Setop Kekerasan di Dunia Pendidikan
- ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna
VIVA – Selamat Hari Pendidikan untuk kita semua. Baru lewat sehari, euforia Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas yang selalu kita peringati tiap 2 Mei, tentu masih hangat terasa.
Jika kita boleh bersepakat menjadikan Hardiknas sebagai momentum untuk berefleksi tentang dunia pendidikan di negeri tercinta, apa yang tergambar di benak Anda? Sudahkah pendidikan kita berhasil mencapai hakikat tujuannya? Apa sebenarnya tujuan pendidikan?
Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 menyebutkan, “Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Bicara soal refleksi dunia pendidikan di momentum Hardiknas, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti masih banyaknya angka kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengatakan, sangat memprihatinkan melihat maraknya kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan sekarang ini.
Ya, bukan sekali dua kali, kita semua dibuat tersentak oleh tragedi kekerasan yang terjadi di sekolah. Mulai dari pemberian sanksi yang tak manusiawi ketika siswa melanggar aturan, seperti hukuman jilat WC yang dialami siswa SD di Sumatera Utara, penamparan guru SMK terhadap siswa di Purwokerto, dan kasus penganiayaan orangtua siswa terhadap kepala SMP negeri di Pontianak, serta meninggalnya guru Budi di Sampang, Madura akibat pukulan muridnya.
“KPAI menyampaikan keprihatinan mendalam atas berbagai kasus kekerasan yang masih terjadi di sekolah. Mulai dari kasus kekerasan fisik, kekerasan psikis sampai kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah," kata Retno dalam keterangan tertulisnya, Rabu 2 Mei 2018.
Menurut Retno, dari data yang dimiliki KPAI, kekerasan di satuan pendidikan masih cukup tinggi. Baik itu kekerasan yang dilakukan guru pada siswa, siswa terhadap guru, maupun siswa terhadap siswa lainnya.
Data KPAI menyebutkan, sebanyak 84 persen siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah, 45 persen siswa laki-laki menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan, dan 40 persen siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya.
Sementara itu, 75 persen siswa mengaku pernah melakukan kekerasan di sekolah, 22 persen siswa perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan, dan 50 persen anak melaporkan mengalami perundungan (bullying) di sekolah.
Berikutnya, budaya kekerasan merajalela>>>
***
Budaya kekerasan merajalela
Contoh kasus kekerasan yang telah disebutkan, seperti hukum jilat WC, guru tampar murid, murid pukul guru, beserta data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), setidaknya cukup membuka mata bahwa dunia pendidikan kita darurat kekerasan. Hal yang lebih menampar adalah kenyataan bahwa di antara sederet praktik kekerasan itu telah menghilangkan nyawa seseorang.
Lantas, Anda mungkin bertanya-tanya sudah sebobrok inikah moral anak bangsa yang secara brutal melampiaskan dorongan amarahnya?
Mengapa, justru di tempat di mana seharusnya anak-anak dididik, ditempa menjadi insan berakhlak mulia, terdapat contoh yang menimbulkan ironi? Di mana akal sehat dan hati nurani, ketika berhadapan dengan situasi yang tak seirama dengan keinginan? Mengapa semudah itu melakukan tindak kekerasan?
Psikolog, sekaligus pendidik dan inisiator jaringan Semua Murid Semua Guru, Najelaa Shihab mengatakan, akar masalah dari kekerasan yang seolah menggurita di institusi pendidikan adalah budaya.
Masyarakat Indonesia terbiasa melakukan cara-cara kekerasan dalam mendisiplinkan anak. Artinya, praktik kekerasan ini telah ada sejak kurun waktu yang lama dan tanpa sadar diwariskan secara turun-temurun.
“Masalah utama di dunia pendidikan kita, itu budaya kekerasan. Pola disiplin yang dipakai guru di sekolah, bahkan orangtua di rumah, masih sering menggunakan kekerasan. Bahkan, anak tumbuh dengan terbiasa digunakan cara kekerasan, meski bukan kekerasan fisik, tapi kekerasan verbal seperti ancaman, itu masih umum sekali,” kata Najelaa kepada VIVA, beberapa waktu lalu.
Ketua KPAI Dr. Susanto, MA, memiliki pandangan yang sejalan dengan Najelaa, yaitu kekerasan terjadi karena mindset. Tak sedikit, guru yang menganggap bahwa pendekatan kekerasan sebagai cara efektif untuk menegakkan kedisiplinan. “Padahal, meski tujuannya baik, tetap dianggap sebagai pelanggaran,” ujar Susanto dalam pesan tertulis pada VIVA.
Ditegaskan Najelaa, masyarakat selama ini baru memandang kekerasan menjadi isu darurat ketika terdapat korban, didukung derasnya pemberitaan media. Padahal, kasus-kasus yang selama ini terkuak hanyalah puncak dari gunung es semata. Masih banyak kasus-kasus kekerasan di sekolah yang tidak terekspos media.
“Kalau saya melihat kekerasan itu, kayak ujungnya gunung es. Tetapi, kekerasan itu sebenarnya merupakan gejala dari masalah yang lebih mendasar. Di kelas itu anak-anak banyak yang tidak terlibat, bosan di dalam kelas, enggak tahu ngapain, enggak punya prestasi, itu semua memicu kekerasan,” kata Najelaa.
Dari sudut pandang guru, faktor kenyamanan dalam bekerja juga sepertinya perlu disadari akan mendorong perilaku yang bersahabat. Jika guru merasa stres dan tertekan dalam menjalankan tugasnya, bukan tidak mungkin akan berimbas dalam kegiatan mengajar dan mendidik siswanya.
“Di kelas, guru tekanannya luar biasa berat. Jadi, banyak guru yang secara emosional stres dan tidak bisa menghadapi murid-murid. Orangtua di rumah pun demikian. Jadi, kekerasan itu masalahnya kadang bukan dari kekerasan itu sendiri, melainkan pola pengasuhan dan pola pengajaran di kelas yang selama ini bermasalah,” tambah Najelaa.
Selanjutnya, nyaman mengajar, nyaman belajar>>>
***
Nyaman mengajar, nyaman belajar
Jika Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti tingginya angka kekerasan di dunia pendidikan Indonesia, dalam momen Hari Pendidikan Nasional, pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, tidak tampak membahas isu yang sama.
Pantauan VIVA dari laman resmi Kemdikbud, teks pidato peringatan Hardiknas 2018 yang disampaikan Muhadjir, mengambil tema ‘Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan’. Sempat dinyatakan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang dicita-citakan.
“KIta menyadari bahwa kondisi ideal pendidikan dan kebudayan nasional yang kita cita-citakan masih jauh dari jangkauan. Kita terus berusaha keras memperluas akses pendidikan yang berkualitas, terus-menerus mengalibrasi praktik pendidikan agar memiliki presisi atau ketelitian yang tinggi, sesuai dengan tuntutan masyarakat, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan pembangunan,” demikian mengutip isi pidato itu.
Meski begitu, membenahi situasi dunia pendidikan dalam upaya menekan angka kekerasan hingga tiada, KPAI mendorong pemerintah agar dapat menciptakan sekolah yang ramah anak.
"KPAI mendorong Kemen-PPPA, Kemdikbud, dan Kemenag RI untuk bersinergi menciptakan sekolah aman dan nyaman bagi warga sekolah melalui program SRA (Sekolah Ramah Anak). Percepatan SRA harus dilakukan seluruh kementerian/lembaga terkait, demi kepentingan terbaik bagi anak," ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti.
Baik siswa maupun guru harus sama-sama merasa nyaman di sekolah. Sekolah tak ubahnya seperti rumah yang menerima setiap individu yang menjadi anggota keluarganya secara terbuka dan saling memanusiakan hubungan.
“Murid dan guru di sekolah itu butuh bantuan. Selama ini, guru dan murid di sekolah itu sering menjadi korban, seringkali disalahkan, padahal mereka itu menanggung beban dan tanggung jawab yang sangat berat,” kata Psikolog, sekaligus pendidik dan inisiator jaringan Semua Murid Semua Guru, Najelaa Shihab.
Upaya perbaikan terhadap dunia pendidikan tak dapat hanya dibebankan pada guru saja, melainkan membutuhkan peran semua elemen dalam ekosistem.
“Pesan di Hari Pendidikan Nasional, ayo kita semua jadi murid dan guru, semua murid dan guru kita bantu, sehingga proses belajarnya jadi lebih optimal. Karena, enggak mungkin guru tahu semuanya, bisa mengatasi semuanya. Kalau pun gurunya sudah super keren, dia tetap butuh bantuan orangtua,” tambah Najelaa.
“Kalau kita semua mengambil peran dalam pendidikan, masalah-masalah seperti kekerasan, literasi, dan sebagainya, itu akan lebih cepat selesainya,” ujar Najelaa. (asp)