Ketika Parpol Tak Lagi Bisa Jual Tokoh
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA – Larangan penggunaan foto presiden dan wakil dalam kampanye pemilihan kepala daerah telah ada sejak 2015. Namun belakangan, menjelang Pilkada 2018 dan 2019, kebijakan ini malah menuai protes.
Sejumlah partai politik gelagapan, lantaran dilarang penyelenggara pemilu untuk memajang para tokoh andalan mereka.
"Tidak ada alasan yang cukup kuat dan mendasar," ujar Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Pareira, Selasa, 27 Februari 2018.
Sehari sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum mensosialisasikan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam satu pasalnya, 280 ayat 1 huruf (i) menyatakan dilarang, "Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau ribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta yang bersangkutan."
Ketentuan itu dipertegas kembali dalam PKPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota.
Dalam Pasal 24 ayat 3 yang menyatakan, "Desain dan materi bahan kampanye yang difasilitasi oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota atau yang dicetak oleh pasangan calon sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat 1, 2 dan 3 dilarang mencantumkan foto atau nama presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dan/atau pihak lain yang tidak menjadi pengurus partai politik."
"Itu regulasi yang sudah kita gunakan sejak Pilkada 2015, Pilkada 2017. Jadi ini sebenarnya bukan hal yang baru," ujar Ketua KPU Arief Budiman.
Menurut KPU, secara prinsip larangan itu memang hanya berlaku saat kampanye. Ini artinya tak berlaku dalam acara internal parpol. Selain itu, langkah pelarangan ini untuk tidak membuat parpol mengklaim seorang tokoh sebagai milik mereka atau kandidat tertentu.
"Kepala negara, wakil, presiden, dan wakil itu milik semua orang," kata Arief.
Krisis Tokoh
Perhelatan pilkada selama beberapa waktu ini memang mengalami kemerosotan. Khususnya dalam penempatan kader berkualitas yang digadang parpol.
Ini juga ditunjukkan dengan kecenderungan pemilih yang memang hanya menaruh suara mereka pada calon yang populer. Tak cuma itu, sejak resmi tercantum dalam Undang-undang No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah mengenai jalur independen.
Secara bertahap, gelombang calon perseorangan pun muncul. Tahun 2015 contohnya, ada 135 pasangan calon perseorangan yang ikut bertarung. Meski cuma 13 terpilih, namun fakta itu memperkuat menggejalanya krisis kepercayaan terhadap parpol.
Di 2018, fenomena munculnya calon perseorangan juga masih ada meski menurun lantaran persyaratannya menjadi semakin berat menurut sejumlah calon sejak terbitnya utusan MK atas uji materi Nomor 54/PUU-XIV/2016.
Terlepas itu, gejala krisis kepercayaan terhadap parpol menjadi fenomena nyata. Atas itu, mau tak mau parpol mengandalkan sejumlah tokoh nasional atau figur pendiri mereka untuk menaikkan kembali pamor.
Memori kolektif lama mengenai ketokohan figur lampau pun menjadi salah satu jualan. Atau setidaknya menempatkan tokoh 'sukses' mereka yang telah berhasil maju lewat kendaraan parpol pun ikut dijual.
"Banyak partai gagal dalam rekrutmen dan pengaderan," ujar politikus PDIP Arif Wibowo dalam sebuah diskusi.
Terpaku Figur
Sulit menyangkal tak ada yang tak mengenal Megawati Soekarnoputri sebagai orang PDIP, lalu Amien Rais sebagai tokoh PAN. Begitu pun dengan Gus Dur atau Abdurahman Wahid sebagai figur penting PKB.
Termasuk juga dengan Surya Paloh sebagai pendiri partai Nasdem, atau SBY dengan Demokrat dan lain-lainnya. Diakui, ketokohan mereka lah yang menjadi nyawa dari setiap partai.
Ini juga tak lepas dari sebuah ketentuan yang diatur sejak tahun 1969 lewat Permendagri Nomor 12 dan PP Nomor 6 Tahun 1970 yang memaksa birokrasi harus steril dari pengaruh parpol.
Dengan itu, secara perlahan membuat publik apatis dengan parpol. Mereka pun hanya mengingat tokoh-tokohnya saja. Karena maklum, tidak boleh ada kegiatan bernuansa politis sebelum pemilu.
"Partai hanya hidup saat pemilu, pilkada, kongres, munas, dan kegiatan partai lainnya," ujar Wakil Dekan III Fisip Universitas Jenderal Soedirman Andi Ali Said Akbar dikutip dari antaranews.
Atas itu, maklum bila hingga kini publik memang masih memandang tokoh sebagai alasan memilih. Termasuklah mengapa parpol pun ikut mengandalkan sosok-sosok di balik kesuksesan mereka.
Dan karena itu jugalah kini, meski KPU telah memastikan aturan pelarangan penempatan tokoh nasional atau presiden dan wakil non kader partai, menjadi gunjingan.
"Akan muncul ganjalan psikologis kok bapak bangsa kita tidak boleh dibanggakan dan dilarang yah," ujar Wakil Sekretaris Jenderal PKB Daniel Johan.
PDIP pun juga kelimpungan. Musababnya, nama Sukarno memiliki arti besar bagi partai berlambang banteng itu. Nilai historis itulah yang membuat PDIP mampu bertahan hingga kini di era reformasi.
"Bung Karno memiliki kesejarahan dengan PDIP. Ini (pelarangan foto Sukarno) bertentangan dengan sejarah partai," ujar anggota Komisi II PDIP Komarudin Watubun.
Terlepas itu, tokoh apa pun sejatinya memang tak bisa dimonopoli siapa pun. Apalagi kecenderungannya untuk dimanfaatkan dalam rencana politik.
Mengagungkan tokoh sebagai simbolik dalam demokrasi politik, hanya akan membuat publik semakin tak bijak. Parpol pun akan terus larut dalam simbolik bukan muncul sebagai entitas yang menjadi panjang tangan publik untuk mencicipi program atau aspirasi.
"Kita ingin mengubah cara pikir selama ini yang selalu menampilkan gambar (tokoh), tapi tidak menjelaskan program," ujar Ketua KPU Arief Budiman.