Haram Vaksin MR, Apa Boleh Buat

Imunisasi
Sumber :
  • ANTARA Foto/M Risyal Hidayat

VIVA – Teka-teki status halal-haram vaksin measles rubella (MR) terjawab sudah. Majelis Ulama Indonesia akhirnya menyebut vaksin yang diproduksi Serum Institute of India (SII) itu mengandung babi.

Pemerintah Kalimantan Timur Gandeng Malaysia Buat Kendalikan Dengue

Akan tetapi bukan berarti vaksin MR tak boleh dipergunakan. Karena bersamaan justitikasi, MUI turut merilis fatwa mubah terhadap vaksin 'penawar' campak dan rubella itu.

Pemberian izin menurut agama Islam --mubah-- terhadap vaksin MR, dikatakan sudah dipertimbangkan masak-masak oleh MUI. "Penggunaan vaksin MR produk dari Serum Institute of India pada saat ini dibolehkan (mubah)," ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh saat dikonfirmasi VIVA, Senin, 20 Agustus 2018.

BPOM Targetkan WHO Maturity Level 4 untuk Tingkatkan Kualitas Pengawasan Kesehatan Masyarakat

Kata Ni'am ada beberapa alasan kuat yang memantik MUI merilis fatwa ini. Salah satunya adalah belum adanya imunisasi halal yang bisa mengatasi persoalan MR. "Kebolehan penggunaan vaksin MR ini tidak berlaku jika nantinya ditemukan vaksin yang halal dan suci," katanya.

Sebagai negeri berpenduduk mayoritas Islam, asas penetapan halal-haram tentu tak bisa dianggap sepele. Hal itu dianggap sangat penting. Masyarakat mayoritas senantiasa memastikan apa yang masuk ke dalam tubuh sesuai dengan ketentuan agama yang dianut.

Kini Hadir Cara Mudah Pantau Kesehatan Anak

Tak cuma sekadar urusan makan dan minum, urusan vaksin pun tak luput dari perhatian. Maka jangan heran, saat kehalalan vaksin dipertanyakan, penolakan penggunaan vaksin bisa marak terjadi di sejumlah wilayah.

Akar Masalah

Program imunisasi vaksin MR dimulai serentak 1 Agustus 2017 sampai September 2018. Imunisasi ditujukan bagi bayi usia sembilan bulan sampai anak usia 15 tahun. Target sasaran imunisasi sebanyak 31.963.154 anak di 28 provinsi di luar Jawa.

Namun seiring berjalannya waktu, pelaksanaan mengalami ketersendatan berkali-kali. MUI juga sempat mengeluarkan edaran yang meminta Kementerian Kesehatan menunda pelaksanaan imunisasi, karena vaksin yang digunakan belum mendapatkan sertifikasi halal.

"Ya betul ada. Jadi kita minta kepada Kemenkes agar dilakukan sertifikasi halal, karena memang di masyarakat ada permintaan itu. Jadi mungkin untuk memenuhi hak masyarakat muslim, ya dipenuhilah dulu untuk sertifikasi halalnya," kata Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan MUI, KH Cholil Nafis membenarkan adanya surat tersebut.

Program pun sempat tersendat, sampai akhirnya Kementerian Kesehatan berkali-kali membuat upaya agar halangan dapat teratasi.

Program ini sebenarnya sudah dilaksanakan di enam provinsi di pulau Jawa, yakni di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tetapi persoalan sertifikat halal dari MUI kemudian jadi alasan banyak pihak untuk menolak imunisasi, apalagi vaksin yang digunakan berasal dari India.

Gerakan masif penolakan terjadi di sejumlah wilayah, mulai dari MUI Kepulauan Riau yang sempat melarang suntik vaksin; penolakan masif warga di salah satu wilayah di Purwakarta, hingga hampir separuhnya bersikap abai; delapan sekolah di Yogyakarta yang menolak untuk divaksin; serta kasus-kasus mengemuka lainnya. Semua bermuara pada satu persoalan, menolak haram.

Bahaya Ganas

Kendati mengandung babi, namun vaksin MR diklaim punya manfaat jitu, menangkal keganasan penyakit campak dan rubella.

Vaksin ini jadi salah satu prioritas karena penyakit akibat infeksi virus yang bisa menular lewat udara ini tidak ada obatnya, selain meringankan gejalanya. Walau demikian penyakit ini bisa dicegah sejak dini dengan pemberian vaksin MR yang notabene merupakan rekomendasi WHO dan telah digunakan di 141 negara di dunia.

Pemerintah beralasan, pemberian imunisasi gabungan MR, sebagai cara menekan angka kematian anak akibat penyakit campak, serta mengurangi jumlah bayi yang terlahir cacat.

"Kalau kena rubella, mungkin tidak meninggal, tapi cacatnya luar biasa, bisa mengalami kebutaan, ketulian. Kami cegah ini dengan imunisasi," kata Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek.

Menurut Nila, campak merupakan virus jenis paramyxovirus yang ditandai oleh demam dan ruam di kulit. Penyakit ini sifatnya sangat menular, dan bisa berdampak serius jika diderita oleh ibu hamil, karena bisa menyebabkan cacat bawaan pada bayi.

Jadi baik campak dan rubella, keduanya adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus.

"Dengan vaksin MR, kekebalan tubuh akan meningkat, serta dapat mencegah komplikasi yang ditimbulkan oleh campak maupun rubella."

Tetap Lanjut

Pembenaran vaksin MR mengandung babi oleh MUI baru-baru ini tak membuat Kemenkes berkecil hati. Kemenkes menyatakan bakal terus melanjutkan program imunisasi massal tahap dua.

Justru fatwa yang disampaikan MUI disampaikan dapat mempermulus program pemerintah. Seperti yang dikatakan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, Anung Sugihantono.

"Kemenkes menjalani sesuai Fatwa 33/2018 diktum pertama angka 3," ujar Anung kepada VIVA, Selasa, 21 Agustus 2018.

Hal sama juga dipaparkan oleh Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak, Soedjatmiko. Ia mengaku mendukung fatwa MUI tersebut, khususnya angka ketiga yang berisi tiga butir tersebut. "Saya mendukung fatwa MUI terutama butir tiga berisi a,b, dan c," kata dia.

Soedjatmiko beralasan fatwa tersebut merupakan kewenangan pihak MUI. Ia merasa, tak ada pihak lain yang berwenang, sehingga fatwa tersebut patut diikuti dan dijalani. "Yang memantau halal haram MUI. Kami (Satgas Imunisasi IDAI) tidak kompeten," terangnya.

Seperti diketahui ada tiga alasan yang membuat penggunaan vaksin MR dibolehkan MUI, yakni karena kondisi keterpaksaan (dlarurat syar'iyyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci, serta ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi.

MUI juga mengeluarkan empat rekomendasi kepada pemerintah, antara lain pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat. Produsen wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal dan mensertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah harus menjadikan pertimbangan keagamaan sebagai panduan dalam imunisasi dan pengobatan. Dan terakhir, pemerintah hendaknya mengupayakan secara maksimal, serta melalui WHO dan negara-negara berpenduduk muslim, agar memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal kebutuhan akan obat-obatan dan vaksin yang suci dan halal.

Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR Produk SII ini mulai berlaku sejak ditetapkan pada 20 Agustus 2018.

"Dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata membutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya," kata Asrorun Ni'am.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya