Merayakan Lebaran di Negeri Orang
- facebook.com/pg/pengajian.birmingham
VIVA – Ramadan telah berakhir. Di pengujung bulan penuh berkah tadi malam, umat Muslim menyambut dengan gema takbir Allahu Akbar yang berkumandang selepas azan Isya dari pengeras suara di masjid, jalan-jalan, radio atau televisi.
Tak ada lagi tarawih, sahur dan buka puasa selama sebulan penuh hingga satu tahun ke depan. Dan malam terakhir bulan Ramadan terasa semarak di kota-kota hingga ke pelosok negeri di Indonesia. Beragam perayaan dilakukan mulai bertakbir di masjid, menyalakan kembang api hingga pawai keliling kampung atau kota.
Suasananya jelas berbeda dengan malam-malam biasa karena umat Muslim siap menyambut hari kemenangan setelah sebulan berpuasa. Dan Jumat pagi ini, 1 Syawal 1439 Hijriah, kaum Muslim berbondong-bondong ke masjid atau lapangan untuk salat Id.
Setelahnya, mereka bersilaturahmi dan saling bermaafan dengan keluarga, kerabat dan tetangga atau membagikan hadiah dan uang ke anak-anak. Tradisi itu telah menjamur dan turun-temurun, yang ternyata tak cuma ada di Indonesia.
Namun di sini, ada tradisi lain nan unik yang kerap dilakukan saat Idul Fitri atau Lebaran tiba. Misalnya di Solo, di mana Keraton Kesunanan Surakarta merayakan kirab gunungan ketupat oleh ratusan abdi dalem Karaton menuju Masjid Agung Solo.
Tak hanya itu, tiap daerah di Indonesia punya tradisi tak biasa di Hari Raya. Indonesia memang kaya akan tradisi saat Idul Fitri atau setelahnya mengingat sejarah masuknya Islam dibawa oleh sembilan wali dan dipengaruhi budaya setempat.
Tradisi Lebaran Negara di Dunia
Meski Indonesia kaya dengan tradisi dan budaya, tapi beberapa negara termasuk negara minoritas Muslim juga memiliki kebiasaan unik dalam merayakan Lebaran. Ada tradisi yang hampir serupa, seperti mengunjungi keluarga dan kerabat atau bagi-bagi angpao ke anak-anak saat Lebaran, tapi ada juga yang tak sama.
Dari berbagai sumber, berikut perayaan Idul Fitri di sejumlah negara di Asia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, Amerika dan Australia.
1. Asia
Di negara Asia dengan penduduk mayoritas Muslim, seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam tak asing dengan suara takbir yang bergema di malam Lebaran. Bahkan, menu Lebaran juga hampir sama, seperti ketupat, lontong dan lemang serta rendang. Begitu juga dengan tradisi mudik. Di Malaysia disebut dengan tradisi balik kampong dan ada juga bagi-bagi uang untuk anak-anak yang disebut duit raya.
Jika di Indonesia tiap daerah punya tradisi terkait budaya, di Malaysia juga ada perayaan unik seperti menyalakan beberapa lilin di luar rumah atau menghias rumah dengan dekorasi lampu yang disebut dengan Lampu Colok. Sementara di negara Asia Selatan seperti India meski Muslim sebagai minoritas namun perayaan Idul Fitri tetap meriah.
Pada malam sebelum Lebaran, yang dikenal dengan Chaand Raat, orang-orang akan mengunjungi bazar dan pergi berbelanja. Para wanita menghiasi tangan mereka dengan henna dan memakai pakaian tradisional. Chaand Raat juga diadakan di negara-negara Asia Selatan lainnya, seperti Sri Lanka, Bangladesh, Pakistan, dan Nepal.
Sementara pusat perayaan Lebaran di India digelar di New Delhi dan salat Id biasanya digelar di Jama Masjid. Setelah salat, mereka akan menyantap menu istimewa, berupa hidangan manis yang disebut Sheer Khurma dan sejenis bihun yang disebut Servai.
