Anak dalam Bayang-bayang Kekerasan Dunia Maya

Peringatan Hari Anak Nasional di Pasuruan, Jawa Timur, Senin, 23 Juli 2018
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nur Faishal

VIVA – Senin 23 Juli 2018, negeri ini merayakan Hari Anak Nasional. Tujuannya tak lain, untuk menghormati hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa, agar mereka tumbuh dan menjadi manusia dewasa yang berkualitas.

Siapa Sangka, Aruma Pernah Jadi Korban Bully

Untuk mempersiapkan sekitar 87 juta anak atau sepertiga dari total jumlah penduduk Indonesia menjadi generasi kebanggaan, peringatan Hari Anak Nasional sudah selaiknya dijadikan momentum perbaikan, sekaligus pemajuan perlindungan anak, jangan cuma seremoni semata.

Sebab, fakta di lapangan menunjukkan kasus kekerasan, perundungan alias bullying dan perlindungan kepada anak masih banyak diabaikan dan terabaikan.

Veronica Tan Sebut Ekonomi Perempuan Tak Terjamin Jadi Penyebab Masalah Mental Health hingga Bullying

Sebagai contoh terbaru adalah kasus seorang peserta audisi ajang pencarian bakat menyanyi Konser Dangdut Indonesia (KDI) di salah satu televisi swasta yang diperlakukan 'keterlaluan' oleh juri, hanya karena penampilannya tak sesuai keinginan juri.

Peserta audisi yang hanya mengenakan kaus berpadu celana jeans dan wajah polos tanpa make-up itu, harus menerima komentar tak menyenangkan, hanya karena penampilannya yang tak ada hubungannya sama sekali dengan bakat yang dicari.

Pilu, Angka Kasus Bunuh Diri di Indonesia Meningkat! Didominasi Anak di Bawah 15 Tahun

Bahkan, para juri dengan penampilan elok, seperti Iis Dahlia, Beniqno, dan Trie Utami menyuruh peserta memperbaiki penampilannya jika ingin mengikuti audisi. Alhasil, peserta pun mengganti baju biasanya menjadi gaun hitam menawan, rambut disanggul tertata rapi dengan bibir bergincu. Setelah syarat juri dipenuhi, dia baru bisa menampilkan bakatnya.   

Iis beralasan, cara tersebut dimaksudkan untuk membentuk karakter mental peserta. Namun, banyak yang berpendapat para juri sombong, karena menilai seseorang dari penampilannya. Apalagi, cara penyampaian juri yang terkesan merendahkan peserta.  

Ramainya berita ini mendapat perhatian khusus dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ketua KPAI, Susanto mengaku miris dan meyayangkan proses audisi dalam acara tersebut. Bahkan, dia meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersikap tegas.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto

"Bullying terhadap anak, karena penampilannya dan dilihat oleh jutaan pemirsa, merupakan pelanggaran. KPI harus menindak tegas," ujar Susanto kepada VIVA melalui pesan singkatnya.

KPAI juga meminta manajemen acara untuk melakukan evaluasi terhadap proses audisi yang mempertunjukkan bullying terhadap anak, karena bisa berdampak buruk bagi anak yang bersangkutan dan menular atau rentan ditiru oleh anak dalam kesehariannya. Itu karena, menurut penelitian, sebanyak 70 persen perilaku anak adalah meniru.

Berikutnya, ancaman kekerasan media digital>>>

Ancaman kekerasan media digital

Kasus tersebut cepat menjadi viral, lantaran internet dan media sosial. Di era digital saat ini, media sosial dan gadget memang sudah menjadi kebutuhan, termasuk bagi anak-anak. Padahal, media sosial dan gadget tanpa kontrol dari orangtua menjadi ancaman kekerasan di media digital pada anak. Generasi penerus negeri ini bisa terpapar konten-konten negatif yang tak terkendali di internet.

"Seperti konten pornografi, kekerasan hingga potensi cyber crime," kata Susanto kepada VIVA, Senin 23 Juli 2018.

Dari jumlah kasus pendidikan di KPAI per 30 Mei 2018 saja, tercatat ada 161 kasus. Dari jumlah itu, data anak korban kasus kekerasan dan bullying mencapai 22,4 persen, sedangkan anak pelaku kekerasan dan bullying sebanyak 25,5 persen.

Berdasarkan pengakuan korban, bully dilakukan secara langsung saat di sekolah dan sering berlanjut di dunia maya atau dikenal dengan istilah cyber bully. Tingginya angka kekerasan dan bullying di lembaga pendidikan, jadi alarm bagi orangtua dan guru bahwa para siswa rentan menjadi korban hingga pelaku bully, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Mirisnya, jumlah anak pelaku bullying di media sosial tercatat sebanyak 52,25 persen; anak korban bullying di media sosial sekitar 48,23 persen. Selain bullying, jumlah anak korban kejahatan seksual online persentasenya juga banyak mencapai 33,15 persen; anak pelaku kejahatan seksual online 27,13 persen dan anak korban pornografi hingga 51,24 persen.

Berdasarkan pengaduan korban atau pelaku kepada KPAI, sejumlah anak menjadi korban dan pelaku kekerasan seksual berawal dari perkenalan di media sosial. Selain itu, anak di-bully, diculik hingga diperdagangkan juga melalui media sosial.  

Anak-anak melihat gadget

Mengetahui fakta itu, wajib hukumnya memperkuat literasi digital yang masih lemah, yang membuat anak-anak mudah terpapar konten-konten negatif dari internet. Menurut Susanto, orangtua dan sekolah sangat penting memberikan literasi.

"Satu sisi bukan hanya sekolah saja, orangtua di rumah juga punya peranan untuk mengontrol anak, agar jangan sampai berjam-jam menggunakan medsos (media sosial). Bermedsos itu harus positif, jangan sampai spent all of time (menghabiskan waktunya) di medsos. Gadget bukan sepenuhnya milik anak, tetapi keluarga agar keluarga bisa mengontrol tontonan yang dilihat anak," tutur dia.

Selain orangtua dan guru di sekolah, ada sejumlah pihak lain yang perlu memberikan perlindungan dan bertanggung jawab menjauhkan anak-anak dari konten negatif internet. Mereka adalah penyelenggara negara, korporasi, aparat penegak hukum, dan masyarakat.  

Kehadiaran penyelenggara negara di sini sangat penting dan meskipun pemerintah sudah maksimal mengatasi konten negatif yang berkeliaran di internet, namun pemerintah jangan lelah. Sebab, konten negatif terus muncul dan jika dibiarkan akan 'meracuni' aset bangsa.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berdasarkan rekomendasi KPAI, harus membentuk regulasi tentang pemasangan perangkat lunak penyaringan serta pemblokiran pornografi. Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika harus tegas memberikan hukuman bagi penyedia jasa aplikasi yang menolak memblokir konten negatif.

Sementara itu, korporasi media sosial, seperti Twitter, Instagram, dan Facebook pun penting mengetahui dan taat terhadap aturan yang berlaku di Tanah Air. Termasuk, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Pornografi, dan UU Perlindungan Anak dengan mengontrol konten-konten negatif yang muncul.

Sedangkan aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim perlu ditingkatkan jumlah dan kapasitasnya dalam menangani perkara anak korban kekerasan, pornografi. dan kejahatan online. Begitu juga masyarakat, perlu mengikuti perkembangan teknologi informasi untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan pada anak karena konten negatif internet.

Selanjutnya, target 2030: tak ada kekerasan anak>>>

Target 2030: tak ada kekerasan anak

Untuk membuat masyarakat lebih melek pada hak-hak dan perlindungan anak, serta mencegah hal-hal buruk yang dapat memengaruhi tumbuh kembang anak, momen Hari Anak Nasional ini dirayakan di beberapa daerah.

KPAI sendiri memilih mengampanyekan stop bullying dengan melakukan roadshow ke sejumlah sekolah di 13 kota di Indonesia, di antaranya Jakarta, Bogor, Surabaya, Solo, Makassar mulai 17-31 Juli 2018, bersama Young Lex dan Surya Film.

KPAI menyosialisasikan dampak buruk bully bagi tumbuh kembang anak, dengan Young Lex menyampaikan tips menghadapi cyber bully dan para artis Surya Film menyampaikan pengalaman mereka di-bully saat mengenyam pendidikan dan bagaimana harus berjuang mengatasinya.

"KPAI berharap, roadshow dan kampanye stop bullying dengan sejumlah artis ini yang membawa pesan setop Bullying ini akan memberikan dampak positif dan menurunnya perilaku bully, baik di dunia nyata maupun cyber bully di dunia maya,” ujar Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Retno Listyarti.

Sementara itu, peringatan Hari Anak Nasional 2018 yang digelar di Kebun Raya Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, pada Senin 23 Juli 2018, dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise dan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo.

Peringatan Hari Anak Nasional di Pasuruan, Jawa Timur, Senin, 23 Juli 2018

Sebelum itu, rangkaian acara sudah lebih dahulu digelar di Kota Surabaya dan beberapa daerah lainnya. Salah satu kegiatan yang digelar ialah Forum Anak Nasional selama tiga hari, yang berakhir Minggu malam, 22 Juli 2018.

Yohana mengatakan, Hari Anak Nasional harus dijadikan momentum penggugah bagi seluruh elemen masyarakat dalam meningkatkan kepedulian akan pentingnya peran, tugas, dan kewajiban masing-masing dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak.

"Kita harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. Hari Anak Nasional merupakan hari yang sepenuhnya menjadi milik anak Indonesia, sehingga setiap anak Indonesia memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan positif," kata Yohana.

Dan, permasalahan anak banyak yang perlu diatasi. Contohnya, maraknya kekerasan terhadap anak, bullying, anak berkebutuhan khusus yang belum terpenuhi haknya, maraknya anak yang dijadikan sebagai pelaku terorisme, pengedar narkoba, informasi yang belum ramah anak, mudahnya anak mengakses pornografi, dan sebagainya.

Karena itu, tema yang diangkat dalam Hari Anak Nasional 2018 kali ini adalah 'Anak Indonesia Anak Genius'. Genius sendiri adalah singkatan dari gesit, empati, berani, unggul, dan sehat. Melalui anak Genius, diharapkan akan meningkatkan ketahanan diri anak untuk mampu membentengi diri dari berbagai tantangan dan perlakuan negatif.

Yohanna berharap, peserta forum tersebut bisa jadi pelopor terwujudnya daerah-daerah ramah anak, dengan tak ada lagi kekerasan terhadap anak. "Targetnya tahun 2030, tidak ada lagi kekerasan," katanya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya