Kebakaran Hutan dan Gagalnya Pemerintah
- ANTARA FOTO/Untung Setiawan
VIVA – Bencana kebakaran hutan dan lahan masih terus berulang dan terjadi di wilayah Indonesia, khususnya Kalimantan dan Sumatera, setiap tahunnya di musim kemarau.
Masalah klasik yang menjadi penyebab kebakaran hutan, yaitu cuaca kering yang menyebabkan tanaman mudah terbakar, dan tindakan tak bertanggung jawab masyarakat membakar hutan untuk membuka lahan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, berdasarkan hasil pantuan dari satelit Aqua, Terra, SNPP pada katalog Modis Lapan terdeteksi 885 titik panas (hotspot) kebakaran hutan, dan lahan di Kalimantan Barat pada Kamis pagi, 23 Agustus 2018. Secara keseluruhan, terdapat 1.231 titik panas di Indonesia pada 23 Agustus 2018.
"Dari 885 titik panas tersebut, 509 titik panas kategori sedang, dan 376 titik panas kategori tinggi," kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB.
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menginformasikan bahwa jumlah titik panas (hotspot) saat ini, menunjukkan peningkatan, seiring semakin meluasnya pengaruh musim kemarau di sejumlah wilayah di Indonesia.
“Wilayah yang cukup signifikan mengalami peningkatan titik panas, yaitu Kalimantan Barat (798 titik), Kalimantan Tengah (226 titik), Jambi (19 titik), dan Sumatera Selatan (13 titik),” kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, di Jakarta, Kamis siang.
Berikutnya, kualitas udara memburuk...
***
Kualitas udara memburuk
Peningkatan jumlah titik panas ini, menurut Dwikorita, diakibatkan kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering, sehingga mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar.
Ia mengingatkan, kondisi tersebut perlu diperhatikan, agar tidak diperparah dengan maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara membakar.
Dampak kebakaran hutan dan lahan di Kota Pontianak telah menyebabkan kualitas udara berdasarkan konsentrasi partikulat (PM10) terukur 166 mikro gram per meter kubik atau kategori tidak sehat. Sebaran asap mengarah ke utara di wilayah Kalimantan Barat bagian barat. Sebanyak 2.000 orang dilaporkan menderita sakit ISPA selama musim kemarau ini.
Kebakaran hutan di Kalimantan Barat, juga telah menyebabkan empat orang meninggal dunia sejak sebulan terakhir. Mereka terjebak dalam kepungan api yang dibuat untuk membersihkan lahan.
BMKG telah mengeluarkan peringatan dini bahwa cuaca makin kering, dan berpotensi memicu kebakaran hutan dan lahan. Musim kemarau ini diprediksi BMKG, akan berlangsung hingga akhir Oktober 2018.
“Kondisi kering itu diikuti oleh kemunculan hotspot yang memicu kejadian kebakaran hutan dan lahan, yang pada akhirnya menimbulkan asap dan penurunan kualitas udara. Jumlah hotspot di Kalimantan Barat, mengalami peningkatan 17,6 persen dibandingkan pekan lalu,” ujar Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal.
Untuk mengurangi adanya kebakaran hutan, BNPB mengerahkan 10 helikopter yang digunakan untuk patroli dan water bombing di daerah kebakaran hutan di Kalimantan Barat.
BNPB bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atau BPPT juga terus melakukan hujan buatan atau teknologi modifikasi cuaca menggunakan pesawat Casa 212-200 TNI AU.
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, sudah ada lima ton bahan semai Natrium Clorida (CaCl) ditaburkan ke dalam awan-awan potensial di angkasa.
Selanjutnya, Presiden bersalah...
***
Presiden bersalah
Kebakaran hutan yang terus berulang setiap tahun ini menunjukkan gagalnya pemerintah dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan, serta melindungi masyarakat dari polusi asap akibat kebakaran hutan.
