penyebab kebodohan karena diyakini sebagian masyarakat bisa merusak saraf otak. Padahal, penggunaan mecin hampir ada di setiap produk makanan, sebut saja mi instan, makanan olahan seperti sosis dan nugget, camilan ringan seperti crackers, snack, biskuit, produk-produk kalengan, hingga dijual dalam kemasan sebagai pelengkap bumbu masakan.

Komentar-komentar seputar mecin juga dilontarkan beberapa konsumen. Cici (37) salah satunya. Kepada VIVA ia mengaku 'anti mengonsumsi mecin'. Dia merasa setelah mengonsumsi makanan yang pakai vetsin akan gatal-gatal.

"Setiap makanan yang saya coba, kalau kebanyakan pakai mecin pasti terasa. Biasanya akan timbul gatal-gatal di kulit," ujarnya. Namun sayangnya hingga kini Cici belum memeriksakan gejalanya itu pada ahlinya.

Selain Cici, Sainah juga mengeluhkan mecin. Perempuan berusia 51 tahun itu mengaku kerap sakit kepala jika terlalu banyak mengonsumsi mecin. Sainah punya riwayat hipertensi, dokter pun melarangnya mengonsumsi mecin. Katanya diduga ada kandungan garam yang tinggi dalam mecin yang dikonsumsi Sainah.

Berbeda dengan Sainah dan Cici, Ryan (30) malah pernah mengalami kondisi yang lebih buruk. Ia berkisah di usia 16 tahun pernah dirawat di Rumah Sakit lantaran menderita tipus dan ada masalah pada ususnya.

"Kata dokter saya terlalu banyak makan mi instan," ujarnya kepada VIVA. Dia pun mengaku saat itu berlebihan mengonsumsi makanan cepat saji tersebut.

"Selama satu minggu penuh saya konsumsi mi instan, pokoknya frekuensi makanan lain cuma 20 persen. Apalagi saya suka begadang waktu itu main game," ujarnya. Ia juga masih ingat betul dokter yang menanganinya mengatakan bahwa bumbu mi instan yang dikonsumsinya mengandung MSG yang sangat berbahaya bagi tubuh jika dikonsumsi terus menerus.

Masih banyak testimoni negatif tentang mecin di masyarakat, bahkan belakangan mecin juga dijadikan semacam 'guyonan' di kalangan anak muda dan pengguna media sosial. Bertebaran meme yang bertuliskan 'kebanyakan makan mecin, jadinya bego'. Mecin bahkan dituduh sebagai penyebab kebodohan bangsa. Benarkah demikian?

Ketua Terpilih Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia periode 2018-2021, Dr. Daeng M. Faqih, SH,MH dalam bukunya yang berjudul “Review: Monosodium Glutamat, How To Understand It Properly” menjelaskan sangat lengkap mengenai asal usul MSG, dampaknya bagi kesehatan, juga pendapat-pendapat ilmiah para ahli. Menurutnya, MSG tidak memiliki dampak negatif seperti yang banyak diisukan. Isu seputar MSG ini, bagi Daeng, penting untuk diluruskan.

"Dalam berbagai isu keamanan pangan, MSG adalah salah satu Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang menjadi topik hangat dan menarik dalam pemberitaan media massa. Hanya saja informasi yang ada tidak berimbang dan bersifat negatif serta tidak diikuti oleh sebuah argumentasi ilmiah yang memadai. Sehingga pada akhirnya masyarakat banyak menyimpulkan secara gegabah tentang MSG," tulis Daeng dalam buku tersebut.

Lebih lanjut ia menyebutkan dalam bukunya mengenai sejarah panjang isu kesehatan seputar MSG.

“Sepanjang 40 tahun terakhir berbagai pro-kontra muncul untuk menentang penggunaan MSG dalam makanan. Terutama di negara Barat. Hal ini disebabkan adanya laporan dari orang-orang yang mengalami suatu reaksi setelah mengonsumsi makanan yang mengandung MSG, walaupun laporan tersebut tidak secara jelas menyebutkan penyebabnya adalah MSG," ujar Daeng.

