Bintang Michelin, Penghargaan Tertinggi di Dunia Kuliner
- Pexels/Terje Sollie
VIVA – "One Michelin star is good. Two is amazing. Three is only for the gods." Demikian kata Madame Mallory, tokoh dalam film The Hundred-Foot Journey yang diperankan oleh Helen Mirren.
Film yang dirilis pada tahun 2014 tersebut mengisahkan persaingan antara dua restoran di sebuah desa kecil di Prancis. Satu milik keluarga imigran dari India dan satu lagi restoran berbintang Michelin.
Perkataan Madame Mallory menggambarkan betapa berharga dan sulitnya mendapatkan bintang Michelin. Saking sulitnya sampai-sampai chef yang sukses mendapat tiga bintang disejajarkan dengan dewa. Tak heran jika bintang Michelin menjadi penghargaan tertinggi di dunia kuliner.
Banyak chef di dunia yang dibuat frustasi dan hampir gila lantaran mengejar bintang tersebut. Ada pula beberapa chef yang bunuh diri karena depresi dan terlalu terobsesi pada bintang Michelin.
Meski begitu, masih banyak yang belum tahu hal-hal mengenai bintang Michelin, mulai dari bagaimana sejarahnya hingga proses dan kriteria penilaiannya. Banyak juga yang tak tahu bahwa pihak yang memberikan bintang ini adalah perusahaan yang sama dengan perusahaan ban terkenal asal Prancis, Michelin.
Michelin Guide
Bintang Michelin menandakan kualitas tempat makan yang bagus. Dan restoran di seluruh dunia dengan bangga mempromosikan status bintang Michelin mereka. Celebrity chef, Gordon Ramsay menangis ketika Michelin Guide mencabut bintang dari restorannya di New York, Amerika Serikat dan menyebut makanan di sana "tidak menentu". Ramsay mengatakan, kehilangan bintang seperti kehilangan kekasih.
Yang membuat pembahasan tentang bintang Michelin semakin menarik adalah fakta bahwa pemberian bintang sebagai penanda kualitas restoran bergengsi ini dilakukan oleh sebuah perusahaan ban.
Michelin memiliki sejarah panjang dalam hal me-review atau meninjau restoran. Pada tahun 1900, perusahaan ban Michelin meluncurkan buku panduan pertamanya, yakni Michelin Guide untuk mendorong roadtrip di Prancis. Hal tersebut juga ditujukan agar semakin banyak orang yang mempunyai kendaraan bermotor agar penjualan ban meningkat. Pada tahun 1926, mereka mulai mengirimkan inspektur anonim untuk mengulas restoran. Demikian dikutip dari Trip Savy, Jumat, 30 Maret 2018.
Sampai hari ini, Michelin sepenuhnya bergantung pada staf mereka yang terdiri dari inspektur restoran anonim. Disebut anonim karena orang-orang ini tidak diketahui berasal dari Michelin. Mereka umumnya sangat bersemangat tentang makanan, memiliki mata yang baik untuk memperhatikan detail, dan memiliki memori rasa yang hebat untuk mengingat dan membandingkan jenis makanan. Mereka juga diharuskan menjadi 'bunglon', yang dapat berbaur dengan lingkungan di sekitar mereka agar dari luar orang melihat mereka sebagai konsumen biasa.
Setiap kali seorang inspektur anonim pergi ke restoran, mereka akan menulis sebuah memo lengkap tentang pengalaman bersantap mereka di restoran tersebut. Para inspektur lantas akan mendiskusikan hasil ulasan restoran mereka dan memutuskan restoran mana yang akan diberi bintang.
Dengan begitu, bintang Michelin sangat berbeda dengan situs-situs atau aplikasi restoran yang memberikan penilaian terhadap suatu restoran berdasarkan ulasan konsumen. Michelin tidak menggunakan ulasan konsumen dalam menentukan restoran yang masuk ke dalam buku Michelin Guide yang diperbaharui setiap tahun.
Michelin memberikan penghargaan 0 hingga 3 bintang berdasarkan tinjauan anonim. Para inspektur berkonsentrasi pada kualitas, penguasaan teknik, kepribadian dan konsistensi makanan dalam membuat ulasan. Mereka tidak melihat dekorasi interior, pengaturan meja, atau kualitas layanan sebuah restoran dalam pemberian bintang, melainkan fokus sepenuhnya pada makanan.
Satu bintang artinya tempat yang baik untuk berhenti di perjalanan Anda, menunjukkan restoran yang sangat bagus dalam kategorinya, menawarkan masakan yang disiapkan dengan standar tinggi yang konsisten. Dua bintang menandakan sebuah restoran yang layak untuk dikunjungi, menunjukkan masakan yang sangat baik dan hidangan yang dibuat dengan terampil dan dengan hati-hati dengan kualitas luar biasa. Dan tiga bintang berarti sebuah restoran yang bernilai perjalanan khusus, menunjukkan masakan yang luar biasa di mana pengunjung makan dengan sangat baik, seringkali luar biasa. Hidangan khas dieksekusi dengan tepat, menggunakan bahan superlatif.
Penuh Kontroversi
Bintang Michelin memang telah ada lebih dari 100 tahun. Namun perjalanan panjangnya tak lepas dari kontroversi. Sejumlah kritikus kuliner non-Prancis sempat mengklaim bahwa sistem penilaian Michelin tidak adil dan cenderung lebih menguntungkan standar kuliner Prancis, baik itu dalam soal gaya, teknik atau konsep fine dining yang formal.
Steven Kurutz dari The New York Times pernah mengatakan, lebih dari setengah restoran yang menerima satu atau dua bintang Michelin di New York bisa dibilang merupakan restoran Prancis. Co-owner The Four Seasons Restaurant di New York juga pernah mengatakan, "Michelin seharusnya ada di Prancis saja dan panduan mereka seharusnya hanya berlaku di Prancis."
Seorang chef peraih tiga bintang Michelin, Daniel Boulud, yang kini bintang restorannya turun menjadi dua juga pernah mengeluhkan bahwa sebagai seorang chef, ia bosan dengan gaya memasaknya yang begitu-begitu saja hanya demi mempertahankan bintang Michelin-nya.
"Saya tahu banyak restoran berbintang tiga Michelin tak pernah mengubah menu mereka untuk memiliki konsistensi yang sempurna. Pada dasarnya ini kuliner robotik. Mereka tak bisa mengubah apa-apa karena yang sudah mereka lakukan itu adalah formula kemenangannya. Padahal sebagai seorang chef, secara emosional saya pasti ingin memasak makanan lain yang berbeda dari yang pernah saya lakukan," ujarnya.
Meski banyak juru masak yang depresi dan bunuh diri lantaran terobsesi dengan bintang Michelin, salah satunya chef terkenal di Prancis, Bernard Loiseau yang menjadi inspirasi di balik Chef Auguste Gusteau di film kartun Ratatouille milik Pixar, banyak juga chef yang cuek dan sama sekali tidak menginginkan bintang tersebut. Sebut saja chef AS yang kini lebih terkenal sebagai presenter acara televisi, Anthony Bourdain.
"Satu-satunya orang yang sangat peduli pada bintang Michelin di New York adalah orang-orang Prancis. Kita bisa kok hidup dengan baik tanpa bintang itu," ujarnya dalam sebuah wawancara, dikutip dari laman Eater, Jumat, 30 Maret 2018.
Menariknya lagi, tak sedikit pula chef yang meminta Michelin untuk mencabut bintang yang sudah mereka terima. Pasalnya, penghargaan tersebut menciptakan ekspektasi pelanggan yang tidak mereka inginkan atau tekanan untuk mengeluarkan biaya lebih banyak untuk meningkatkan pelayanan dan dekorasi restoran mereka. Kebanyakan dari mereka yang meminta Michelin mencabut bintangnya merasa penghargaan itu telah memaksa mereka memasak makanan yang tidak mereka sukai dan membatasi kreativitas mereka.
Dalam hal ini, Michael Ellis, direktur internasional Michelin Guides pernah mengatakan, "Bintang tidak diberikan pada chef. Ini bukan seperti piala Oscar. Ini bukan penghargaan fisik. Ini sebenarnya adalah opini, sebuah pengakuan."
Meski begitu, tidak semua yang mendapatkan bintang Michelin merupakan restoran mewah ala fine dining. Tahun 2016 lalu, Michelin Guide menganugerahi satu bintang kepada dua kios penjual makanan pinggir jalan di Singapura, yaitu kios Hong Kong Soya Sauce Chicken Rice and Noodle and Hill Street Tai Hwa Pork Noodle. Mereka pun menjadi kios makanan pinggir jalan pertama di dunia yang dihadiahi bintang oleh Michelin. Singapura sendiri merupakan negara pertama di Asia Tenggara dan keempat di Asia yang menerima bintang Michelin.
