Kematian Tak Lagi Misteri

Ilustrasi jenazah.
Sumber :
  • REUTERS/Yuriko Nakao

VIVA – Kematian selama ini diyakini menjadi rahasia Ilahi. Selain rezeki dan jodoh, tak ada yang bisa memastikan kapan kematian akan menjemput manusia. 

Keyakinan umum itu bakal runtuh dengan perkembangan teknologi terkini. Dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI), kini kematian seseorang bisa diperkirakan. Terbaru, sistem kecerdasan buatan Google, Medical Brain, mampu memprediksi kapan pasien menghembuskan nafas terakhir dalam 24 jam kemudian. 

Teknologi pemrediksi kematian itu telah dirancang oleh tim peneliti dari Universitas Stanford, Universitas Chicago, dan UC San Fransisco, Amerika Serikat. Dalam menganalisis kematian pasien, tim peneliti mengambil dua sampel rumah sakit. 

Algoritma Medical Brain itu memprediksi kapan pasien pada dua rumah sakit sampel di Amerika Serikat. Hasil dari Medical Brain ternyata lebih akurat dibanding sistem peringatan dini kematian dari rumah sakit sampel.

Dalam memakai teknologi Google tersebut, dilansir dari laman Express, Rabu 27 Juni 2018, peneliti mengombinasikan data pasien seperti umur, etnis, jenis kelamin dengan alasan dirawat di rumah sakit, informasi rumah sakit, diagnosis, keadaan vital saat itu, dan hasil laboratorium. Mereka mengklaim, dengan data tersebut bisa memprediksi kehidupan pasien selama 24 jam berikutnya. 

Dalam memprediksi kematian pasien, Medical Brain Google itu punya tingkat akurasi 95 persen pada rumah sakit pertama dan 93 persen pada rumah sakit kedua. 

Dalam salah satu studi prediksi, algoritma Medical Brain meramalkan pasien wanita dengan kanker payudara punya peluang hidup 19,9 persen di rumah sakit. Sedangkan sistem peringatan dini rumah sakit sampel, Early Warning Score cuma memberi tingkat harapan hidup sang pasien wanita tersebut kecil, 9,3 persen. Belakangan dalam dua pekan setelah kedua sistem prediksi keluar, sang pasien wanita tersebut meninggal. Artinya Medical Brain lebih akurat dibanding prediksi para dokter di rumah sakit tersebut. 

Tim peneliti menganalisis data tidak teridentifikasi dari 216.221 pasien dewasa dari dua rumah sakit tersebut. Teknologi kecerdasan buatan Google itu juga membaca lebih dari 46 miliar titik data terkait. Untuk kasus pasien wanita tersebut, Medical Brain menganalisis 175.639 data riwayat medis sang pasien.  

Selain memprediksi kapan pasien meninggal, teknologi kecerdasan Google itu juga bisa memprediksi berapa hari pasien bakal dirawat di rumah sakit. 

Indonesia-Turki Kerja Sama untuk 'Tangkis' Serangan Hacker

"Model ini mengungguli model tradisional, secara klinis menggunakan model prediktif di semua kasus. Kami percaya pendekatan ini bisa digunakan untuk membuat prediksi lebih akurat dan memiliki skala prediksi untuk berbagai skenario klinis," tulis peneliti dalam penelitian tersebut. 

Penelitian ini berfokus pada bagian dari fitur catatan kesehatan elektronik (Electronic Health Records atau EHR). Cara tersebut lebih baik dari mengambil semua data yang tersedia di sana seperti catatan teks bebas klinik, juga beberapa struktur dan semi-struktur data.

Tantangan Terbesar Penanganan Kanker di Indonesia, Ternyata Berasal dari Masyarakat Sendiri

Ilustrasi kecerdasan buatan

Menurut laporan, hasil Medical Brain sudah memuaskan, namun perusahaan digital raksasa itu tak puas dengan akurasi 95 persen. Google ingin Medical Brain makin akurat dan cepat dalam membaca dan mengevaluasi riwayat medis pasien.

Geger Mayat Wanita Tanpa Kepala di Jakut, Polisi Dalami Dugaan Korban Alami Kekerasan Seksual

Manfaat lainnya, Google juga ingin sistem kecerdasan buatan milik mereka bisa secara akurat memprediksi gejala dan penyakit.

Ambisi Google memprediksi kematian seseorang bukan kali ini saja. Anak perusahan Google, DeepMind juga mengembangkan teknologi kecerdasan buatan yang meramalkan kapan seseorang berakhir hidupnya. 

Hampir mirip dengan teknik pada Medical Brain, dikutip dari Sputniknews, awal Maret lalu DeepMind bekerja sama dengan Departemen Urusan Veteran Amerika Serikat. Kecerdasan buatan DeepMind menganalisis catatan medis sekitar 700 ribu veteran perang dari angkatan darat, dan berharap mesin pembelajaran (machine learning/ML) itu mampu secara akurat mengidentifikasi faktor risiko untuk pasien yang menderita acute kidney syndrome (AKI) atau pneumonia. 

Kecerdasan buatan DeepMind akan membantu dokter dan perawat untuk turun tangan lebih cepat dan mengurangi jumlah kesalahan medis yang disebabkan oleh apa yang disebut 'faktor manusia' atau menuju kematian. Namun pada akhirnya, para peneliti ini berharap, mereka bisa menerapkan pendekatan serupa terhadap indikator kemunduran pasien lainnya juga.

Google merupakan salah satu dari beberapa perusahaan yang ingin mengambil manfaat AI untuk menerjemahkan tantangan dalam bidang kesehatan, salah satu fungsinya yakni menentukan kapan kematian seseorang. 

Kecerdasan buatan memang makin menarik perusahaan tingkat dunia. Sebab teknologi ini punya potensi menjanjikan dalam menganalisis sejumlah besar data dalam waktu cepat, dibanding pengolahan data konvensional yang prosesnya butuh berjam-jam. 

Dalam kasus Medical Brain, sistem tersebut terbukti efektif dalam pengumpulan data dan analisis data. Hasilnya pun memuaskan. Dengan demikian, kerja sistem kecerdasan buatan bisa meningkatkan diagnosis dokter dalam merawat pasien.

Penggunaan kecerdasan buatan dari Medical Brain meski membawa terobosan namun juga mendapat sorotan dan kontroversi. 

Muncul pertanyaan apakah pasien perlu diizinkan untuk melihat dan mengetahui kapan dia bakal mati. Selain itu, hasil dari Medical Brain itu juga melahirkan kekhawatiran, kemungkinan sistem itu akan lebih mempriositaskan pasien tertentu demi meningkatkan rekor besih dan akurasi sistem kecerdasan buatan Google itu. 

Facebook Ikutan

Selain Google, dikutip dari Independent, Facebook juga masuk dalam deretan perusahaan yang masuk dalam sektor memprediksi matinya seseorang. 

Platform jejaring sosial ini terciduk mengajukan paten yang berjudul Predicting Life Changes. Paten ini digambarkan menjadi 'mesin prediksi pengubah kehidupan' yang memprediksi hal penting yang bakal terjadi pada kehidupan pengguna Facebook.

Dalam paten yang bernomor US20120016817A1 itu, untuk bisa tahu apa yang akan terjadi dalam hidupnya, Facebook memanfaatkan perubahan dan dinamika kehidupan pengguna misalnya status pernikahan, status hubungan, sampai status pekerjaan. 

"Sistem ini menggunakan serangkaian data latihan untuk menghasilkan algoritma prediksi menggunakan model mesin pembelajarn," demikian bunyi dokumen paten tersebut. 

Alasan Facebook mengembangkan algoritme pemprediksi kehidupan pengguna ini adalah untuk kepentingan periklanan. Laman Independent menuliskan, dengan mengetahui rinci kehidupan personal pengguna, Facebook bakal bisa memberikan iklan yang sangat relevan ke pengguna. 

Selain perusahaan teknologi dunia, beberapa universitas ternama juga tekun meneliti alat yang meningkatkan harapan hidup manusia. Beberapa alat yang dihasilkan sudah tersedia daring. 

Umumnya alat pemprediksi kematian yang dikembangkan universitas ternama menggunakan data di antaranya kesehatan, indeks massa tubuh, kebiasaan merokok dan minuman keras. 

Ilustrasi pasien

Dikutip dari Mother Nature Network, peneliti Universitas Pennsylvania Amerika Serikat telah mengembangkan tool yang bakal memperkirakan pada usia berapa, pengguna menghembuskan nafas terakhirnya. 

Pada tool universitas ini, pengguna diminta mengisi formulir daring yang berisi informasi personal, kondisi fisik dan usia, kondisi kehidupan meliputi pendidikan, status pernikahan sampai apakah sudah pensiun atau tidak.

Tool ini juga mengumpulkan data apakah pengguna menjalankan praktik kebugaran, apakah menderita diabetes dan bagaimana kondisi kesehatannya sampai kebiasaan merokok dan minum alkohol. 

Setelah mengisi formulir tersebut, sistem akan meringkas dan mengalkulasi harapan hidup seseorang. 

Aplikasi Kapan Mati

Ada lagi prediksi kematian seseorang dalam bentuk aplikasi mobile. Dikutip dari laman Thesun, pada iPhone telah muncul aplikasi Gero Lifespan yang memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memprediksi berapa lama pengguna akan hidup. 

Aplikasi ini menjanjikan analisis yang akurat dan bisa melawan penuaan. Aplikasi Gero Lifespan membaca data yang ada di iPhone dan perangkat sandang misalnya Apple Watch untuk bisa menilai kehidupan pengguna. 

Kemudian aplikasi akan memakai data kesehatan resmi untuk melihat kemungkinan harapan hidup pengguna dan mengubahnya tergantung keaktifan gaya hidup pengguna.

Ilustrasi pasien kanker prostat. 

Aplikasi ini membaca pola data pengguna dengan memakai data klinis lebih dari 100 ribu orang dari survei kesehatan umum 2003-2006 di Amerika Serikat. Aplikasi ini juga menerapkan mesin pembelajaran kecerdasan buatan untuk memprediksi kematian seseorang. 

"Kecerdasan buatan adalah alat yang kuat dalam pengenalan pola dan telah menunjukkan kinerja luar biasa mengidentifikasi objek visual, pengenalan ucapan dan bidang lainnya," jelas Direktur Sains Gero Lifespan, Peter Fedichev. 

Dalam pengalaman Fedichev, kecerdasan buatan bisa digunakan untuk lebih menyempurnakan model risiko dalam memprediksi kematian seseorang. 

Dia meyakini kombinasi teori penuaan dengan alat mesin pembelajaran modern bakal melahirkan model risiko kesehatan yang lebih baik. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya