Bola Panas Daftar Mubalig Kementerian Agama

Presiden Jokowi dan Ulama Jawa Tengah di Istana Negara, Rabu, 13 September 2017.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Agus Rahmat.

VIVA – Kementerian Agama Republik Indonesia merilis 200 daftar nama mubalig atau ustaz/ustazah yang bisa dijadikan rujukan masyarakat untuk mengisi kegiatan-kegiatan keagamaan pada Jumat, 18 Mei 2018.

Cerita Menag Nasaruddin Umar Disekolahkan Prabowo ke Kanada dan AS

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan pihaknya menerima banyak pertanyaan dari masyarakat terkait nama mubalig yang bisa mengisi kegiatan keagamaan mereka.

Menurutnya, 200 nama mubalig yang dirilis Kemenag ini merupakan tahap awal. Tidak sembarang mubalig untuk bisa direkomendasikan kepada masyarakat.

Viral! Ditanya Apakah Dinosaurus Benar Ada Pak Ustaz? Jawaban Singkat Padat UAS Menuai Tawa Netizen

"Ada tiga kriteria yang mesti dipenuhi, yakni mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, reputasi yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi," kata Lukman.

Ia menambahkan, daftar nama ini merupakan rilis awal yang dihimpun dari masukan tokoh agama, ormas keagamaan, dan tokoh masyarakat.

Kemenag Paparkan Keberhasilan Program REP MEQR Buat Kualitas Pendidikan Madrasah

Jumlah daftar ini akan terus bertambah seiring masukan dari berbagai pihak. Namun, daftar ini memicu pro dan kontra. Sebab, daftar ini bisa memicu kontroversi di masyarakat.

Ustaz Abdul Somad

Selain itu, ada kesan mubalig yang masuk adalah yang pro pemerintah. Sementara yang tidak masuk merupakan da'i yang tidak sejalan dengan pemerintah.

Ustaz Abdul Somad

Tak pelak, Kemenag menciptakan bola panas di tengah isu terorisme yang merebak. Dari 200 mubalig, nama Ustaz Abdul Somad (UAS), tidak termasuk dalam daftar penceramah yang direkomendasikan oleh Kemenag.

Dikonfirmasi terkait tidak masuknya nama UAS, Lukman mengaku publik tidak seharusnya menyalahkan kementerian yang ia pimpin.

"Saya tidak tahu. Itu kan masukan dari sejumlah (ormas Islam)," kata Lukman, usai buka puasa bersama di Istana Negara. Lukman menjelaskan, bagaimana prosesnya sehingga terjaring 200 mubalig tersebut.

Menurutnya, nama-nama tersebut merupakan hasil masukan dari sejumlah ormas Islam. Termasuk masjid-masjid besar dan tokoh ulama. Nama-nama mubalig itu diperlukan, karena banyak yang meminta. Baik dari instansi pemerintah hingga BUMN.

Karena, memasuki Bulan Suci Ramadan ini, mereka membutuhkan penceramah untuk mengisi pengajian. "Yang jelas, yang 200 itu betul-betul atas rekomendasi dari sejumlah kalangan," jelas mantan Wakil Ketua MPR RI itu.

Dari masukan ormas-ormas, masjid besar di mana para mubalig itu sempat menyampaikan ceramahnya, hingga masukan ulama, yang dijadikan rujukan oleh Kementerian Agama untuk mengeluarkan 200 nama mubalig sebagai rekomendasi.

Namun, Lukman menegaskan bukan berarti di luar 200 nama mubalig yang dirilis Kemenag itu tidak bagus atau tidak moderat. Ia akan memperbarui lagi nama-nama mubalig yang dianggap bagus.

Atau bahkan, apabila dari 200 nama itu ternyata ada yang justru tidak sesuai, maka Kemenag akan melakukan evaluasi atau dicoret dari daftar mubalig yang direkomendasikan.

"Kami melihat riwayat hidup yang bersangkutan (setelah diusulkan oleh ormas dan ulama). Lalu, kami konfirmasi ke sejumlah kalangan apakah benar nama-nama ini dan seterusnya," papar dia.

Jangan jadi polemik

Meski Kemenag merilis 200 mubalig untuk digunakan, ia menekankan sifatnya tidak wajib. Apabila ada yang menginginkan nama di luar itu, Kemenag tak mempersoalkan.

Karena, nama-nama mubalig itu dibuat hanya untuk memenuhi permintaan dari kementerian/lembaga serta BUMN, yang bingung mencari penceramah selama Ramadan ini.

