Kematian Calista Bukti Kekerasan Anak Makin Signifikan
- Pisabay/ anemone123
VIVA – Bayi bernama Calista akhirnya tutup usia di RSUD Karawang, Minggu 25 Maret 2018. Tepat pukul 09.55 WIB, bayi perempuan usia 1,5 tahun itu meninggal setelah berhari-hari mengalami koma akibat dianiaya ibu kandung, Sinta (27 tahun).
Kondisi yang terus menurun menyebabkan bayi Calista tak tertolong. Selama masa perawatan, bayi Calista menggunakan alat bantu pernapasan. Penganiayaan yang dialami Calista, terjadi di Kampung Lolik, RT 002/012, Kelurahan Mekarjati, Kecamatan Karawang Barat, Karawang.
Kapolres Kerawang, AKBP Hendy F Kurniawan mengatakan, sang ibu melakukan penganiayaan terhadap bayinya sejak Februari hingga Maret 2018. Pukulan hingga cubitan di tangan, kaki, kepala dan punggung seringkali dilayangkan sang ibu pada Calista. Bukan hanya sekali, penganiayaan ini dilakukan Sinta berkelanjutan.
Terakhir, tersangka melakukan penganiayaan terhadap korban dengan mendorong hingga korban terjatuh dan kepala korban bagian belakang membentur rak piring.
Kemudian satu hari setelah itu korban mengalami kejang-kejang dan kondisi terakhir korban mengalami koma atau tidak sadarkan diri hingga meninggal dunia.
Usai mendapatkan laporan tersebut pada 19 Maret lalu, polisi langsung melakukan penyelidikan dan menangkap ibu korban. Dari pemeriksaan sementara, tersangka melakukan penganiayaan karena masalah ekonomi. Sinta, jadi mudah melampiaskan emosi dan kekesalan terhadap bayinya.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 80 (2) dan (4) UU RI Nomor 17/2016 tentang Perlindungan Anak ancaman hukuman 5 tahun penjara dan Pasal 351 (2) KUHP tentang Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Kisah Calista bukanlah kisah kekerasan anak pertama yang terjadi di Indonesia. Dari tahun ke tahun, kasus kekerasan anak di Indonesia justru semakin meningkat tajam. Bahkan yang lebih miris, kekerasan anak justru belakangan semakin banyak terjadi di ranah privat.
Sebelumnya, saat tahun 2018 belum genap satu bulan, kekerasan terhadap anak di dalam rumahnya sendiri sudah banyak terjadi. Sebelum kasus Calista, seorang anak diduga selama setahun disekap orang tua di Malang Jawa Timur dan seorang anak di Kalimantan Timur juga meninggal diduga mengalami kekerasan fisik oleh ayah tirinya.
Masih di awal tahun 2018, seorang anak usia 2 tahun juga diduga mengalami kekerasan yang dilakukan oleh tantenya di Tasikmalaya hingga meninggal. Tak hanya itu, masih di bulan Januari 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga menerima laporan adanya dugaan kekerasan yang dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya di kota Bogor.
Masalah kekerasan anak ini, menjadi masalah yang memprihatinkan. Karena sesungguhnya, anak merupakan anugerah dan amanah yang Maha Kuasa yang perlu diperlakukan sebaik-baiknya. Anak bukanlah aset atau barang yang bisa diperlakukan semena-mena. Oleh karenanya setiap anak perlu dilindungi harkat martabatnya sebagai manusia.
Tak Hanya di Ranah Privat
Di awal tahun 2018 ini, KPAI mencatat kenaikan yang signifikan terhadap kekerasan anak. Kekerasan pada anak bahkan bukan cuma terjadi di ranah privat atau dalam lingkungan keluarga saja. Kekerasan anak juga belakangan terjadi di sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Banyak faktor yang menyebabkan maraknya kasus kekerasan ini, mulai dari keluarga yang tak kondusif, pendidikan yang tak ramah anak hingga lingkungan yang permisif terhadap kekerasan.
"Kekerasan pada anak di tahun 2018 dari data yang kami peroleh itu naik. Bulan Maret 2018 belum habis, tapi sudah ada 16 anak yang meninggal. Ini kan sudah sesuatu banget," kata Wakil Ketua KPAI Komisioner Bidang Keluarga dan Pengasuhan, Rita Pranawati saat berbincang dengan VIVA, Selasa 27 Maret 2018.