4 Makanan yang Wajib Dihindari Penderita Penyakit Jantung

Sementara itu, kontroversi penggunaan MSG yang terjadi di Indonesia akibat pengetahuan konsumen secara tepat tentang MSG masih rendah. 

Chinese Restaurant Syndrome

Ketahui 5 Dampak Buruk Terlalu Banyak Mengonsumsi Mie Instan Saat Sahur

Reaksi negatif terhadap penggunaan MSG pada masakan telah dibahas di dalam literatur ilmiah sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu. Diawali dari sebuah laporan kasus yang dituliskan dalam New England Journal Of Medicine 1968 sebagai pengalaman pribadi Dr. Robert Ho Man Kwok (Amerika), setelah mengonsumsi makanan di rumah makan China. 

Ia menamakannya sebagai Chinese Restaurant Syndrome (CRS) yang merupakan kumpulan gejala berupa rasa kebas di belakang leher, tubuh menjadi lemas serta palpitasi (jantung berdebar-debar). Sejak itu berbagai penelitian dilakukan untuk menilai keamanan penggunaan MSG terhadap kesehatan. Padahal di dalam suratnya tidak menyebutkan bukti bahwa gejala yang dialaminya tersebut merupakan akibat dari penggunaan MSG.

Bikin Capcay Spesial Ramadhan Yuk, Cocok Buat Sahur dan Buka Puasa

Chinese Food

Sejak kejadian tersebut maka dilaporkan kurang lebih 7 persen populasi orang Amerika mengalami CRS. Namun angka ini dianggap berlebihan sebab tidak didasarkan pada desain studi yang benar. 

Setelah itu beberapa penelitian mulai bermunculan untuk memastikan hubungan antara CRS dan MSG namun hasil penelitiannya justru berlawanan.

Walaupun berbagai penelitian telah banyak yang membuktikan keamanan MSG, namun kontroversi terhadap penelitian tersebut juga selalu ada. 

Salah seorang yang paling menentang bukti keamanan MSG adalah Dr. Adrienne Samuel bersama suaminya, yang menyatakan bahwa penelitian tersebut memiliki keterkaitan atau dibiayai oleh industri MSG. Tuduhan Dr. Samuel ditolak oleh Dr. Roland Auer, seorang peneliti independen yang menjabat sebagai Biology’s Expert Panel pada Federation of American Societies

Beliau menyatakan bahwa Dr. Samuel telah membuat pernyataan yang tidak benar sebab beliau dan institusinya tidak pernah menerima maupun berpihak pada industri makanan. 

Cikal Bakal Mecin

Jauh sebelum polemik CRS, ternyata sejarah penemuan mecin juga tak bisa disepelekan. Dilansir laman School of Science Tokyo, Discover of 'Umami' menyebutkan bahwa mecin ditemukan oleh seorang ahli kimia Jepang bernama Kikunae Ikeda. 

Mulanya, Ikeda yang sedang berhadapan dengan semangkuk sop rumput laut bertanya-tanya, apa yang membuat dashi, sebuah kaldu standar untuk beberapa makanan di Jepang, rasa yang kaya? Dashi sendiri, dalam makanan Jepang, terbuat dari fermentasi rebusan rumput laut dan ikan kering.

Kaldu ini sering digunakan oleh koki untuk menambah cita rasa makanan, yaitu rasa gurih pada makanan tak berdaging. Untuk beberapa alasan yang sulit dijelaskan, dashi membuat makanan terasa enak. Hal inilah yang kemudian membuat Ikeda ingin mencari tahu alasan di baliknya. 

Pada 1908, Ikeda mengisolasi substansi utama dashi, yaitu rumput laut Laminaria japonica. Selanjutnya, dia melakukan serangkaian percobaan, seperti penguapan untuk mengisolasi senyawa spesifik dalam rumput laut.

Setelah berhari-hari melalui penguapan, rumput laut tersebut mengkristal. Saat dicicipi, Ikeda mengenali rasa gurih dari dashi. Ia menyebutnya sebagai rasa umami, dari kata "umai" yang berarti lezat. 

Hal ini menjadi terobosan pertama yang menantang pemikiran tentang rasa dalam kuliner yang biasanya hanya mengenal empat rasa, yakni asin, pahit, asam, dan manis. Setelah ia menemukan itu, kini kita mengenal rasa kelima, yaitu gurih. 

Tanpa buang waktu, Ikeda menentukan rumus molekul kristal yang dihasilkan sebelumnya, yaitu C5H9NO4. Rumus molekul tersebut sama seperti asam glutamat, sebuah asam amino non-esensial karena tubuh manusia menghasilkan senyawa ini dengan sendirinya. 

Diproduksi Tubuh Secara Alami 

Seperti yang disebutkan di atas, asam glutamat sebenarnya juga diproduksi dalam tubuh manusia. Dalam tubuh manusia, asam glutamat sering ditemukan sebagai glutamat, senyawa berbeda jika kehilangan satu atom hidrogennya. 

Glutamat merupakan salah satu neurotransmitter yang paling banyak di otak. Senyawa ini memainkan peran penting dalam memori dan pembelajaran. Selain pada tubuh manusia, senyawa ini juga diproduksi pada tubuh beberapa hewan dan tumbuhan. Senyawa ini juga dengan mudah kita temui dalam berbagai bahan makanan alami. 

Sebut saja tomat, keju, jamur, buah, sayur, bahkan ASI atau air susu ibu juga mengandung glutamat. Dengan kata lain, sebenarnya micin atau MSG, tanpa ditambahkan pun sudah terkandung dalam makanan alami. 

Menyadari keberhasilannya merumuskan molekul kristal yang disebut umami tersebut, Ikeda kemudian mulai berpikir untuk memproduksinya secara massal. Pada 1909, Ikeda mendirikan merk dagang Ajinomoto (dalam bahasa Jepang berarti esensi rasa) untuk memproduksi temuannya. Kala itu, bahan tambahan dalam masakan ini dibuat dengan memfermentasi protein nabati. 

Pembuktian mecin dan berbagai isu kesehatan

Kontroversi seputar dampak buruk mecin ini juga telah didalami. Berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk membuktikan bahwa mecin tidak seburuk yang beredar di masyarakat belakangan. Namun kenyataannya kontroversi terhadap penelitian tersebut juga selalu ada hingga kini.

Dari berbagai keluhan yang ada, VIVA mencoba merangkum 3 besar kekhawatiran masyarakat mengenai dampak buruk mecin. Berikut ini rangkumannya.

1. MSG dituduh merusak saraf dan bikin bodoh

Salah seorang yang memberikan pengaruh terhadap isu keterkaitan antara MSG dengan kelainan saraf adalah John Olney, psikiatris dari Universitas Washington. 

Dr. Olney memberikan banyak kritik terhadap berbagai bahan tambahan makanan, namun fokus utamanya adalah aspartam dan MSG. Ia telah mengadakan banyak penelitian pada hewan pengerat dengan cara menyuntikkan atau memasukkan MSG secara paksa untuk membuktikan apakah MSG dapat menyebabkan neurotoksisitas pada hewan coba ini. 

Di dalam salah satu penelitiannya, Olney menggunakan bayi tikus yang baru lahir dan memberikan MSG secara oral dengan dosis sebesar 3gr/kg berat badan hewan percobaan. 

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa MSG menimbulkan kerusakan otak. Olney juga melaporkan bahwa MSG merupakan pemicu untuk terjadinya obesitas, gangguan neuroendokrin, gangguan perilaku dan kerusakan otak pada janin tikus dari induk yang mengonsumsi MSG saat hamil.