"Bintang Michelin menandakan kios-kios ini telah sukses memberikan kualitas makanan yang tinggi, dalam hal bahan-bahan, cita rasa, teknik makanan, emosi umum yang mampu mereka taruh di dalam masakan mereka. Dan itu adalah sesuatu yang saya pikir sangat unik tentang Singapura," ucap Ellis.
Tak Ada di Indonesia
Di Indonesia sendiri, tak ada restoran lokal yang pernah dihadiahi bintang Michelin. Ada restoran berbintang satu Michelin asal Hong Kong yang buka cabang di Indonesia, yakni restoran dim sum, Tim Ho Wan. Ada juga beberapa chef yang restorannya pernah meraih bintang Michelin yang sempat datang dan memasak untuk restoran di Indonesia. Tapi belum ada restoran yang meraih bintang Michelin.
Ya, Indonesia tampaknya belum masuk ke dalam radar para pengulas anonim Michelin. Mungkin juga dikarenakan budaya fine dining di sini tidak sekuat di Eropa dan AS.
Petty Elliott, chef Tanah Air yang sudah melanglang buana ke banyak negara, dan terkenal dengan masakan Indonesia modernnya menilai, bintang Michelin tak akan diberikan pada restoran di Indonesia dalam waktu dekat. Itu dikarenakan Indonesia adalah negara yang luas, dan perkembangan pesat industri restoran hanya terlihat di beberapa kota saja, seperti Jakarta dan Bali. Sementara menurutnya, untuk membuat buku Michelin Guide untuk restoran Indonesia, pihak Michelin tak bisa hanya memasukkan beberapa kota saja.
"Mereka pun harus lihat Indonesia sudah siap apa belum. Kesiapan itu dilihat banyak banget. Di Indonesia yang paling dominan industri restoran yang bergerak cepat banget adalah Jakarta dan Bali karena Jakarta adalah pusat bisnis sedangkan Bali adalah pusat turis. Nah, karena kalau mau pakai nama Indonesia inspektur dari Michelin itu harus liat di Bandung ada apa aja atau yang lain ada apa. Itu gede banget," ujarnya saat ditemui VIVA baru-baru ini.
"Misalnya ada restoran bagus di Nihiwatu, tapi itu di Sumba. Apakah si inspektur ini akan ke Sumba? Itu karena negara kita itu gede banget. (Michelin Guide) harus mewakili negara. Dia enggak mungkin pilih Jakarta atau Bali saja. I don't know apakah kita sudah siap atau belum. Lihat secara garis besar sih siap, tapi kalau lihat dari detail kita belum siap," katanya menambahkan.
Ia bahkan melihat bahwa dunia kuliner saat ini juga sudah banyak berubah. Michelin pun kini punya kompetitor lain, yakni World Best dan Asia Best yang juga memberikan penghargaan terhadap restoran yang dinilai sebagai yang terbaik.
"Kuliner di dunia itu berubah karena tadinya formal banget, oriented ke makanan Prancis saja. Tapi dalam last 10 years itu berubah banget. Banyak restoran dari Peru, Brasil, Asia, Jepang yang menonjol di seluruh dunia. Kalau mau dilihat list dari World Best itu campur-campur. Restoran di Prancis enggak masuk malah, karena lebih menekankan bagaimana chef berkolaborasi dengan petani, atau bagaimana bisa menanam langsung, bahan-bahannya dipetik langsung sendiri. Itu lebih dapatkan nilai. Atau enggak bagaimana chef itu mempunyai filosofi tidak buang-buang makanan, misalnya brokoli yang biasanya kita pakai di atasnya tapi batangnya dibuang," ucap Petty.
Ia mengatakan, bahwa filosofi save food atau tidak membuang-buang makanan yang sekarang sedang dikampanyekan oleh banyak chef di dunia sebenarnya sudah dipakai di Indonesia sejak zaman nenek moyang kita.
"Kayak sapi semua dipakai karena itu di Indonesia kalau kita lihat di makanan tradisional kita kayak angkringan, ada babat, usus ayam. Jadi saya pikir banyak banget wisdom kita dari oma-oma kita yang kita sendiri lupa, dan sedangkan saat ini sedang digalakkan oleh chef-chef internasional." (mus)