Sengkarut Pernikahan Bocah SD dan Siswi SMP
- Pixabay
VIVA – Dua bocah ingusan itu, HEM (bocah lelaki usia 14) dan DEN (remaja SMP usia 16) bertemu saat berwisata di Pantai Gemah, Februari 2017 lalu. Di pantai itu, keduanya berkenalan dan tukar nomor telepon genggam. Kemudian keduanya menjalin hubungan asmara.
Mereka pacaran hingga kebablasan. HEM mengajak DEN berhubungan badan di rumah kosong milik orangtua HEM pada November 2017. Hubungan badan itu dilakukan berulang-ulang, terakhir pada Maret 2018 lalu.
Pada Jumat, 18 Mei 2018, DEN mengeluh sakit lalu dibawa keluarganya ke Pusat Kesehatan Masyarakat untuk diperiksa. Saat itu, DEN diketahui hamil dan kandungannya sudah berusia enam bulan.
Kisah asmara dua bocah yang kebablaan di Tulungagung, Jawa Timur ini mendadak jadi sorotan. Perilakunya, bikin banyak orang geleng-geleng kepala.
Terkait masalah ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun angkat bicara. Dikatakan Komisioner Retno Listyarti, KPAI menyayangkan peristiwa tersebut mengingat keduanya masih anak-anak.
"KPAI menyayangkan peristiwa hamilnya seorang anak yang masih di bawah umur oleh seorang anak yang juga masih berusia belia," kata Retno dalam pesan tertulis pada VIVA.
"Baik anak korban maupun anak pelaku, keduanya adalah korban salah asuh kedua orangtuanya. Hal tersebut terjadi karena lemahnya pengawasan orangtua masing-masing terhadap kedua anak tersebut," ujarnya menambahkan.
Tak Ada Pendidikan Seks
Retno Listyarti juga mengatakan, adanya 'kecelakaan' itu bukan cuma dampak lemahnya pengawasan orangtua terhadap kedua anak tersebut. Tapi, bisa juga karena ketiadaan pendidikan kesehatan reproduksi dari lingkungannya.
Belakangan para orang tua banyak yang mengabaikan pendidikan seks untuk buah hatinya. Sebagian dari mereka masih menganggap tabu, pemahaman tentang seks usia dini pada buah hatinya.
Padahal, anak perlu diberikan pendidikan seks di usia dini. Anak juga wajib diberi pemahaman akan bahaya kehamilan di usia yang sedemikian dini. Sebab, tingginya kematian ibu dan anak di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh ibu melahirkan yang berusia remaja. Â
"Hamil di usia yang sedemikian dini akan berdampak buruk bagi kesehatan ibu dan anak," kata Retno.
Dari segi fisik, ketika anak memasuki usia puber, organ reproduksinya memang sudah aktif. Tapi untuk menjalani kehamilan, harus benar-benar mencapai kematangan, baik dari aspek kesehatan, sosial, maupun psikologis. Ditambah lagi dalam kasus ini, anak tersebut hamil di luar nikah, yang semakin menambah berat risiko dari segi sosial.
"Ibu melahirkan yang masih remaja juga belum memiliki kematangan fisik maupun psikologis sehingga kehamilannya membahayakan diri dan nyawanya," ujarnya.
Bukan hanya karena lemahnya pendidikan seks dan salah asuh, jika sudah terlanjur, orang tua sebaiknya tidak buru-buru mengambil keputusan untuk menikahkan. Retno kembali menyarankan bahwa orangtua tetap harus memastikan kedua anak tersebut tetap memperoleh penjagaan yang baik dan tetap diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan.
"Kedua anak tersebut harus direhabilitasi psikologis dan mentalnya, agar keduanya menyadari kesalahannya dan mau memperbaiki diri. Mereka harus melanjutkan sekolah. Anak perempuan didampingi dan dijaga hingga melahirkan, dipastikan gizi dan kesehatannya diperhatikan secara khusus," kata Retno.
Tak hanya itu, pentingnya pendidikan seks untuk anak, bukan sekadar mencegah kehamilan. Tapi juga menyadarkan anak akan bahaya kehamilan di usia dini.
Dilansir dari laman PubMed, anak yang hamil di usia dini akan berhadapan dengan beberapa konsekuensi seperti berikut ini:
1. Kerugian sosial dan ekonomi
Kerugian sosial dan ekonomi berpotensi dialami oleh anak yang hamil di usia dini, sebagai imbas dari terhentinya pendidikan. Korelasinya kemudian, karier pun terbatas, yang kemudian terkait dengan status ekonomi.
2. Kematian
Dibandingkan pada wanita usia 20 hingga 35, wanita hamil di bawah usia 20 tahun berisiko kematian lebih besar dan penyakit lain seperti perdarahan saat kehamilan, toxemia, hemorrhage, dan anemia berat.
3. Dampak bagi kesehatan bayi
Kehamilan di usia dini berisiko melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah, yang dikaitkan dengan cedera saat kehamilan, serta ketidakmampuan fisik dan mental yang terganggu.
4. Efek psikologis
Diperlukan kematangan psikologis dan mental bagi laki-laki maupun perempuan untuk mengasuh bayi. Remaja di usia sangat belia dipastikan belum siap untuk memasuki jenjang kehidupan pernikahan maupun menjadi orangtua.
Tak hanya menyebabkan kehamilan, hubungan seks yang dilakukan di usia sangat muda, juga bisa berujung kanker. Orangtua, juga wajib memberikan pemahaman ini pada anak.
Ketika anak tidak mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi dari lingkungannya, lalu melakukan hubungan seks di usia belia, ini akan membahayakan kesehatan masa depannya. Sebab, bukan cuma berdampak pada kehamilan. Melakukan seks usia dini, juga bisa mengakibatkan kanker.
Ahli kandungan Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, dr. Boy Abidin, membenarkan bahaya seks dini ini.
"Melakukan hubungan seks di usia dini bisa menyebabkan kanker 10-20 tahun kemudian," kata dr. Boy.
Aktivitas bercinta disebut seks dini jika pelakunya masih berusia di bawah 18 tahun. Dalam hal ini, kalangan remaja yang kerap terjerat seks bebas. Untuk itulah, pentingnya orang tua memberikan pendidikan seks pada anak usia dini.
Mulailah bekali mereka pendidikan seks sedini mungkin. Beritahu padanya jangan terburu-buru melakukan seks di umur belia. Tunggu hingga waktu yang tepat. Yaitu, setelah menikah dan cukup umur.
Menikah Bukan Solusi Terbaik
Kedua orangtua DEN dan HEM sempat berunding. Mereka sepakat untuk menikahkan kedua anak mereka. Mereka mendatangi Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, namun ditolak dengan alasan belum cukup umur.
Menikahkan anak yang hamil akibat "kecelakaan" bukanlah solusi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Keputusan orangtua untuk menikahkan HEM dan DEN ditentang banyak pihak. Niat untuk menikahkan dua pasangan muda di bawah umur ini juga mengundang kontroversi.
Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kantor Kementerian Agama Tulungagung, Abdul Choliq, juga mengatakan bahwa sikap KUA menolak permohonan menikah HEM-DEN itu sudah tepat. "Sudah masyhur (umum) kalau di bawah umur KUA harus menolak, bunyi undang-undangnya begitu," katanya dihubungi VIVA.
Menanggapi itu, Retno membenarkan bahwa solusi bagi keduanya memang tidak dinikahkan. "Keduanya dipastikan belum matang dalam berumah tangga," kata Retno.
Psikolog Sani Budiantini juga memiliki pendapat yang sama, menikah bukan jadi jalan keluar untuk mereka para remaja yang telah melakukan hubungan seks. Sani mengatakan anak-anak di bawah umur secara psikis belum siap menikah, karenanya undang-undang menetapkan batas usia pernikahan.
"Usia yang dianjurkan di undang-undang dibuat karena ada maknanya secara psikis. Karena anak SMP yang menikah, secara psikologis belum matang. Mestinya, orang tua jangan mendukung melainkan memberi masukan terkait seperti apa itu perkawinan," ujar Sani kepada VIVA.
Menurut Sani, dampak psikis yang dirasakan bukan cuma bisa mengganggu studi dari keduanya. Tentu, ini menganggu kelancaran masa depannya juga. Selain itu, anak SMP cenderung belum memahami peran dan kewajiban suami istri yang layak ada di perkawinan.
"Pernikahan dini menyebabkan potensial masalah. Peranan suami istri belum dipahami, sehingga ini lebih hanya ke arah melegalkan hubungan seks aja," terangnya.
Dengan minimnya pengetahuan mengenai peran suami istri, bisa berdampak ke arah konflik yang muncul secara beragam. Nantinya, konflik ini bisa semakin memberatkan situasi perkawinan yang dibentuk terlalu dini.
"Paling mudah terjadi perceraian. Stres berkepanjangan, lalu jika tekanannya terjadi selama enam bulan, maka bisa memicu depresi. Ini tentu bisa membuat fungsi kematangan dan aktivitas menurun," terangnya.