Nasib Sial Enggan Jauhi Facebook
- Hindustan Times
VIVA – Media sosial milik Mark Zuckerberg, Facebook, sepertinya masih dinaungi awan hitam. Setelah mega skandal pencurian data yang dipelopori konsultan politik Inggris, Cambridge Analytica, belum usai karena masih diinvestigasi pemerintah Inggris.
Kemudian, pengungkapan borok lain Facebook oleh bekas karyawannya, Sandy Parakilas, kini, jejaring sosial terbesar di dunia itu dilaporkan memberikan akses data penggunanya ke 60 produsen ponsel pintar atau smartphone dan tablet.
Nasib sial seperti ogah menjauh dari Facebook. Bahkan, menurut survei yang dilakukan Pew Research Center menyebutkan, kalau YouTube mendominasi penggunaan media sosial di kalangan remaja, saat popularitas Facebook memudar.
Survei ini menunjukkan sebanyak 85 persen remaja Amerika Serikat, berusia 13 hingga 17 tahun, menggunakan YouTube, dibandingkan dengan 72 persen untuk Instagram yang dimiliki Facebook, serta 69 persen untuk Snapchat.
Mengutip situs Mashable, meskipun Facebook memutuskan tidak membuka data pengguna kepada pihak ketiga sejak 2015, namun "mimpi buruk" Cambridge Analytica tetap menghantui para pengguna media sosial terbesar tersebut.
Sebab, menurut laporan terbaru, para produsen ponsel cerdas dan tablet bisa mengakses data pengguna Facebook. Hal ini, karena adanya kerja sama antara Facebook dengan 60 produsen perangkat besar seperti Apple, BlackBerry, dan Samsung.
Dengan kerja sama dalam bentuk kemitraan ini memungkinkan fitur Facebook untuk diintegrasikan ke dalam perangkat ponsel.
Integrasi semacam itu diperlukan pada saat smartphone tidak memiliki spesifikasi yang memadai untuk menjalankan aplikasi Facebook. Contohnya, pengguna BlackBerry yang nantinya bisa menghubungi teman di Facebook hanya melalui ponselnya.
Berikutnya, ibarat pasang kunci pintu>>>
Ibarat pasang kunci pintu
Menurut mantan Anggota Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat, Ashkan Soltani, beberapa produsen dapat mengambil data teman pengguna, sekalipun pengguna tidak memberi izin untuk membagikan informasi ke pihak luar.
Meski begitu, kabar baiknya adalah semenjak April 2018, Facebook telah mengakhiri kerja sama dengan 60 produsen tersebut.
"Ini seperti memasang kunci pintu. Di mana tukang kunci memberikan beberapa anak kunci kepada teman-temannya. Jadi, mereka bisa masuk dan merampas barang-barang yang ada di rumah tersebut, tanpa perlu izin dan sepengetahuan pemilik rumah," kata Soltani.
Pengungkapan ini berpotensi bertentangan dengan perjanjian Facebook dengan Komisi Perdagangan Federal (FTC) AS yang disepakati pada 2011. Perjanjian ini menyebutkan bahwa perusahaan harus memperoleh persetujuan pengguna, jika data mereka dibagikan di luar pengaturan privasi yang mereka pilih.
Menanggapi persoalan ini, pengamat keamanan siber dari CISSREC, Pratama Persadha mengatakan, modusnya mirip saat meminta izin akses data melalui kuis atau aplikasi games.
"Nah, kita enggak tahu smartphone ini, apakah mereka mau mengambil data kita atau enggak. Karena, secara umum, ketika mereka bisa melakukan akses terhadap akun kita, otomatis mereka bisa ambil. Sekarang tergantung dari kebijakan masing-masing perusahaan itu saja," kata dia kepada VIVA, Selasa 5 Juni 2018.
Pratama juga menjelaskan, proyek ambil data pengguna media sosial ini sangat berbahaya. Sebab, privasi setiap orang menjadi tidak berarti lagi. Artinya, semua pihak bisa mengintip atau masuk secara utuh ke dalam data seseorang.
Meski begitu, ia sanksi dengan perusahaan ternama seperti Apple, Samsung, dan BlackBerry, bisa melakukan hal seperti itu. Walaupun pada dasarnya tidak menutup kemungkinan adanya tindakan pengambilan data tersebut.
"Kalau benar mereka bisa mengambil dan memanfaatkannya untuk bisnis, ini adalah kejahatan sangat luar biasa," tegasnya.
Ia juga mengkritisi belum adanya aturan perlindungan data pribadi berbentuk undang-undang di Indonesia.
Selanjutnya, RUU Perlindungan Data Pribadi>>>
Sahkan RUU Perlindungan Data Pribadi
Hal ini, menurut Pratama, menjadi kelemahan tersendiri. Ia juga menyayangkan draf Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi masih mangkrak beberapa tahun belakangan.
Apalagi, di saat-saat yang dibutuhkan seperti adanya tukar data pengguna oleh perusahaan penyedia layanan yang terjadi saat ini.
"Sekarang, memang sudah ada Permenkominfo (Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi) tentang perlindungan data pribadi. Tetapi, itu saja tidak cukup. Kita ini mulai mengerti bahwa masyarakat Indonesia lemah sekali perlindungan privasinya. Kita butuh pengaturan privasi data masyarakat Indonesia," ungkap Pratama.
Untuk bisa melindungi privasi pengguna di Indonesia, mau tak mau, harus ada UU Perlindungan Data Pribadi. Tidak hanya itu saja.
Pratama juga menyoroti tudingan atau kesalahan selalu mengarah kepada masyarakat jika terdapat masalah mengenai data pribadinya bocor atau disalahgunakan pihak lain.
Menurutnya, tak elok hanya melimpahkan kesalahannya pada masyarakat, tetapi juga ada pihak-pihak terkait yang harus bertanggung jawab, seperti perusahaan penyedia layanan dan pemerintah, agar menjaga data pribadi masyarakat.
"Enggak boleh penyedia layanan memanfaatkan data bukan peruntukannya. Enggak boleh Facebook sewenang-wenang membagi jumlah akun-akun kepada orang tertentu. Hanya untuk Facebook saja," tuturnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel). Menurut Ketua Umum Mastel, Kristiono, Permenkominfo tak serta merta menjadi jalan keluar perlindungan data pribadi, karena dipandang tak cukup.
Apalagi di beberapa negara seperti Uni Eropa juga membuat peraturan perlindungan data pribadi dalam tingkat undang-undang.
Â
"Cuma kan level Permen enggak cukup. Karena Permen itu tidak ada sanksi, yang ada semua hanya administratif. Enggak mungkin cukup kayak Eropa, yang levelnya undang-undang. Indonesia harus punya yang setara dengan itu," jelas Kristiono.
Uni Eropa resmi memberlakukan Regulasi Perlindungan Data Umum (General Data Protection Regulation/GDPR) pada 25 Mei 2018.
Beleid ini fokus pada penerapan, karena perlindungan data personal di Benua Biru selama ini kuat diregulasi, namun lemah di penerapan. "Jadi, saling melengkapi dan menguatkan," kata Kristiono.
Sama-sama membantah
Sementara itu, dari sisi pelaku atau Facebook memberikan pembelaan bahwasanya mereka dari awal sudah mengendalikan perjanjian ini dengan ketat. Berbeda dengan apa yang terjadi pada Cambridge Analytica.
"Para mitra ini menandatangani perjanjian yang mencegah, agar informasi pengguna Facebook tidak disalahgunakan untuk tujuan lain selain untuk menciptakan kembali pengalaman menggunakan Facebook," jelas VP Mitra Produk Facebook, Ime Archibong.
Ia melanjutkan, mitra tidak dapat mengintegrasikan akun Facebook dengan perangkat, tanpa izin dari pengguna. Kemitraan dan tim teknik sudah menyetujui akan perjanjian tersebut.
Chief Executive Officer Apple Tim Cook membantah pemberitaan jika mereka mampu mengakses dan mencuri data pengguna Facebook.
Selain Apple, nama besar seperti Samsung, Microsoft dan BlackBerry, juga terseret dalam tudingan tersebut. Ia menegaskan bahwa isi pemberitaan tersebut sangat asing bagi dirinya, karena pihak Apple tidak pernah mendapatkan akses data sama sekali.
"Kami tidak pernah berada di bisnis data. Kami malah melakukan integrasi kemampuan pada membagikan sistem operasi seperti memudahkan sharing foto," kata Cook dilansir CNet.
Beberapa tahun terakhir, Apple menjadi pendukung keamanan privasi pengguna. Cook juga ikut bersuara untuk memperingatkan soal bahaya media sosial dan layanan online gratis lainnya.
Dalam interview pada 2014 lalu, Cook mengingatkan banyak orang untuk menanyakan cara sebuah perusahaan mendapatkan uang.
Jika dengan mengoleksi data pribadi pengguna, orang-orang harus mulai khawatir. "Anda harus tahu, apa yang terjadi dengan data tersebut. Perusahaan juga harus transparan mengenai hal itu," kata Cook. (asp)