Diakuinya, untuk masalah kekerasan anak, baik fisik maupun seksual banyak yang tidak dilaporkan pada KPAI. Yang banyak melaporkan justru mereka yang jadi korban. "Jumlah 16 meninggal itu tinggi di tiga bulan pertama 2018. Ini hetrik banget," katanya lagi.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Dr. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si, juga mengatakan, tingginya angka kekerasan anak di Indonesia bagai fenomena gunung es. Ini, lantaran peran masyarakat dalam kasus ini sangat minim. Pengungkapan jumlah laporan kekerasan hanya sekitar 2500-3000 kasus kekerasan pada anak per tahun.
"Tapi dugaan saya bisa puluhan ribu kasus per tahun. Namun tertutupi karena minimnya laporan terbuka dari masyarakat," kata pria yang akrab disapa Kak Seto pada VIVA.
Baik Kak Seto maupun Rita sepakat, faktor ekonomi dan konflik keluarga bisa menjadi alasan, semakin maraknya kekerasan terhadap anak.
"Jadi, anak dianggap sebagai objek untuk pelampiasan dan emosi. Karena anak tidak berdaya dan lemah," lanjut Kak Seto lagi.
Faktor psikis juga bisa. Karena pernikahan dini misalkan. Ketidaksiapan psikis, lalu tiba-tiba punya anak dan butuh finansial, bisa jadi akhirnya jalan pintas, melampiaskan emosi pada anak.
"Jangan ada pernikahan kalau belum siap. Kalaupun mau menikah, harus ada pemahaman dari undang-undang pernikahan tersebut mengenai bagaimana menghadapi suasana pernihakan lalu apa saja yang mesti dilakukan. Itu harus ada pendidikannya," katanya lagi.
Ditambahkan oleh Rita, faktor pemicu dari kekerasan anak juga bisa terjadi akibat efek dari pernikahan kedua. Sebab banyak dari mereka yang menikah lagi, belum bisa menerima paket plus keluarga bawaan baik dari suami atau istri.
Rita menggarisbawahi, keluarga yang berpisah, memiliki keluarga baru, memiliki anak di luar perkawinan, dan keluarga yang mengalami tekanan ekonomi dan sosial, berpotensi besar melakukan kekerasan terhadap anak.
Oleh karena itu, ia menegaskan, masyarakat sekitar juga perlu ikut memperhatikan kondisi sosial dan kesehatan mental orang tua di lingkungannya agar dapat melakukan upaya preventif jika ada tanda-tanda kekerasan. Ada juga faktor ketidaktahuan atau keliru.
"Pokoknya, rata-rata itu (kekerasan anak) karena pengaruh masalah harmoni keluarga."
Sebagian dari orang tua, juga masih bingung, dan tidak punya konsep bagaimana seharusnya mengasuh dan mendidik anak.
Tren Kekerasan
Tak hanya kekerasan fisik yang marak dialami anak. Di tahun 2018 ini, tren kekerasan anak juga justru bergeser. Terutama soal kasus kekerasan seksual. Yang tadinya anak perempuan sangat rawan mengalami kekerasan seks, di tahun 2018 ini, anak laki-laki justru jumlahnya meningkat mengalami kekerasan seksual.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan kekerasan seksual terhadap anak laki-laki mengalami peningkatan, terlihat dari beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah.
“Data sementara ada 223 anak laki-laki yang menjadi korban dengan berbagai modus. Kami akan terus mengawal kasus-kasus tersebut agar proses hukumnya berjalan dengan baik,” kata Susanto dikutip dari laman KPAI.
Susanto mengatakan beberapa kasus kekerasan seksual dengan korban anak laki-laki pernah terjadi di Aceh. Pelaku berusia 40 tahun membujuk 26 anak laki-laki melakukan hubungan seksual sesama jenis dengan modus mengajak bermain bersama.
Kasus serupa juga terjadi di Tangerang dengan korban 45 anak berusia tujuh tahun hingga 15 tahun dengan modus diajarkan ilmu memikat lawan jenis atau semar mesem. “Di Jambi, ada 80 anak yang belum semuanya disodomi, dengan modus melalui media sosial,” ujarnya.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak laki-laki juga terjadi di Purbalingga terhadap 13 anak pada 2016. Sedangkan di Banyumas, tujuh anak laki-laki menjadi korban kekerasan seksual setelah diperlihatkan video porno.
“Di Karanganyar ada laki-laki berusia 29 tahun yang melakukan kekerasan seksual kepada 17 anak berusia delapan tahun hingga 10 tahun. Pelaku mengaku pernah dicabuli seniornya sebelumnya,” ujarnya.
Kekerasan seksual terhadap anak laki-laki juga terjadi di Tapanuli Selatan dengan korban 42 anak oleh pelaku berusia 35 tahun. Meski angka kekerasa seks pada anak laki-laki tinggi, kekerasan seksual juga masih terjadi pada anak perempuan, seperti yang terjadi di Jombang terhadap 35 siswi yang dilakukan oknum guru.
Stop Kekerasan Anak
Rangkaian kekerasan dan kejahatan seksual yang menimpa anak jadi fenomena sosial yang akhirnya membuat orang tua harus lebih waspada menjaga buah hatinya. Sebab ancaman predator atau pelaku kekerasan fisik tidak pernah memilih korban. Anak laki-laki atau perempuan sama-sama rawan menjadi korban kejahatan seks maupun kekerasan.
Berdasar data pengaduan di KPAI, tahun lalu tercatat 168 kasus kekerasan seksual pada anak. Ada 48 anak yang menjadi korban kasus tersebut.
Kedekatan pelaku dengan korban menjadi hal yang harus diwaspadai anak dan orang tua. Banyak pula contoh kasus yang menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang sehari-hari dekat dengan si anak. Bukan hanya orang yang punya hubungan keluarga, tapi bisa juga guru. Misalnya kasus pencabulan di Tangerang yang menimpa 41 anak. Pencabulan itu dilakukan oleh seorang guru SD.
Salah satu cara terbaik untuk melindungi anak dari kekerasan seksual adalah memberikan pengertian yang jelas kepada anak bahwa alat kelamin sangat privat. Tidak boleh sembarangan disentuh orang lain. Yang boleh menyentuh adalah dia dan ibunya sendiri. Kalau ada orang lain yang menyentuh, harus lapor segera.
Kak Seto pun mengatakan, ada banyak cara yang harus dilakukan guna mencegah kekerasan pada anak, bukan hanya kekerasan seksual tapi juga mencegah kekerasan fisik anak, baik di rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Paling mudah, sikap mengontrol hal tersebut melalui masyarakat. Peran masyarakat harus diberdayakan agar bisa bersuara.
"Sampai sekarang, itu dianggap masih menjadi tanggung jawab orang tua. Padahal, masyarakat bisa mengontrolnya agar kasus kekerasan terkuak."
Atau, lanjut Kak Seto, masyarakat juga bisa menjadi tempat berkomunikasi."Misalnya, dia kekurangan finansial nah dengan tetangga yang ramah maka bisa memberi bantuan berupa beras dan sebagainya.
"Seringnya, orang tua stres dan bermasalah lalu anak mudah kena jadi sasaran. Tindak kejahatan bukan hanya niat tapi juga ada kesempatan setiap orang tua melakukan hal buruk.
"Intinya, sudah ada UU yang berbunyi siapapun mengetahui kekerasan pada anak dan diam saja dan tidak ditolong, maka terkena sanksi pidana minimal 5 th penjara."
Yang juga harus dilakukan untuk cegah kekerasan anak agar tak semakin marak kata Rita menambahkan, akan lebih baik, para orang tua diberi edukasi tentang bagaimana cara mengasuh yang penuh kesabaran dan penuh kasih sayang. Dan bukan cuma orang tua, anak pun juga perlu diberikan edukasi bagaimana menghindari kekerasan di lingkungannya.
Pemerintah pun juga harus terlibat, salah satunya dengan lebih banyak membuka pusat-pusat konsultasi untuk orang tua maupun anak, sebab di Indonesia masih sangat minim sekali pusat konsultasi.
"Peran tokoh-tokoh agama di sini juga diperlukan, agar manusia bisa lebih mendekatkan diri pada Tuhan, ini jadi ranah yang baik untuk mencegah kekerasan apapun."
Psikolog Anak dan Keluarga, Sani Budiantini, kepada VIVA juga menegaskan, masalah apapun di kehidupan, harus bisa dihadapi secara positif. Hal ini bisa dilatih dengan meningkatkan ketahanan mental melalui aktivitas yang juga positif.
"Meningkatkan ketahanan mental itu salah satunya bisa dengan hobi yang kita lakukan. Sederhana tapi di situ melatih kesabaran kita, di samping tetap berdialog dengan orang terdekat," paparnya.
Menata hidup dengan lebih baik, bisa berdampak dengan diri yang semakin positif. Selain itu, Sani juga menyarankan untuk kembali ke Yang Maha Kuasa jika memang masalah hidup yang dirasakan terlalu berat.
"Enggak mesti ke psikolog kalau memang budgetnya minim. Cukup dengan management atau menata diri sendiri di kehidupan, ngobrol dengan keluarga, melakukan hobi, kembali dekat ke Tuhan, semua dukungan itu bisa memacu pemikiran lebih baik dan hidup terasa ringan."