Kisruh Cadar, Ketika Kampus Takut Ancaman Radikal
- Repro Instagram
VIVA – Menguatnya isu radikalisme dan sektarian ternyata membuat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ikut merasa resah. Kampus yang terkenal dengan budaya membaca dan diskusi yang kuat ini secara mengagetkan mencuat karena kontroversi pelarangan cadar di kampusnya.
41 mahasiswi bercadar di Universitas Islam Negeri atau UIN Yogyakarta terancam dikeluarkan dari kampus. Rektor UIN Yogyakarta Yudian Wahyudi dengan tegas akan memecat mereka jika menolak melepaskan cadar saat beraktivitas di area kampus.
Yudian beralasan, keberadaan mahasiswi bercadar di UIN dinilai telah memicu dampak negatif, seperti masuknya atribut organisasi terlarang, Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI ke kampus. Padahal organisasi ini telah resmi dibubarkan pemerintah. Ia juga beranggapan, pemakaian cadar membuat kampus tak bisa mengidentifikasi mahasiswi dengan tegas sehingga mereka bisa memanipulasi.
"Apalagi biasanya anak-anak yang bercadar itu melupakan orang tua mereka, jadi pihak kampus juga akan berkomunikasi dengan orang tua mereka," ujar Yudian.
Berdasarkan itu, pihak UIN Yogya merasa sudah memiliki alasan sangat kuat untuk melarang keras mahasiswi memakai cadar di dalam lingkungan kampus. Yudian beranggapan, menciptakan iklim Islam moderat di kampusnya jauh lebih penting. Ia seolah menafikan bahwa memilih cara berpakaian adalah bagian dari keyakinan beragama yang menjadi hak dasar setiap Muslim, dan itu adalah bagian dari hak asasi.
Keputusan kampus dipertanyakan oleh Umi Kalsum, salah seorang mahasiswi yang mengenakan cadar di kampus tersebut. Umi memprotes kebijakan rektor. Ia tak setuju dengan pelarangan itu karena memutuskan untuk bercadar adalah haknya.
"Silakan kalau mendata jumlah mahasiswi yang bercadar, namun kalau melarang saya tak setuju. Kami kan punya hak," kata Umi di Yogyakarta, Senin 5 Maret 2018.
Umi menduga, pelarangan itu terjadi karena munculnya isu radikalisme di kampus yang terletak di jalan Laksda Adisutipto tersebut. Ia mengaku hingga saat ini memang belum ada pendataan dari pihak kampus, namun ia akan datang jika dipanggil oleh pihak kampus. "Seandainya disuruh copot, saya akan tanya dulu alasannya, karena saya punya alasan sendiri mengapa bercadar," tuturnya.
HAM vs Ancaman Radikalisme
Keputusan Yudian mendapat respons keras dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Lembaga ini menyayangkan stigma yang disampaikan oleh UIN Yogya sebagai praduga yang tidak berdasar. LBH Yogya mengingatkan bahwa kebijakan yang diambil oleh UIN Yogya berpotensi melanggar HAM dan konstitusi Indonesia, UUD 45 pasal 28E ayat 1 dan 2 yang jelas mengatur kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
"Apalagi Indonesia juga sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), di mana pada pasal 18 dinyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama," demikian LBH Yogyakarta melalui rilisnya yang diterima VIVA, Selasa, 6 Maret 2018.
Senada dengan LBH Yogya, Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi juga menilai memakai cadar merupakan hak setiap orang dan sebaiknya tak diganggu gugat. "Dia mau memakai, mau yang lain, silakan. Itu hak orang," ujar Menristek Dikti Mohammad Nasir di Istana Negara, Senin, 5 Maret 2018.
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, juga ikut berkomentar. Ia mempertanyakan keputusan Rektor UIN dan menilai pelarangan cadar itu justru menunjukkan jalan pikiran yang buntu, memiliki otak sempit dan berbahaya. Sebab, meski tak ada aturan main, lembaga tetap tak boleh merampas hak asasi orang.
"Ini otak-otak sempit kayak gini berbahaya. Karena dia datang membangun persepsi sendiri yang negatif tentang nilai-nilai agama. Itu yang salah," ujar Fahri di gedung DPR, 6 Maret 2018.
Fahri juga membandingkan kondisi sekarang dengan kondisi zaman Orde Baru. "Di zaman Pak Harto saja teman saya bercadar enggak ada masalah, kok malah di zaman kebebasan kayak gini orang bercadar ditakut-takuti," ujarnya.
Senada dengan Fahri, politisi Partai Gerindra Sodik Mudjahid juga mempertanyakan keputusan Rektor UIN. Ia meminta agar kampus tak ikut terseret isu radikalisme. Ia bertanya balik soal tuduhan rektor UIN Yogya tentang ancaman radikalisme yang mengintai di balik keputusan memakai cadar.
"Radikal apanya? Mereka lebih konsen dengan aturan agamanya. Tetaplah bangun iklim atas dasar budaya Pancasila, budaya akademik, budaya Islami. Adakah cadar melanggar ketiga norma tersebut? Mana yang melanggar bercadar atau berpakaian minim?" kata Sodik.
Berbeda dengan dua politisi yang berkomentar keras, Komisioner Komnas Perempuan Masruchah, meminta agar Rektor UIN Sunan Kalijaga jernih dalam mengambil keputusan. Sebab, jika dikaitkan dengan hak berekspresi, dan hak atas pilihan berpakaian, maka memakai cadar adalah hak asasi, dan seharusnya rektor tak berhak memberlakukan larangan tersebut.
"Pilihan baju, apa pun bentuknya yang dimaknai sebagai simbol Muslim tidak boleh dilarang. Banyak yang memutuskan bercadar untuk menghindari fitnah, meski itu juga masih debatable, tapi itu adalah hak dan pilihan mereka," ujar Masruchah kepada VIVA yang menghubunginya melalui sambungan telepon, Selasa, 6 Maret 2018.
Menurut Masruchah, ini bukan hanya tentang Yogya, tapi juga tentang Indonesia dan dunia. "Islam adalah agama yang tersebar di seluruh dunia, jadi memang perlu kehati-hatian sebelum mengambil keputusan," ujarnya.
Namun Yudian bergeming. Melalui surat resmi dengan nomor B-1031/Un.02/R/AK.00.3/02/2018, Yudian mengukuhkan keputusannya. Ia mengaku tak ada yang salah dengan keputusannya karena ia sedang membentengi mahasiswinya dari ajaran yang radikal dan intoleran. Apalagi, menurutnya, sejak awal sudah ada konsensus dengan mahasiswa baru mengenai hal tersebut.
Selain itu, Yudian beralasan, pemecatan tak akan dilakukan dengan serta merta. Ada tujuh tahap pembinaan yang akan diberlakukan bagi anak-anak muda yang sedang bersemangat belajar agama tersebut.
Yudian pasang badan, ia siap dipecat jika keputusannya dianggap salah. "Ada konsensus. Meski dilanggar, kami sudah memberikan toleransi dengan tujuh tahap pembinaan kepada yang bersangkutan. Namun kalau masih nekat ya silakan keluar dari kampus. Toh, kalau kebijakan itu salah, saya siap dipecat," ujarnya, tegas.
Ia mengaku melakukan itu untuk menegakkan Islam yang moderat atau Islam Nusantara di kampus negeri. Apalagi menurutnya, cadar adalah produk budaya, bukan produk syariah.
"Islam moderat itu Islam yang mengakui konsensus bersama yaitu Islam yang mengakui UUD 1945, Pancasila, Kebhinnekaan dan NKRI," katanya.
Meski mengingatkan soal hak asasi, namun Menristek Dikti Muhammad Nasir mengaku tak akan ikut campur atas kebijakan yang diambil oleh UIN Yogyakarta. Ia berjanji tak akan melakukan intervensi agar keputusan itu dibatalkan. Nasir juga meyakini, cadar adalah persoalan budaya, bukan agama dan memilih mempercayakan sepenuhnya keputusan pada kampus UIN Yogya. "Saya serahkan rektor urusan seperti itu," ujar Nasir.
Begitu pula dengan Masruchah. Komisioner Komnas Perempuan ini juga memahami bahwa kampus memiliki aturan sendiri. "Jika memang sudah menjadi konsensus di awal dan ternyata tetap dilakukan, artinya terjadi pelanggaran aturan. Ini kan prinsipnya saling menghargai aturan yang sudah disepakati," ujar Masruchah.
Ia juga menganalogikan, jika kesepakatan antara mahasiswa dan kampus tidak boleh memakai sandal jepit, meski tidak ada yang salah dengan memakai sandal jepit namun kampus melarangnya, maka mahasiswa wajib menaati aturan tersebut. Dan jika mahasiswa tetap memakai sandal jepit ke kampus, maka kampus berhak menetapkan sanksi.
"Jadi memang sejak awal sudah harus clear antara kampus dan mahasiswa mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam lingkungan kampus. Sehingga jika terjadi pelanggaran, akan jelas siapa yang tidak menghargai kesepakatan," ujarnya.
Kisruh di Yogya, Damai di Semarang
Kisruh larangan bercadar yang mengguncang UIN Yogyakarta ternyata tidak terjadi di Semarang. Tanpa menimbulkan kontroversi, ternyata larangan bercadar telah lama diberlakukan di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Bahkan sejak UIN masih bernama IAIN.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Walisongo Suparman Syukur mengatakan, meski tak tertuang dalam aturan detail, namun mahasiswi tidak dibolehkan bercadar karena dianggap berlebihan. Civitas Akademika UIN juga telah lama menganggap bahwa cadar adalah produk budaya, bukan aturan syariah. Karena aturan syariah menyebutkan bahwa busana perempuan diizinkan memperlihatkan wajah dan telapak tangan.
"Karena produk budaya, jadi tidak semuanya memakai. Di Timur Tengah hanya satu-dua yang memakai, seperti Mesir, Dubai, Mekah, Madinah juga seperti itu. Iran juga ada yang pakai, ada yang tidak," katanya. Karena itu, ujar Suparman, UIN Semarang terus berkomitmen memberlakukan aturan yang sifatnya wasathiyah (moderat) dan toleran, termasuk tidak memperkenankan mahasiswinya memakai cadar.
Ia menganalogikan memakai cadar seperti memakai sarung. "Seperti pakai sarung. Itu juga produk budaya, tapi kalau ke UIN (kuliah) jangan pakai sarung juga. Begitu juga cadar, kalau masuk jangan dipakai. Kalau di luar silakan," ujarnya.
UIN Semarang mengaku sempat memiliki mahasiswa yang bercadar. Namun mereka memilih melakukan pendekatan yang persuasif, dan tidak menerapkan sanksi. Strategi itu berhasil, karena kondisi di kampus kini semakin kondusif.
Mungkin kali ini Yogya perlu belajar dari Semarang bagaimana menerapkan aturan tanpa menimbulkan kegaduhan. Pendekatan persuasif tanpa ancaman sanksi berhasil meredakan ketegangan. Kampus, sejatinya adalah tempat merdekanya pemikiran dan pendapat.
Jika kampus gagal menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat bahkan memilih keyakinan, mungkin pendidikan negeri ini sedang berhadapan dengan kegagalan. Padahal, mengutip Nelson Mandela, pendidikan adalah senjata yang paling kuat yang bisa digunakan untuk mengubah dunia.
Jika pendidikannya gagal, senjata apa lagi yang dipunya negara ini untuk mengubah dunia?
(one)