Sama seperti di India, Muslim di China juga merayakan Lebaran dengan meriah. Beberapa etnis minoritas terbesar seperti populasi Uyghur atau Hui yang kebanyakan Muslim akan merayakan Idul Fitri dengan makan bersama, lalu mengunjungi keluarga dan kerabat untuk bersilaturahmi.
Perayaan Lebaran paling terasa di Xinjiang dan Yunnan karena masyarakat di wilayah itu mayoritas Muslim. Di Yunnan, banyak orang Muslim mengunjungi makam Sayyid Ajjal Shams Al Din Omar, yang merupakan gubernur pertama Yunnan. Dia mengenalkan Islam dan mempraktikkan toleransi beragama. Kaum Muslim akan membersihkan makamnya dan makam leluhur lalu berkumpul untuk membaca doa.
2. Timur Tengah
Di negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Idul Fitri dirayakan dengan menghias tempat tinggal mereka menggunakan lampion atau lampu warna-warni yang membuat hunian semakin cantik. Perayaan Idul Fitri di Arab Saudi dipusatkan di Riyadh dan biasanya dimeriahkan dengan beragam acara, seperti parade, pertunjukan musik, pembacaan puisi, pegelaran teater dan lainnya.
Menu Lebaran di Arab Saudi sama dengan di beberapa negara Timur Tengah seperti Suriah dan Sudan, yakni daging domba dicampur nasi dan sayuran tradisional. Di Suriah, meski negaranya sedang berada dalam kondisi konflik, namun umat Muslim di sana tetap merayakan Idul Fitri dengan bersilaturahmi dengan keluarga dan tetangga.
Sementara di Maroko, setelah umat Muslim pulang dari masjid usai salat Id, mereka akan menikmati sarapan mewah dengan makanan tradisional, seperti Baghrir dan Melwi (pancake ala Maroko), kue kering dan teh mint. Di sini pun ada tradisi orang dewasa membagi-bagikan uang dan hadiah kepada anak-anak di Hari Raya.
Di Turki, Idul Fitri disebut sebagai Ramadan Bayram. Uniknya, di negara ini, hanya pria yang salat Id ke masjid, sedangkan kaum Hawa tetap di rumah. Setelah itu, mereka akan pergi ke pemakaman untuk menghiasi kuburan orang yang meninggal dengan bunga dan berdoa untuk mereka.
Tradisi lainnya adalah anak-anak mengunjungi tetangga, dan mencium tangan orang yang lebih tua lalu menempatkan di dahinya sambil mengucapkan salam Bayram. Sebagai imbalannya, anak-anak akan menerima hadiah uang, permen atau manisan.
3. Eropa
Minimnya Muslim di Eropa menyebabkan perayaan Lebaran di Inggris atau negara Eropa lainnya sudah tentu tak meriah. Di Inggris, Lebaran bukan hari libur nasional, sehingga kaum Muslim harus mencari informasi tentang perayaan Lebaran. Tapi biasanya, dipusatkan di masjid terbesar di London, yakni London Central Mosque. Sementara di Italia, salat Id akan digelar di lapangan terbuka. Salah satunya di tepi laut.
4. Afrika
Di Afrika Selatan, pada hari terakhir Ramadan, kaum Muslim akan berkumpul di Green Point, Cape Town. Mereka akan datang bersama keluarga dan kerabat sambil buka puasa bersama di akhir Ramadan. Keesokannya, mereka akan salat Id dan berkunjung ke rumah saudara.
Sementara di Tunisia, dikenal sebagai Eidul Fitrin, di mana mayoritas penduduk Tunisia menghabiskan Hari Kemenangan dengan menari dan bermain musik sambil makan biskuit istimewa, seperti Baklawa, dan kue seperti Kaak. Tentu saja, anak-anak juga mendapatkan uang dan mainan. Pada siang hari di hari pertama Idul Fitri, masyarakat Muslim pergi ke rumah orangtua mereka untuk berkumpul dengan keluarga dan makan siang.