"Jadi, di luar itu silakan. Nanti masyarakat akan menilai apakah isi ceramah itu betul-betul sesuai dengan esensi ajaran agama. Atau justru malah sebaliknya, ini yang harapannya juga masyarakat ikut bersama-sama memantau ini," jelas Lukman.

Pada kesempatan terpisah, Majelis Ulama Indonesia menegaskan, 200 daftar nama mubalig atau penceramah yang direkomendasikan Kemenag belum final. Jumlah nama-nama mubalig yang diperoleh dari masukan berbagai sumber itu masih bersifat dinamis dan bisa bertambah, seiring waktu.

Namun, MUI yakin bahwa masih banyak nama-nama ulama, kiai atau mubalig yang belum tercatat dan itu tidak berarti mubalig tersebut tidak memenuhi kriteria seperti yang dirilis Kemenag.

"Rekomendasi dari Kemenag tersebut, menurut hemat kami bukan menjadi sebuah keharusan yang harus diikuti, tetapi hanya sebuah pertimbangan yang sifatnya tidak mengikat," kata Wakil Ketua MUI, Zainut Tauhid Saadi kepada VIVA, Sabtu, 19 Mei 2018.

Ia juga menegaskan masyarakat memiliki hak untuk memilih penceramah agama yang sesuai dengan kebutuhan. Meski demikian, masyarakat tak ada salahnya mengacu kepada ketentuan yang digariskan Kemenag, agar ceramah agama tidak keluar dari substansinya.

Terlepas dari itu, lanjut Zainut, MUI meminta kepada masyarakat tidak menjadikan rekomendasi Kemenag sebagai polemik. Tetapi, sebaiknya disikapi dengan bijaksana, agar tidak menimbulkan kegaduhan yang justru bisa merusak suasana kekhusyuan Ramadan.

'Mubalig pelat merah'

Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof Dr KH Nasaruddin Umar, memilih berbaik sangka dengan kebijakan Kemenag yang merilis daftar 200 nama mubalig atau penceramah untuk kegiatan keagamaan masyarakat.

Meski tak bisa dipungkiri, kebijakan tersebut lahir karena banyak situasi yang mempengaruhinya. "Saya sementara berbaik sangka kepada Pak Menteri (Menag Lukman Hakim Saifuddin)," kata Nasaruddin Umar di tvOne, Sabtu 19 Mei 2018.

Namun, mantan Wakil Menteri Agama periode 2011-2014 ini memberikan dua catatan terhadap daftar 200 mubalig yang direkomendasikan Kemenag itu.

Pertama, jangan sampai muncul stigma nama-nama mubalig yang ada dalam daftar tersebut dengan sebutan 'mubalig pelat merah'.

Kedua, rekomendasi 200 nama mubalig ini jangan sampai diartikan sebagai pintu masuk sertifikasi bagi penceramah, layaknya produk halal. Sebab, wacana sertifikasi penceramah ini sempat menjadi polemik di tengah masyarakat.

Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar

"Catatan saya buat Kemenag, jangan sampai ada stigma ini. Karena kita bukan Malaysia, bukan Brunei Darussalam, kita Indonesia," ujar Nasaruddin. Di Malaysia dan Brunei, penceramah agama wajib disertifikasi.

Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini berharap, Kemenag dapat mengeliminir kekhawatiran publik atas terbitnya rekomendasi 200 nama mubalig ini.

Di sisi lain, Kemenag juga harus memikirkan dampak bagi mubalig atau ulama yang tidak masuk daftar ini. "Yang tidak masuk di sini, jangan-jangan masyarakat menduga mereka aliran keras. Jadi, ada dampak psikologisnya. Ini harus dieliminir, agar jangan sampai orang bertanya-tanya," paparnya.

Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, merasa risih dengan muculnya 200 daftar nama mubalig atau ustaz/ustazah yang ada di Indonesia. Dahnil diketahui masuk daftar tersebut.

"Terus terang saya merasa tidak layak dan tidak pantas di-list tersebut, karena di luaran itu banyak sekali yang punya kelayakan yang di luar sana yang tinggi ilmu dan akhlak," kata Dahnil dalam program Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne, Minggu, 20 Mei 2018.

Ia menjelaskan, dengan keluarnya daftar tersebut bisa memecah ulama yang ada karena banyak yang salah menafsirkan, di antaranya ada istilah da’i yang terekomendasi atau tidak.

"Termasuk perpecahan di antara mubalig, Da’i dan ulama. Karena yang berkembang di luar, yang masuk list yang pro pemerintah, yang tidak masuk yang kontra dengan pemerintah," ungkapnya.

Sertifikasi ulama

Dahnil juga menyebut jika Kemenag harus menjelaskan latar belakang mengenai dikeluarkan daftar mubalig yang terdaftar. "Karena nantinya kalau tidak dijelaskan, kami saling curiga. Akan menimbulkan fitnah. Ini sangat berbahaya sekali," jelas Dahnil.

Selain Dahnil, ada nama Ustaz Yusuf Mansur di dalam daftar 200 mubalig versi Kemenag. Ia mengaku bersyukur atas apresiasi yang diberikan Kemenag karena memasukkan namanya.

"Alhamdulilah, saya diakui yang 200 list itu. Tapi saya bukan mubalig, saya ini santri," ujar Yusuf dalam program Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne, Minggu 20 Mei 2018.

Yusuf mengatakan, dengan masuknya daftar nama tersebut itu merupakan ujian yang diberikan oleh Allah SWT. Sementara itu, dia juga mengomentari banyaknya mubalig yang tidak masuk daftar nama itu. Salah satu di antaranya Ustaz Abdul Somad.

"Luar biasa kecintaan umat kepada mubalignya masing-masing. Kalau saya tidak masuk ke daftar itu, saya juga bersyukur banyak yang masih ingat sama saya. Kalau pemerintah yang menangani ini, ya, harus bertanggung jawab," kata dia.

Yusuf menjelaskan, dengan munculnya daftar tersebut harusnya disikapi dengan kalimat yang positif agar tidak menyinggung satu sama lain. "Ini adalah izin Allah. Jika kita lihat dari 200 nama itu, saya tidak kenal semua," tutur Yusuf Mansur.

Akibat daftar 200 mubalig ini, Nasaruddin Umar sempat menyentil Kemenag kalau Indonesia bukanlah Malaysia dan Brunei Darussalam, di mana di kedua negara ini penceramah agama wajib disertifikasi.

Jika merunut ke belakang, tepatnya Februari tahun lalu. Kala itu, muncul wacana sertifikasi ulama dan mubalig. Pro dan kontra pun hadir, baik di kalangan ulama maupun di masyarakat.

Gagasan standardisasi ulama itu juga tengah diperbincangkan di Kemenag. Majelis Ulama Indonesia Makassar dan Ikatan Masjid Musala Indonesia Mutthahidah (IMMIM) menyatakan mendukung wacana tersebut.

Sementara organisasi masyarakat Front Pembela Islam cabang Sulawesi Selatan menolak wacana itu. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Zainut Tauhid Sa'adi, mengatakan, rencana sertifikasi ulama bisa dimaklumi sepanjang memenuhi persyaratan.

Salat Idul Adha di Pondok Pesantren tertua di Cirebon

Pertama, yaitu sertifikasi harus untuk meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi da'i, dari aspek materi maupun metodologi.

Ia menjelaskan, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, keharusan untuk meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi dalam bidang penguasaan materi dan metodologi dakwah mutlak diperlukan seorang da'i.

Hal itu agar benar-benar dapat menyampaikan pesan agama secara baik sehingga sesuai dengan kaidah. "Artinya ulama paham kondisi faktual masyarakat atau dengan bahasa lain tepat konteks dan zaman, serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat," kata dia.

Program sertifikasi dai tersebut, menurutnya, juga harus bersifat voluntary (sukarela) dan bukan mandatory (keharusan) yang memiliki konsekuensi hukum. Sebab, melaksanakan tugas dakwah itu hakekatnya menjadi hak dan kewajiban setiap orang yang memang menjadi perintah agama.

"Jadi kalau sertifikasi itu bersifat wajib (mandatory) akan sangat sulit dilaksanakan, juga dikhawatirkan terkesan ada intervensi atau pembatasan oleh pemerintah. Hal ini justru akan menjadi kontraproduktif bagi program tersebut," ujarnya.

Program sertifikasi dai harus dilaksanakan oleh masyarakat atau ormas Islam. Pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga akan mendorong partisipasi masyarakat ikut bertanggung jawab dalam menyiapkan kader-kader dakwah yang mumpuni, baik dari aspek materi maupun metodologi.

Namun, hingga kini, sertifikasi ulama dan mubalig bak angin lalu. Sejumlah negara sudah menerapkan aturan tersebut, di antaranya Mesir dan Singapura, selain Brunei Darussalam dan Malaysia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya