Selamat Tinggal Mobil dan Motor Terlaris
- VIVA.co.id/M. Ali. Wafa
VIVA – Dunia otomotif saat ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup, baik kaum urban maupun mereka yang tinggal di daerah. Berkat adanya skema kredit dengan cicilan yang enteng di kantong, masyarakat kini dengan mudah membeli atau mengganti kendaraan pribadi mereka.
Kehadiran para pedagang mobil bekas turut memicu pertumbuhan penjualan kendaraan. Alhasil, mengganti mobil atau sepeda motor kini hampir semudah menukar smartphone dengan model terbaru.
Dalam menentukan pilihan, umumnya masyarakat membutuhkan referensi. Hal itu bisa didapat dari brosur atau pengalaman pribadi pengguna. Namun, tidak sedikit yang memilih berdasarkan informasi dari media.
Selain kehadiran produk baru beserta ulasan keunggulannya, media juga kerap memberitakan soal produk atau merek terlaris. Hal ini menjadi acuan konsumen dalam menentukan pilihan, mobil atau motor mana yang mereka inginkan.
Dengan adanya informasi data penjualan, maka pembaca bisa mengetahui mana model yang paling diminati dan mana yang tidak. Sebab, hal itu berpengaruh pada harga jual kembali produk tersebut.
Biasanya, produk terlaris akan selalu diburu konsumen hingga beberapa tahun ke depan. Alhasil, harga jual kembalinya tidak banyak mengalami penurunan.
Penggawa diler mobil bekas Autoprime di WTC Mangga Dua, Jakarta, Latif mencontohkan, mobil bekas yang memiliki harga jual cukup stabil yakni Daihatsu Xenia dan Suzuki Ertiga.
Untuk model Xenia tahun 2015 bekas, saat ini dijual dengan banderol Rp175 -180 juta. Kata dia, harga itu termasuk stabil jika membeli di tahun 2016 awal, yang kisarannya Rp194 juta.
Namun, jika bicara model terlaris, Avanza bekas masih terus menjadi terfavorit masyarakat Tanah Air. Apalagi kini banyak pihak yang memburu Avanza untuk digunakan sebagai armada taksi berbasis aplikasi.
"Avanza masih ya, soalnya dia juga banyak digunakan kendaraan pribadi dan taksi online juga, cukup membuat harganya stabil," katanya.
Begitu pula dengan sepeda motor. Produk bekas jenis matik seperti Honda BeAT dan Scoopy yang laris manis penjualannya. Bagaimana tidak, selain terkenal punya harga stabil keduanya juga terkenal irit bahan bakar.
“Scoopy 2013 bisa sampai Rp10 juta, enggak ngerti juga kenapa harganya bisa stabil seperti BeAT. Waktu 2017 akhir, Scoopy yang saya jual pajaknya mati empat tahun, produksi 2013 laku Rp8,5 juta,” ujar Ahmad, pedagang motor bekas di kawasan Jakarta Barat.
***
Namun, kemudahan itu tampaknya akan segera berubah. Pemerintah melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha, meminta agen pemegang merek mobil dan sepeda motor untuk tidak lagi memberikan data penjualan ke asosiasi.
Komisioner dan juru bicara KPPU, Guntur Syahputra Saragih mengatakan, penyebaran data bisa menimbulkan pelanggaran persaingan usaha. Sebab, jika sesama pelaku usaha mengetahui data penjualan, akan terjadi oligopoli atau kondisi pasar yang penawaran barang dikuasai oleh beberapa perusahaan.
"Prinsipnya, pelanggaran terhadap pelaku usaha yang bersekongkol untuk mengatur produksi barang dan jasa itu dilarang, sesuai dengan UU nomor 5 tahun 1999 tentang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," ujarnya saat dihubungi VIVA.
Sehingga, kata Guntur, konsumen bisa berpotensi dirugikan, dan cara tersebut bisa tergolong masuk sebagai praktik kartel. Sebabnya, para pelaku usaha yang menawarkan barang maupun jasa, dan biarkan pasar yang menentukan.
"Aneh jika antara pelaku usaha saling memberikan data itu, karena kan masing-masing perusahaan harus bersaing, dan asosiasi bukan lembaga negara yang berwenang," jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, Jongkie Sugiarto mengatakan, pihaknya akan mengikuti aturan yang diterapkan pemerintah terkait hal pengumpulan data.
"Kami, Gaikindo akan ikut pada aturan pemerintah yang resmi," kata Jongkie saat dihubungi VIVA.
Hal senada diungkapkan Direktur Pemasaran PT Astra Honda Motor, Thomas Wijaya. Ia mengatakan, mereka menyerahkan seluruh kebijakan kepada Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI).
"Kami berkoordinasi dengan AISI, karena itu yang ditanyakan asosiasinya, bukan kami. Tergantung dari asosiasi sendiri, kami kan tergabung di asosiasi," ujar Thomas.
Meski demikian, ia tidak setuju jika data penjualan dihubungkan dengan kegiatan kartel. Menurutnya, itu adalah dua hal yang berbeda.
Kami melihat itu tidak ada hubungannya. Apapun yang dilakukan pemegang merek fokus kepada konsumen, memenuhi kebutuhan konsumen. Kalau bicara produk, desain, harga, itu kan sesuai dengan pasar yang ada dan kebutuhan konsumen saja," tuturnya.