5. Amerika
Merayakan Idul Fitri di negara Barat sedikit berbeda dari perayaan di seluruh negara Muslim. Jumlah Muslim yang minoritas, membuat sekolah dan perkantoran serta pemerintahan tidak libur. Jadi kebanyakan masyarakat Muslim di Amerika Serikat akan mengambil satu hari libur dari kerja atau sekolah untuk merayakan Idul Fitri. Namun pemerintah kota New York tahun ini telah menjadikan Hari Raya Idul Fitri sebagai hari libur sekolah.
Pada Idul Fitri hari pertama, umat Muslim akan salat Id dan mengucapkan Happy Eid atau Eid Mubarak kepada jemaah salat Id, keluarga, kerabat dan teman. Kemudian menghabiskan sisa hari dengan mengunjungi keluarga atau makan di restoran.
6. Australia
Sebagai negara yang menghormati berbagai budaya dan agama, Muslim dan non-Muslim berkumpul bersama dan merayakan Idul Fitri dalam Multicultural Eid Festival and Fair. Festival ini pertama kali dimulai di Sydney pada tahun 1994, yang dalam perkembangannya juga digelar di Melbourne dan Canberra.
Biasanya ketika festival ini berlangsung akan banyak bazar yang dimeriahkan ratusan kios yang dapat dikunjungi bersama dengan kerabat terdekat. Sebagian besar perusahaan di Australia pun memperbolehkan kaum Muslim untuk libur satu hari demi merayakan Idul Fitri.
Merayakan Lebaran di Luar Negeri
Bagi kaum Muslim Indonesia yang sudah terbiasa merayakan Lebaran di negeri sendiri akan merasa berbeda kala berlebaran di luar negeri, terutama di negara minoritas Muslim. Tak jarang mereka akan merasa kangen dengan suasana menjelang dan saat Idul Fitri datang. Namun bukan berarti mereka tak menikmatinya.
Beberapa warga negara Indonesia alias WNI yang tinggal sementara di luar negeri karena berbagai alasan, seperti kuliah, bekerja, jalan-jalan atau lainnya memiliki cerita yang menyenangkan hingga memilukan untuk didengar seputar perayaan Lebaran di negeri orang. Seperti Fitri Nur Arifenie yang sempat berlebaran di Korea Selatan.
Assistant Manager Market Research di Korea Trade-Investment Promotion Agency (Kotra) Jakarta ini memiliki pengalaman mengesankan merayakan Idul Fitri terpisah dengan jarak lebih dari 4.500 kilometer dari keluarganya di Gresik, Jawa Timur. Wanita berhijab yang akrab disapa Feni itu merasakan Lebaran di Negeri Ginseng sekitar tahun 2016, saat menuntaskan studi strata 2 (S2) jurusan Kebijakan Publik di KDI School of Public Policy and Management.
Bersama sekitar 30 mahasiswa Muslim lainnya di kampus yang terletak di Sejong City -sekitar 2 jam dari Ibu Kota Korea Selatan, Seoul-, Feni merayakan Lebaran di kampusnya. Meski tak ada gema takbir di malam Idul Fitri dan perayaan lain seperti di Tanah Air, namun merayakan Hari Raya bersama mahasiswa dari sejumlah negara Muslim terasa menyenangkan.
"Di luar dugaan, merayakan Lebaran di Korea Selatan cukup menyenangkan meskipun ada beberapa hal yang dirindukan karena tidak seperti merayakan di kampung sendiri. Misalnya suasana takbiran jelang Ramadan," katanya kepada VIVA.
Untuk menghadirkan suasana malam Idul Fitri, dia bersama teman sekamarnya dari Malaysia mendengarkan takbir melalui channel YouTube atau streaming radio melalui internet. Dan saat Idul Fitri tiba, Feni bersama teman-teman Muslim mendapat libur spesial. Namun untuk salat Id, mereka harus ke kota tetangga, Daejon dengan jarak tempuh sekitar 1 jam dari Sejong City lantaran di kota yang ditinggalinya belum punya komunitas Muslim, mengingat kota itu baru dibuka pemerintah Korea Selatan pada tahun 2014.
Untuk ke Islamic Daejon Center (IDC), Feni dan teman-temannya berkumpul pukul 05.00 di depan asrama karena salat dilaksanakan pukul 07.00. Mereka menggunakan bus untuk sampai ke sana dan ketika tiba, masjid yang didapati berbeda dari bayangan.
"Jangan bayangkan masjid di Daejeon sama seperti Indonesia. Sebab, itu adalah bangunan seperti ruko empat tingkat yang difungsikan untuk tempat beribadah," ujarnya.
Sementara pelaksanaan salat Id tak begitu berbeda dengan di Indonesia, yang kemudian dilanjutkan dengan ceramah dalam bahasa Inggris. Setelahnya, mereka bersilaturahmi dengan para jemaah dan kembali ke kampus.
Sekitar pukul 16.00 waktu setempat, mahasiswa Muslim di KDI School merayakan Lebaran dengan mahasiswa non-Muslim, dan beberapa profesor serta staf di salah satu aula yang disewakan pihak sekolah. Soal menu Lebaran, sangat bervariasi. Ada berbagai hidangan ringan tradisional dari negara masing-masing.
Perayaan Idul Fitri pun berupa ceramah ringan tentang Lebaran dari ustaz IDC yang diundang. Kemudian mereka menyalakan musik khas Timur Tengah, dilanjutkan dengan membentuk lingkaran untuk saling bermaafan, baik Muslim maupun non-Muslim. Setelah itu, acara diisi dengan makan dan berbincang-bincang hingga berakhir sekitar pukul 18.30 waktu setempat. Â
Lain di Korea Selatan, lain juga di Australia. Annisa Indri Lestari telah merasakan Lebaran di Australia dengan suasana yang berbeda dengan di negara asalnya selama dua tahun berturut-turut, 2013 dan 2014. Yang membuatnya berlebaran di Negeri Kanguru itu karena mengikuti suami tercinta kuliah dan bekerja di negara bagian Victoria, Melbourne.
Malam takbiran di sana tak gegap gempita seperti di Indonesia. Takbiran dimulai sekitar pukul 19.30 usai salat Isya. Takbir dikumandangkan oleh jemaah termasuk anak-anak untuk merasakan suasana gembira malam Hari Raya.
Sementara tak seperti di Indonesia yang mudah melakukan salat Id di mana-mana, di negeri minoritas Muslim ini, jadwal pelaksanaan salat Id dibagikan sepekan sebelum Lebaran oleh Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Malbourne dan komunitas Muslim Indonesia di sejumlah wilayah Melbourne. "Nah, kebetulan saya tinggalnya waktu itu di bagian tenggaranya Melbourne yang paling banyak komunitas Muslim Indonesia," ujar wanita dengan sapaan Nisa ini kepada VIVA.
Pelaksanaan salat Id pun dilakukan di aula salah satu sekolah umum. Setelah salat selesai, jemaah akan mendapatkan makanan ringan dan minuman khas Indonesia untuk dinikmati sambil bersilaturahmi dengan sesama Muslim.
Dan karena Nisa memiliki kerabat yang sudah menetap atau permanent resident di Australia, dia berkumpul di kediaman kerabatnya tersebut sambil menikmati masakan khas Lebaran ala Indonesia, seperti ketupat, opor, sambal goreng hati dan rendang. Dia pun kerap mengikuti kerabatnya ke open house para kerabat dan kolega yang dituakan.
Sama dengan di Korea Selatan, di Australia, Lebaran juga bukan hari libur. Mereka yang telah salat Id harus kembali melakukan aktivitas biasa, kecuali jika sudah mendapat izin dari perusahaannya. Meski demikian, kemeriahan masih terasa dengan adanya bazar yang digelar oleh komunitas negara lain, seperti Ied Festival yang diselenggarakan oleh komunitas Arab di Melbourne.
