Mengusut Otak Penebar Hoax
- Repro Instagram
VIVA – Polisi baru-baru ini kembali mengungkap aksi kelompok pelaku ujaran kebencian yang menyebarkan berita bohong alias hoax. Sindikat tersebut Muslim Cyber Army yang tergabung dalam grup WhatsApp bernama The Family MCA.
Kelompok ini diduga melakukan kejahatan dengan melempar isu provokatif di media sosial. Beberapa isu krusial yang dimunculkan seperti kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), penculikan ulama hingga penyerangan terhadap nama baik Presiden, serta tokoh-tokoh tertentu.
Pengungkapan MCA ini mengingatkan tujuh bulan sebelumnya dengan hebohnya keberadaan sindikat Saracen. Kedua kelompok ini punya ciri khas ingin memecah belah umat beragama dengan menyampaikan informasi hoax. Meski praktiknya sama dalam kasus ujaran kebencian, tapi pergerakan kelompok MCA dinilai lebih masif.
"Karakteristik agak mirip. Nah, Saracen punya organisasi terstruktur, tapi kalau MCA kan tidak. Hanya satu visi misi, tapi ada jelas kelompoknya," kata Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto, Kamis, 1 Maret 2018.
Setidaknya 14 anggota terkait MCA sudah diamankan aparat. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menyatakan delapan orang ditangkap pada awal 2018. Sementara itu, enam pelaku lain yang diduga anggota inti dari The Family MCA dicokok pada Senin, 26 Februari 2018.
Penangkapan enam anggota yang punya pengaruh tersebut dilakukan di beberapa daerah. Terakhir, satu anggota lagi atas nama Fuad Sidiq ditangkap di Desa Cidadali, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Tim siber Bareskrim merilis tersangka kelompok MCA. ANTARA Foto
Baca: Polisi Buru Wanita Konseptor Kelompok MCA
Tak berhenti pada anggota, polisi masih mendalami dalang kelompok MCA. Tim penyidik juga akan mengusut dugaan aktor intelektual atau pihak yang membiayai kelompok provokatif tersebut.
"Ini sedang kami dalami, artinya kalau ini terbukti konspirasi kan akan terlihat, siapa berbuat apa, bertanggung jawab kepada siapa akan ketahuan. Kami akan ungkap semua," ujar Setyo.
Tahun Politik
Penyebaran ujaran kebencian yang dilakukan MCA diduga masih terkait tahun politik. Tahapan pilkada serentak 2018 yang sudah dimulai terindikasi ada kaitan dengan kemunculan MCA.
"Pasti. Pasti ada kaitannya (dengan pilkada). Ini kan Pak Kapolri selalu mengingatkan awal tahun 2018 ini sudah mulai," tutur Setyo.
Meski diduga terkait pesanan politik, polisi diminta tetap bisa mengusut tuntas. Pengusutan ini jangan hanya pada pelaku eksekutor, namun juga dijerat dalang di balik kemunculan MCA.
Baca: Pembagian Peran di Family Team MCA untuk Sebarkan Hoax
Pengamat intelijen Al Chaidar mengatakan modus operandi kelompok MCA hampir mirip dengan Saracen. Dari praktiknya, ia melihat dua sindikat ini punya otak yang menjadi konseptor. Otak di belakang layar ini bisa memiliki kekuatan dana dan jaringan untuk muatan kepentingan.
"Saya kira polisi juga harus menangkap pimpinan otak virus MCA, yang memesan siapa? Jangan seperti Saracen kan. Hukum jangan tajam ke bawah, tapi tumpul di atas. Ini harus diusut," kata Al Chaidar saat dihubungi VIVA, Kamis, 1 Maret 2018.
Jangan Pilih Kasih
Ditangkapnya sejumlah anggota penebar hoaks MCA menjadi perhatian publik. Ada yang mengapresiasi, namun juga ada harapan disertai kritikan untuk kinerja aparat kepolisian.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon meminta polisi bisa transparan dalam mengusut kasus MCA. Ia tak ingin pengungkapan MCA seperti Saracen yang hanya mengundang kehebohan tapi menguap. Pengungkapan kasus hoax butuh ketegasan dalam penegakan hukum.
"Kalau misalnya memang pihak siber polisi mau melakukan pemberantasan terhadap hoax, kami setuju. Tapi, harus betul-betul adil mengusutnya. Jangan pilih kasih," kata Fadli kepada VIVA, Kamis, 1 Maret 2018.
Baca: Bohong dan Provokatif, Ciri Khas Berita yang Disebar MCA
Menurut dia, kinerja aparat saat ini masih pilih kasih dalam kasus ujaran kebencian. Tebang pilih ini dilihat dari tak ada kelanjutan dari laporan perkara ujaran kebencian yang merugikan pihak non-pemerintah. Namun, berbeda dengan perlakuan terhadap pihak yang menentang pemerintah.
"Nah, ini yang disisir adalah selalu pihak-pihak yang dianggap menentang pemerintah. Sementara kalau yang menjelek-jelekkan dari pihak non-pemerintah atau oposisi itu tidak di-follow up sampai sekarang," tutur Fadli.
Suara kritikan dilontarkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Aparat penegak hukum diminta bijak dalam menyikapi kasus ujaran kebencian di media sosial. Penegakan hukum juga harus melihat sensitivitas yang terjadi dalam dinamika kehidupan masyarakat.
"Polisi sering tidak sensitif melihat dinamika masyarakat. Terutama dinamika social media. Ada yg nakal sedikit sekali ya itulah kurva normal dalam masyarakat maka itu harusnya diisolasi. Jangan memancing yg banyak bikin orang salah paham dan marah...cc: @DivHumas_Polri," kata Fahri dikutip dari akun Twitternya, #MerdekaBro!@Fahrihamzah, Kamis, 1 Maret 2018.
Istilah Muslim Cyber
Fahri juga menyoroti istilah Muslim Cyber Army yang terus disuarakan aparat kepolisian. Ia keberatan dengan penyebutan istilah MCA karena menempelkan nama Muslim. Bila memang polisi serius, ia menekankan langsung proses secara pidana.
"Tidak bijak anda memakai istilah Muslim Cyber Army...sebab nama Muslim yg menempel pada orang2 di dunia maya ini umum sifatnya...usul saya: proses aja pidananya sesuai hukum...tapi menyeret nama islam seperti dalam kasus #WarOnTerror USA itu bikin dunia hancur," ujar Fahri.
Kemunculan sindikat MCA diminta menjadi perhatian umat. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin menekankan Islam tak pernah mengajarkan umatnya menyebarkan kebohongan. Apalagi disertai dengan tujuan memancing kehebohan untuk memecah belah kerukunan umat beragama.
Maruf juga menyoroti penggunaan nama Muslim pada kelompok MCA. Hal ini tak dibenarkan dan merupakan perbuatan terlarang.
"Menggunakan nama, melakukan itu termasuk jangan juga menggunakan nama muslim kan, dan yang penting jangan melakukan hoaks itu supaya negara ini aman," kata Ma'ruf di Istana Negara, Jakarta, Rabu 28 Februari 2018. (one)