Namun lagi-lagi penelitian itu harus melewati tahapan lebih lanjut karena belum sampai tahap uji klinis pada manusia.

Ahli gizi Prof. Hardinsyah, MS, PhD beranggapan serupa. Menurutnya Glutamat dalam mecin tidak mungkin bisa membuat bodoh. Menurutnya glutamat justru bisa mengaktivasi pesan antar neuron di otak. Ia juga menyebut bahwa apalagi dari segi keamanan MSG bisa dilihat dari bahan pembuatnya. Di beberapa negara, bahan pembuatan mecin berbeda.

"Di Amerika, MSG dibuat dari jagung. Di Indonesia, dibuat dari tetes air tebu, karbohidrat yang kemudian di-convert bakteri menjadi glutamat, lalu direaksikan dengan natrium menjadi butiran putih kristal," ujar Hardinsyah kepada VIVA dalam sebuah acara seminar beberapa waktu lalu.

Fakta lain ia sebutkan bahwa konsumsi mecin rata-rata penduduk dunia didominasi oleh China dan Taiwan dengan 1,8 persen, Jepang 1,4 persen, Amerika 0,8 persen, sementara Indonesia hanya 0,6 persen. Jika dilihat negara dengan konsumsi MSG tinggi, justru merupakan negara yang lebih maju dari Indonesia.

"Tidak berarti konsumsi mecin jadi cerdas. Tapi kalau dikaitkan, seharusnya (masyarakat) China lebih bodoh. Jadi, (mecin dan kerusakan otak) tidak ada kaitan," ujar Hardinsyah.

2. Mecin memicu asma?

Web MD menyebut, bahwa asma bronkial merupakan penyakit inflamasi (radang) kronik saluran napas yang menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas terhadap berbagai rangsangan, yang paling sering disebabkan karena alergi dan beberapa faktor risiko.

MSG pertama kali dilaporkan sebagai alergen oleh Allen dan Baker yang tercatat dalam jurnal The New England Of Medicine. Laporan ini berawal dari hasil pemeriksaan dua orang pasien yang mengeluhkan serangan asma setelah 12 jam mengonsumsi makanan di rumah makan Cina. Kemudian dilakukan uji pada pasien dengan memberikan kapsul yang berisi 2,5 gram MSG. Hasilnya, pasien mengalami serangan asma bahkan salah seorang pasien mengalami serangan asma berat. Oleh  karena itu peneliti menyimpulkan bahwa MSG mampu memicu bronkospasme, CRS dan asma.

Laporan ini kemudian menjadi dasar berkembangnya anggapan bahwa MSG merupakan faktor pemicu. Penelitian lain kemudian berlanjut, salah satunya yang dilakukan Woods RK dkk pada 12 pasien rawat jalan yang melaporkan serangan asma setelah mengonsumsi MSG. Penelitian dilakukan dengan memberikan MSG dosis tinggi dengan kontrol lebih baik dari beberapa penelitian sebelumnya. Hasilnya, tidak terjadi reaksi asmatik seperti yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya.

3. Mecin memicu kanker?

MSG merupakan salah satu bahan tambahan makanan yang secara pro-kontra dianggap sebagai karsinogen. MSG diduga berperan dalam pertumbuhan dan invansi tumor otak melalui mekanisme aktivitas peningkatan reseptor glutamat di daerah sekitar tumor. Selain itu, MSG juga diduga memengaruhi proliferasi dan migrasi sel-sel tumor.

Di Indonesia, anggapan mengenai MSG sebagai penyebab kanker dituliskan oleh DR. Iwan T. Budiarso seorang dokter hewan yang pernah dimuat di sebuah media cetak. Beliau merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti Jepang Matsumoto, Sugimura dan Sato, juga Takayama ditahun yang berbeda. Penelitian itu dilakukan dengan membakar ikan pada suhu 300-400 derajat celsius hingga menjadi arang. 

Ilustrasi sel kanker.

Setelah diekstraksi akhirnya ditemukan zat aminomethyl dipyridoimodazole Glu-P1 dan amino dipyridoimodazole (Glu-P2) yang disuga menyerupai senyawa MSG. Singkatnya, zat tersebut diberikan pada tikus dan menimbulkan kanker. Namun lagi-lagi penelitian ini masih belum bisa membuktikan hubungan zat karsinogen dan kanker. Selain itu belum juga terbukti bahwa Glu-P berasal dari MSG. Sebab, berat molekul MSG lebih rendah dari Glu-P.

Pakar Onkologi Prof, DR.Dr.Aru W Sudoyo, SpPD, KHOM, FACP dalam buku 'Monosodium Glutamat, How To Understand it Properly' menyebut bahwa tidak ada kaitannya antara MSG dan kanker. Selain itu menurutnya penggunaan MSG dalam makanan tidak berbahaya.

"Kontroversi masih ada walaupun food and drug administration (FDA), badan pengawasan makanan Amerika dan beberapa lembaga sejenis di dunia termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia menyatakan MSG aman. Selain itu kanker dan MSG juga tidak ada kaitannya."

Bisa Bikin Sehat

Prof. Hardinsyah, MS, PhD mengatakan, berdasarkan berbagai penelitian, MSG dinyatakan aman. Bahkan menurut Permenkes No 72 Tahun 1988, MSG termasuk dalam bahan tambahan pangan yang digunakan untuk menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Permenkes ini kemudian diperbaiki kembali ke dalam Kepmenkes No 33 Tahun 2012.

MSG merupakan garam natrium dari asam glutamat berupa serbuk kristal berwarna putih dengan sifat tidak berbau dan mudah larut dalam air. Dan ternyata, glutamat ini secara alami juga terdapat di dalam berbagai bahan makanan seperti daging, ikan, brokoli, dan air susu ibu (ASI)

Hardinsyah memaparkan, glutamat memiliki sejumlah kegunaan. Di antaranya adalah sebagai pembentuk otot.

"Otot terdiri dari asam amino, sepertiga dari otot adalah asam amino. Asam amino ada dalam glutamat yang penting untuk membentuk protein. Kalau tidak ada protein tidak bisa membentuk otot," kata Hardinsyah.

MSG.
 
Selain itu, glutamat juga bisa mengubah bentuk asam amino lain, seperti aspartat dan arginin yang diperlukan oleh tubuh. Glutamat juga bisa menghasilkan energi dan glukosa, terutama ketika usus bekerja dan membutuhkan energi, ia mengambil dari  sumber yang terdekat, yaitu glutamat.

Manfaat lainnya adalah glutamat bisa mengaktivasi penyampaian pesan antar neuron atau saraf. Di dalam otak, terdapat jutaan neuron yang saling berhubungan. Glutamat berperan dalam mengaktivasi pesan antar neuron tersebut.

"Glutamat juga berfungsi untuk pembentukan sel imun limfosit dan butir darah merah," imbuh Hardinsyah.

Berdasarkan penelitian Yamamoto dari Jepang, MSG tidak hanya aman, tapi juga bisa mempercepat pencernaan makanan sumber protein. Misalnya, daging biasanya dicerna dalam waktu 3,5 jam, namun dengan MSG hanya butuh waktu 2,5 jam saja. Di samping itu, Yamamoto juga mengatakan jika MSG juga bisa menggugah selera makan.

Lebih lanjut ia menyebut soal efek samping mecin. "Satu-satunya dampak konsumsi mecin berlebih justru rasa masakan yang menjadi eneg. Selain itu ada beberapa yang sudah ditambahkan komposisinya dengan garam, justru yang diwaspadai adalah takaran garamnya," tutupnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya