Membongkar Jual Beli Fasilitas Lapas Sukamiskin
- VIVA/Adi Suparman
VIVA – Sebuah video diputar penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, di Jakarta, Sabtu lalu, 21 Juli 2018. Isinya menguak “jeroan” salah satu sel narapidna kasus korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Tampak, berbagai fasilitas dalam kamar tersebut. Mulai dari pendingin udara (AC), televisi, rak buku, wastafel, kamar mandi lengkap dengan toilet duduk, kulkas, hingga spring bed.
Adalah Fahmi Darmawansyah, narapidana kasus suap proyek satelit monitoring Badan Keamanan Laut (Bakamla), yang diduga menghuni sel tersebut. Untuk mendapatkan fasilitas laiknya kamar apartemen itu, suami dari artis Inneke Koesherawati tersebut diduga memberikan suap kepada Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husen.
Pengungkapan fasilitas mewah di bui itu berawal dari informasi masyarakat kepada KPK. Mendapat informasi, penyidik antirasuah langsung menggelar operasi senyap sejak April 2018. Tim lantas menelusuri sejumlah informasi dan petunjuk. Hingga pada Jumat 20 Juli 2018, tim bergerak ke sejumlah lokasi.
"Tim KPK, kemudian mengamankan Kalapas WH (Wahid Husen) dan istrinya di kediamannya, di Bojongsoang sekira pukul 22.15 WIB," kata Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif di kantor KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Sabtu 21 Juli 2018.
Dari rumah Wahid, penyidik menyita dua unit mobil, yaitu Mitsubishi Triton Exceed warna hitam dan Mitubishi Pajero Dakkar warna hitam. Tim juga mengamankan sejumlah uang, berjumlah Rp20 Juta dan US$410. Di tempat terpisah, tim KPK lainnya menciduk PNS Lapas Sukamiskin, Hendri dari kediamannya di daerah Bandung Timur. Dari tangan Hendri, tim menyita uang Rp27 juta.
Barang bukti langsung dibawa tim ke kantor KPK di Jakarta. Sedangkan Wahid, dibawa ke Lapas Sukamiskin. Di Lapas tersebut, tim memasuki dua sel narapidana Fahmi Darmawansyah dan Andri Rahmat, narapidana pendamping Fahmi.
Dari kamar sel keduanya, tim mengamankan uang berikut catatan pendanaan. Tim KPK juga mengamankan sebuah dokumen pembelian dan pengiriman mobil Mitsubishi Triton, serta handphone sebagai peralatan komunikasi.
Selanjutnya, tim melakukan penggeledahan di kamar sel narapidana Charles Mesang, Fuad Amin, dan TB Chaeri Wardhana (Wawan). Namun, tim tidak menemukan Fuad dan Wawan di dalam selnya. KPK kemudian menyegel sel Wawan dan Fuad Amin.
Penyidik menggeledah sejumlah kamar narapidana kasus korupsi itu sekitar 30 menit. Penggeledahan dilanjutkan ke ruang kantor bagian perawatan dan ruang kepala lapas. Filling cabinet dan ruang kalapas disegel.
Empat orang lainnya, yakni Kalapas Sukamiskin, Wahid Husen, Fahmi Darmawansyah, Hendri Saputra, dan Andri Rahmat digelandang ke kantor KPK. Sedangkan di Jakarta, sekitar pukul 00.30 WIB, tim menuju kediaman Inneke Koesherawaty di daerah Menteng, dan mengamankannya ke kantor Komisi Antirasuah itu.
Penyidik KPK lantas menetapkan empat orang, yaitu Wahid Husen, Fahmi Darmawnsyah, Hendri Saputra, dan Andri Rahmat sebagai tersangka kasus dugaan suap atas pemberian fasilitas dan perizinan-perizinan di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Sementara itu, status Inneke masih sebagai saksi.
Sebagai pihak yang diduga penerima, Wahid Husen dan Hendry Saputra dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 atau Pasal 128 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sementara itu, sebagai terduga pemberi suap, Fahmi Darmawansyah dan Andri disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor juncto. Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Inneke dipulangkan, setelah diperiksa sekitar 20 jam. Sedangkan empat tersangka langsung ditahan di rumah tahanan berbeda, Sabtu malam, 21 Juli 2018. Kalapas Sukamiskin, Wahid Husein, ditahan di Rutan KPK yang berada di belakang kantor KPK. Sementara itu, PNS Lapas Sukamiskin, Hendri Saputra ditahan di Rutan Guntur, Andri Rahmat di tahahan di Rutan Polres Jaktim, dan Fahmi Darmawansyah ditahan di Polres Jakarta Pusat.
Berikutnya, tanpa sandi>>>
Tanpa sandi
Dalam kasus dugaan suap ini, KPK menduga jual beli fasilitas di Lapas Sukamiskin, Bandung, sudah berlangsung lama. Harganya sekitar Rp200 juta hingga Rp500 juta per kamar. Bahkan, dugaan praktik jual beli fasilitas itu dilakukan secara gamblang.
"KPK menemukan bukti-bukti, permintaan tersebut dilakukan baik langsung atau tidak langsung, bahkan tidak lagi menggunakan sandi atau kode-kode terselubung," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah melalui keterangan persnya, Minggu 22 Juli 2018.
Kalapas Sukamiskin, Wahid Husen disebut mengajukan permintaan-permintaan secara terang-terangan. Salah satunya, meminta mobil jenis tertentu. "WH meminta mobil jenis (Mitsubishi Strada) Triton Athlete warna putih dan bahkan sempat menawarkan agar dibeli di diler yang sudah ia kenal," ujar Febri.
Soal dugaan jual beli fasilitas itu, menurut Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Sri Puguh Utami, perlu diselidiki terlebih dahulu. Pihaknya telah menurunkan tim untuk menyelidiki kebenaran kabar tersebut.
Sri berharap, timnya mampu mengumpulkan data yang dapat mengungkap kebenaran kabar tersebut, agar tidak menjadi isu yang beredar tanpa bukti.
Dia berjanji, akan melakukan tindakan tegas kepada para kalapas yang melakukan jual beli fasilitas di dalam tahanan. "Ini harus kita buktikan dulu. Kami akan lakukan pendalaman, kalau benar ada itu luar biasa," kata Sri di Kemenkumham, Sabtu malam, 21 Juli 2018.
Sri mengakui kecolongan atas peristiwa tangkap tangan Kalapas Sukamiskin Bandung, Jawa Barat, Wahid Husen, oleh KPK. Atas kasus ini, ia menyampaikan permohonan maaf kepada Rakyat Indonesia, Presiden, dan Menteri Hukum dan HAM.
Sebenarnya, pihaknya tengah merencanakan revitalisasi sistem pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Namun, di tengah persiapan tersebut, terjadi kasus operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Kalapas Sukamiskin Wahid Husen itu.
Menurut anggota Komisi III DPR Nasir Djamil, tak ada alasan bagi Kalapas Sukamiskin, Wahid Husen menerima sogokan karena kesejahteraannya sudah baik. "Ya, sebenarnya tunjangan, remunerasi, kan sudah ada, sudah diberikan. Jadi, enggak ada alasan lagi mereka kurang uang, kurang penghasilan, atau pendapatan," kata Nasir kepada VIVA, Minggu.
Salah satu obat untuk memberantas suap, menurut Nasir, yaitu menghadirkan sistem teknologi untuk memperketat pengawasan di Lapas. Dia menilai, kurangnya teknologi membuat pengawasan di Lapas selama ini sulit.
“Selama teknologi ini enggak dihadirkan, tetap saja perbuatan yang sama akan terulang. Di samping integritas, kapasitas, kompetensi, harus diikuti dengan hadirnya teknologi," kata Nasir.
Pendapat senada dikemukakan aktivis dan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak. Dia menilai, perlu ada transparansi ke depan soal pengawasan lapas-lapas. "Pertama, audit lapas secara terbuka yang bisa juga diakses semua pihak melalui media, sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah, dalam hal ini Menkumham," kata Dahnil, Jakarta, Minggu 22 Juli 2018.
Menurut dia, lapas khusus narapidana kasus korupsi sebaiknya dihapuskan, karena ada fakta diskriminasi mencolok seperti yang terjadi di Sukamiskin. Narapidana yang memiliki dana besar, seperti napi koruptor punya peluang untuk membeli ruang private. Mereka lebih baik dibaurkan dalam tempat yang sama dengan napi kejahatan biasa.
"Sebab itu, agaknya setiap narapidana korupsi dipenjarakan satu sel bersama-sama dengan narapidana lain, maling ayam, pemerkosa, dan kejahatan-kejahatan lainnya," kata Dahnil.
Selanjutnya, napi plesiran>>>
Napi plesiran
Lapas Sukamiskin ditetapkan sebagai tempat khusus narapidana kasus-kasus korupsi oleh Kementerian Hukum dan HAM sejak 2012. Sebab, pemerintah menilai pembinaan kepada narapidana korupsi tak bisa disatukan dengan narapidana kejahatan umum.
Sejak itu, narapidana koruptor ditempatkan di lapas itu. Hingga Juli 2017, jumlah narapidana kasus korupsi yang menjalani masa hukuman di Lapas Klas 1 Sukamiskin diperkirakan berjumlah 403 orang.
Bukan kali ini saja, Lapas Sukamiskin menjadi sorotan lantaran fasilitas kepada narapidana korupsi. Berdasarkan laporan investigasi Majalah Tempo edisi 6-12 Februari 2017, terungkap terdapat saung-saung mewah untuk para napi koruptor di lapas tersebut. Saung-saung ini dibangun atas inisiatif para narapidana kasus korupsi. Kabarnya, sebagian besar saung dimiliki oleh napi korupsi kelas kakap.
Kepala Lapas Sukamiskin saat itu, Dedi Handoko mengakui keberadaan saung-saung itu. Saung didirikan, karena keterbatasan ruang kunjungan keluarga narapidana. Untuk mengantisipasi membeludaknya pengunjung, dialihkan kunjungan keluarga napi ke saung-saung tersebut. Dia tak masalah, jika saung dibongkar. Namun, harus ada tempat kunjungan yang representatif sebagai penggantinya.
Dia tidak ingin setelah saung-saung dibongkar, keluarga napi yang datang ke lapas untuk berkunjung, justru tidak memiliki tempat lantaran ruang kunjungan yang ada tidak memadai.
Soal anggapan saung itu mewah, menurut Dedi, sangat tergantung dari sudut pandang masing-masing orang. "Ada yang bilang mewah, tetapi yang lain biasa saja. Bagi saya biasa saja, mewah itu beda-beda (ukurannya) tergantung persepsi,” ujarnya dalam perbincangan dengan tvOne, Rabu lalu, 8 Februari 2017.
Tak hanya terkait saung. Lapas Sukamiskin juga pernah membesut perhatian publik terkait pemberian izin kepada narapidana kasus korupsi. Pada 2016 misalnya, tahanan kedapatan plesiran keluar tahanan. Dalam laporan investigasi Majalah Tempo, terbongkar mantan Wali Kota Palembang Romi Herton pernah berjalan ke luar lapas pada 29 Desember 2016.
Kemudian, narapidana kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Kementerian Kehutanan, Anggoro Widjojo, diketahui empat kali berkunjung ke Apartemen Gateway. Anggoro baru kembali ke Sukamiskin naik mobil pribadi yang dikemudikan seorang perempuan. Keluarnya Anggoro terekam dalam video dan foto.
Sedangkan mantan Bupati Bogor, Rachmat Yasin, yang tersangkut kasus suap tukar menukar lahan, terpergok ke rumah kontrakan di Kompleks Panorama Alam Parahyangan pada akhir Desember 2016.
Dalam kasus plesiran narapidana tersebut, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Kanwil Jawa Barat, Molyanto menyatakan, enam orang pengawal dari Lapas Sukamiskin terbukti lalai. Menurutnya, dari segi perizinan, izin sakit dan luar biasa yang diterbitkan petugas Lapas berdasarkan pemeriksaan tiga hari, dinyatakan tidak terdapat cacat administrasi.
"Terkait prosedur, semua sudah berdasarkan prosedur, baik verifikasi dokter lapas. Rencana rujukan ini ditujukan ke TPP, diverifikasi apakah benar, apakah rawat jalan atau rawat inap," ujar Molyanto di Lapas Klas I Sukamiskin Bandung Jawa Barat, Kamis lalu, 9 Februari 2016. (asp)