Pengadilan Tinggi Palangkaraya, memvonis bersalah Presiden Joko Widodo dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah hingga menyebabkan bencana asap pada tahun 2015.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Palangkaraya, dalam putusan tertanggal 22 Maret 2017 menyatakan, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya, yang memvonis Presiden Jokowi, empat menteri, Gubernur Kalteng, dan DPRD Provinsi Kalteng, bersalah atau lalai dalam bencana asap yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan. Putusan itu mengabulkan gugatan warga yang diajukan para aktivis lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Anti Asap Kalimantan Tengah, terkait kebakaran hutan dan lahan pada 2015.
Atas putusan tersebut Jokowi dan pemerintahannya dijatuhkan sebanyak 12 hukuman. Di antaranya, mendesak Presiden menerbitkan delapan peraturan pemerintah tentang pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, serta pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Meski Jokowi menyatakan menghormati keputusan hukum pengadilan tersebut, pihaknya akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
"Kita harus menghormati sebuah keputusan yang ada di wilayah hukum, yang ada di pengadilan. Harus kita hormati, tetapi kan juga masih ada upaya hukum yang lebih tinggi lagi, yaitu kasasi," katanya.
Jokowi mengklaim, kebakaran hutan di tahun ini sudah menurun dratis dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah juga telah berusaha melakukan penegakan hukum, pengawasan di lapangan, mengeluarkan peraturan presiden mengenai kebakaran hutan dan lahan, termasuk membentuk Badan Restorasi Gambut.
"Tidak hanya di Kalimantan di seluruh Tanah Air saya rasa, dalam empat tahun ini, kita sangat serius habis-habisan. Hasilnya, bisa kita lihat kebakaran hutan di seluruh Tanah Air menurun 85 persen kurang lebih," ujar Jokowi di Jakarta, Jumat 24 Agustus 2018.
Selanjutnya, pemerintah telah gagal...
***
Pemerintah telah gagal
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan, kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi tahun ini menunjukan salah urus tata kelola hutan dan ekosistem rawa gambut. Meski angkanya sempat menurun di tahun 2016 dan 2017, kebakaran di tahun ini dikhawatirkan akan meluas.
Direktur Walhi Kalimantan Barat, Anton P Widjaya, menyatakan fakta tahun ini, titik api sangat tinggi di Kalimantan Barat. Hal ini menjelaskan bahwa klaim perbaikan tata kelola gambut yang selama ini dilakukan di Kalimantan Barat telah gagal.
Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi, Khalisah Khalid mengatakan, komitmen penegakan hukum yang sempat dilontarkan oleh Presiden di tahun 2015 dan awal 2016, semakin melemah dengan mengatasnamakan keterlanjuran. Akibatnya, korporasi semakin merasa mendapatkan angin, dan bahkan terus melakukan upaya pembangkangan hukum.
"Penegakan hukum lebih banyak bersifat pemberian sanksi administratif yang tidak memberikan efek jera sedikitpun bagi korporasi," katanya dikutip dalam siaran persnya.
Ironinya, dilanjutkan Khalisah, penegakan hukum yang seharusnya ditujukan bagi korporasi, yang telah melakukan pelanggaran hukum, justru berbelok menyasar masyarakat adat, masyarakat lokal dan petani.
Berbagai pernyataan dari aparat keamanan seperti “tembak di tempat bagi pelaku pembakaran”, menunjukkan bahwa aparat keamanan gagal melihat bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut adalah problem struktural, yang disebabkan oleh pelanggaran hukum oleh aktor yang memiliki kekuatan ekonomi.
“Kami mendesak Presiden, .segera mengeluarkan kebijakan moratorium sawit, dan investasi monokultur skala besar lainnya. Jika tidak, kami khawatir target pembenahan tata kelola hutan, dan ekosistem rawa gambut tidak akan tercapai, dan kebakaran hutan dan gambut, akan terus terjadi, karena kerusakannya jauh lebih cepat dibandingkan dengan upaya pemulihannya,” ujarnya. (asp)