"Selain banyaknya pilihan kuliner Arab seperti kebab, gozlem dan borek, festival ini juga menyajikan wahana-wahana layaknya yang kita temui di theme park seperti ferris wheel dan game booth lainnya," kata Nisa, yang merayakan Lebaran tahun ini di Jakarta.
Berjarak belasan ribu kilometer dari Australia, perayaan Lebaran di Amerika Serikat pun terasa sepi jika dibanding di sini. Hal itu dirasakan Triwik Kurnia, seorang karyawan swasta di Jakarta ketika melanjutkan kuliah S2 di Ohio University, Amerika Serikat sekitar tahun 2014-2016. Dia merasakan Lebaran di Washington DC dan New York City.
Saat dia tinggal di Washington DC bersama dengan satu keluarga Indonesia, suasana Lebaran di Tanah Air cukup terasa. Sebab, ada menu-menu khas Lebaran ala Indonesia, seperti kue-kue kering, lontong dan opor ayam.
Meski Lebaran di AS bukan merupakan libur nasional saat itu, namun Triwik bisa menghadiri acara open house yang diadakan Kedutaan Besar RI (KBRI) setelah mengajukan izin. Sehingga dia bisa berinteraksi tidak hanya dengan komunitas Indonesia di Amerika Serikat tetapi juga dengan orang lintas negara. Di acara open house tersebut, orang Indonesia yang hadir pun berkesempatan foto dengan Duta Besar Indonesia untuk AS dan menikmati berbagai hidangan khas Lebaran, seperti opor ayam, sambal goreng hati, kerupuk dan lainnya. Dan meski AS merupakan negara minoritas Muslim, namun masyarakat AS sangat terbuka dan menghormati perbedaan.
"Mereka yang non-Muslim rata-rata tidak tahu ada perayaan Idul Fitri. Saat mereka tahu, mereka memberikan ucapan selamat. (Lebaran di AS) sangat multikultural karena dapat bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia," tutur Triwik yang tahun ini merayakan Lebaran di Solo. Â
Sementara perayaan Lebaran di Serbia, negara yang terletak di Eropa Timur wilayah Balkan ini pun senyap. Itu karena populasi Muslim di Serbia hanya sekitar 3 persen, sehingga tak terdengar kemeriahannya.
Famega Syavira Putri, traveler yang keliling 18 negara selama 4,5 bulan lewat jalan darat ini merasakan sedihnya berlebaran menjadi minoritas di negara pecahan Yugoslavia tersebut pada tahun 2014 silam. "Sebagai orang yang biasa berlebaran sebagai mayoritas, rasanya sedih berlebaran sebagai minoritas. Saat malam Lebaran, tak ada takbir, tak ada perayaan, hanya malam yang biasa-biasa saja di pusat kota," ujarnya.
Bahkan untuk mendapatkan informasi soal pelaksanaan salat Id di Masjid Islam-Aga di pusat kota Nis, karyawan swasta di Jakarta ini mengaku kesulitan. Dia harus bertanya ke pengurus masjid sebelum Lebaran tiba dengan membawa teman Serbia lantaran pengurus masjid tersebut tak bisa berbahasa Inggris.
Akhirnya diketahui bahwa masjid akan mengadakan salat Id pada pukul 08.00 waktu setempat. Namun pemilik panggilan Cya ini diminta hadir lebih awal sekitar pukul 07.00 untuk takbir bersama. "Pukul 07.00 pada hari Lebaran, saya berangkat ke masjid. Jalanan sungguh sepi, sepertinya orang-orang lain belum bangun. Sampai di masjid, sama sepinya. Saya sempat ragu. Dari luar tidak ada satu orangpun terlihat dan tidak ada suara takbir terdengar," katanya.
Namun ketika dia membuka pintu masjid berbentuk kotak itu, ternyata sudah ramai. Ada sekitar 50 laki-laki yang duduk rapi dan bertakbir tanpa menggunakan pengeras suara. Sementara sekitar 20 perempuan duduk di lantai dua masjid dalam balutan busana menutup aurat lengkap dengan jilbab, tanpa mengenakan mukena.
Setelah salat, ada ceramah dalam bahasa Serbia. Setelah selesai, jemaah perempuan saling bersalaman dan mencium pipi tiga kali: kanan, kiri, kanan. Setelahnya jemaah perempuan turun ke lantai satu dan bersalaman dengan jemaah laki-laki.
Acara dilanjutkan dengan berbincang sambil makan hidangan ringan yang telah disiapkan, seperti kurma, cokelat dan biskuit. Dan kurang dari 30 menit, para jemaah pulang. Selanjutnya, Cya melakukan rutinitas pagi hari seperti warga setempat, pergi ke toko roti untuk sarapan.
"Rasanya agak sedih juga. Tidak ada ketupat, tidak ada kue Lebaran, tidak ada keluarga, tanpa keramaian dan berakhirlah Lebaran saya di Serbia," ujar Cya, yang merayakan Lebaran kali ini bersama keluarganya di Magelang.
Meski tak sesepi perayaan Lebaran Cya di Serbia, Nenden Sekar Arum juga merasakan perayaan Lebaran yang biasa saja di Inggris tahun lalu saat kuliah S2 di Birmingham of University. Menurutnya, tak ada gema takbir pada malam hari terakhir Ramadan.
"Memang enggak terasa Lebaran. Tapi beberapa ada yang kumpul di masjid di Birmingham," ucapnya.
Esok harinya, dia bersama teman-teman Muslim salat di lapangan kampus sekitar pukul 08.00 waktu setempat. Dan ternyata, jemaah Muslim yang melaksanakan salat Id cukup banyak, sehingga lapangan tampak ramai. Selain jemaah dari Indonesia, kebanyakan umat Muslim yang datang untuk salat berasal dari Asia, yang tampil santun dalam balutan gamis dan membawa perlengkapan salat. Selesai salat, mereka makan dan bersilaturahmi.
"Makanannya kayak makanan Indonesia, ada yang bikin opor, ketupat, sehingga terasa kayak di Indonesia karena juga Lebaran sama orang Indonesia," kata Nenden.
Lebaran di negeri orang juga pernah dirasakan Tribhuana Kurniasari, Assistant E Commerce Manager perusahaan ternama di Jakarta. Sekitar tahun 2000-an, pemilik panggilan Nia ini merayakan Lebaran di Suriah. Saat itu, negara di Timur Tengah dengan ibukota Damaskus ini belum terlibat konflik berkepanjangan.
Dia merayakan Lebaran di sana lantaran ayahnya pegawai Kementerian Luar Negeri yang ditugaskan di KBRI di Suriah. Menurutnya, perayaan takbiran dan Lebaran kala itu sepi, meski mayoritas penduduknya Muslim.
"Saya takbiran di Kedutaan, orang sana enggak ada (perayaan Lebaran), biasa aja. Di sana enggak terasa lebarannya, enggak heboh. Dengar takbir itu kayak sedih," ujarnya.
Paginya, Nia salat Id dan makan bersama, lalu bersilaturahmi dengan orang Indonesia. Uniknya, ketupat yang biasa dibungkus janur saat di Indonesia, di Suriah terpaksa dibungkus alumunium foil lantaran tak ada janur dan daun pisang. Masakan dari santan pun harus diganti dengan susu karena tidak ada kelapa.
Dan sebagai negara mayoritas Muslim, Lebaran menjadi hari libur nasional di Suriah. Dan kebalikan dengan di Indonesia, perayaan Idul Adha di sana lebih ramai dibanding Idul Fitri. "Di sana Lebaran besarnya Idul Adha. (Kalau Idul Fitri), salat lalu pulang, enggak ada kunjungan keluarga," tutur Nia, mengakhiri cerita. Â