Inikah Bibit-bibit Korea Bersatu?

Konferensi bersama pemimpin politik dan pejabat di Korut soal ide unifikasi
Sumber :
  • KCNA / via REUTERS

VIVA – Mimpi Korea bersatu mulai keluar dari lingkaran wacana. Yang mengejutkan, wujud konkret ditunjukkan Korea Utara yang selama ini dipandang sebagai pihak yang enggan untuk menyatu. Masih di awal tahun 2018, Kim Jong-un yang gila senjata justru menyerukan perdamaian dengan saudara serumpunnya. Ada apa?

Kim Kang Solat dan Belek Aganak, Tentara Korut yang Mati Bawa Dokumen Palsu

Otoritas Korea Utara melalui media propagandanya pada Kamis, 25 Januari 2018 mengeluarkan imbauan yang mengejutkan dunia. Setelah sekian lama menjadi bebuyutan, Korut mulai membuka diri terhadap Korea Selatan.

Bahkan Korut mengimbau agar warga negaranya, baik yang berada di dalam negeri maupun yang ada di luar negeri berinteraksi secara aktif dengan warga Korsel.

Rudal Nuklir Korut Diduga Masuk ke Rusia Lewat Darat

Tak hanya itu, Korut juga mendorong adanya perjalanan yang dilakukan warganya ke Korsel. Pengumuman itu dikeluarkan setelah dilakukan konferensi bersama pemimpin negara Korut dan partai-partai politik Pyongyang. Forum itu ternyata menyepakati bahwa perdamaian akan menjadi sikap mereka dalam menjawab ketegangan di semenanjung yang terjadi selama ini.

Dikutip dari Reuters, Korut menunjukkan sikap mendukung unifikasi antara dua negara yang dalam hal fundamental politik memang sangat berbeda tersebut. Namun Korut menyatakan bahwa upaya reunifikasi ini tidak akan bisa berjalan apabila ada negara lain yang ingin ikut campur.

Saling Serang, Rusia Gunakan Rudal dari Korea Utara untuk Hancurkan Ukraina

Korut jelas bermaksud menyindir Amerika Serikat yang menjadi koalisi militer Korsel dan menempatkan satuan tentaranya di semenanjung. Tak hanya militer AS, latihan gabungan juga melibatkan Jepang.

Korut dengan gamblang menolak proses perdamaian apabila harus melibatkan negara-negara tertentu.

Walau mengejutkan, sikap Korut yang melunak ini memang terbaca arahnya sejak Kim Jong-un, pemimpin besar Korut yang dihormati layaknya setengah dewa di negaranya itu memperbolehkan kontingennya berlaga di Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Korea Selatan, yang akan berlangsung pada pekan kedua bulan Februari mendatang.

Bahkan bibit-bibit diplomasi mulus Korut-Korsel juga diperlihatkan dengan adanya pertemuan kedua belah pihak yang membicarakan tim gabungan hoki di Olimpiade Musim Dingin. Sebagian berasal dari Korut dan sebagian lagi dari Korsel, mereka akan maju dengan nama tim Korea.

Apalagi komposisi kontingen Korut yang akan hadir di Seoul dan Pyeongchang tak melulu atlet namun juga grup band dan kelompok seni hiburan yang dijadwalkan akan tampil di Korsel.

Meski demikian, keterlibatan Korut di Olimpiade Musim Dingin nyatanya tidak sepenuhnya diterima oleh khalayak setempat. Saat kontingen Korut tiba di negara itu, diketahui terjadi demonstrasi yang menentang Kim Jong-un dan menyuarakan bahwa Kim layak dihukum mati. Bahkan setelah Korsel menerima Korut, dilaporkan angka polling popularitas Presiden Korsel Moon Jae-in turun hingga 60 persen pada bulan ini.

Namun pemerintah Korsel menekankan bahwa keterlibatan Korut dalam Olimpiade Musim Dingin adalah langkah penting demi mewujudkan perdamaian di semenanjung yang selama ini dihantui ancaman uji coba nuklir dan rudal balistik antarbenua.

“Kami sudah memikirkannya dengan matang dan yang terbaiklah yang harus dilakukan,” kata Menteri Luar Negeri Korsel Kang Kyung-wha merespons kontra yang bermunculan sebagaimana dilansir laman Telegraph saat dia hadir di forum World Economic Forum di Davos, Swiss.

Terpuruk

Sejak disanksi oleh PBB selama setahun terakhir, bukan rahasia kondisi Korea Utara mulai terpuruk. Negara itu mengakui bahwa isolasi ekonomi telah membuatnya kehilangan sumber penerimaan yang signifikan.

Bahkan kondisi itu semakin buruk setelah AS berhasil melobi PBB menjatuhkan lingkup sanksi yang lebih luas kepada Pyongyang. Korut yang selama ini bisa menjual tambang batu bara dan mineral serta berbagai komoditas ke negara lain harus kehilangan pasar lantaran PBB melarang negara-negara anggotanya melanjutkan transaksi dagang dengan Korut.

Kapal-kapal dagang Korut juga tidak diperbolehkan masuk dan bersandar di pelabuhan internasional. Selain itu, negara-negara PBB diingatkan tak menerima para pekerja migran yang berasal dari Korea Utara.

Kondisi Kim Jong-un yang kesulitan keuangan itu diungkap oleh sumber elite dari China yang diketahui memiliki jaringan kepada para pejabat Korut.

Mereka menyebutkan bahwa uang yang diwariskan oleh ayah Kim Jong-un yang biasa disebut dengan cadangan dana lumpur, sudah semakin menipis. Ambisi Kim melakukan pengayaan nuklir dan menciptakan senjata-senjata baru telah menguras kas negara itu. Sayangnya pengeluaran besar tidak berbanding lurus dengan penerimaan negara yang penduduknya banyak yang menderita malnutrisi itu.

Sumber elite China menyebutkan, kondisi ini yang membuat Kim akhirnya melunak dan mau tak mau harus mulai membicarakan kembali ide bersatu dengan Korsel. Termasuk memulai langkah partisipasi di Olimpiade Musim Dingin.

“Gerakan Korut yang hangat terhadap Korsel memiliki maksud mendasar yaitu menggunakan olimpiade sebagai terobosan untuk mengatasi kesulitan keuangan mereka,” kata salah satu sumber tersebut yang tak disebutkan namanya, dicukil dari Asian Correspondent.

Walaupun sebenarnya, Korut belum benar-benar “mati” secara ekonomi. Negara itu belakangan diketahui masih mengirimkan komoditas ke China. Hal ini yang membuat AS sempat geram kepada Beijing dan menuding bahwa pemerintahan Presiden Xi Jinping tidak memiliki itikad meredakan ketegangan konflik di Korea.

Sementara Korut juga dilaporkan masih mengirimkan batu bara ke Rusia. Padahal PBB sudah melarang ekspor batu bara dari Korut sejak Agustus tahun 2017. Sejak dilarang, terindikasi tiga kali kapal-kapal Korut mengirimkan batu bara ke dermaga Rusia di Nakhodka dan Kholmsk. Yang juga mengherankan disebutkan bahwa batu bara asal Korut itu dimuat ke kapal Jepang lalu diangkut ke Jepang pula sebagian ke Korea Selatan.

Tak Bisa Diprediksi

Reunifikasi Korea Selatan dan Korea Utara diyakini sejumlah ahli memang bukan hal yang bakal mudah terbaca. Oleh karena itu sikap mengejutkan Korut yang tiba-tiba mendukung penyatuan adalah fenomena yang bisa terjadi kapan saja.

Sama seperti runtuhnya Tembok Berlin yang tak terduga, faktor perubahan bisa muncul tanpa diperkirakan. Dinamika hubungan negara bisa bergerak dan berubah dalam waktu singkat apalagi bersinggungan dengan ekonomi yang menjadi salah satu tonggak tegaknya pemerintahan.

Pakar ekonomi di Asiatic Research Institute dari Korea University, Jong-Wha Lee, dan pakar dari Australia National University yang juga Direktur Centre for Applied Macroeconomic Analysis at Crawford School of Public Policy, Warwick McKibbin pernah menuliskan dalam working paper yang berjudul ‘Modelling the Economic Impacts of Korean Unification’ soal reunifikasi Korut-Korsel.

Mengutip dari tulisan itu yang dimuat dalam situs web resmi East Asia Forum pada tahun 2017 disebutkan bahwa meski konflik di semenanjung Korea termasuk yang paling berbahaya namun keadaan bisa segera bertolak belakang seturut dengan perubahan sikap Korut.

Oleh karena itu menurut mereka, Korea Selatan harus bersiap dengan hal ini. Tentunya bagi dunia, penyatuan Korut dan Korsel akan menghilangkan satu potensi ancaman titik api dalam sekam yang bisa memantik pecah perang. Namun bagi Korsel, hal itu artinya juga beban ekonomi yang cukup berat.

Meskipun Korsel akan aman dari deretan uji coba nuklir dan rudal yang getol diluncurkan oleh Kim Jong-un, namun negara ini juga harus siap menampung beban ekonomi yang selama ini melekat.

Reformasi ekonomi bagi Korea Utara akan menjadi pekerjaan rumah yang penting. Satu sisi, unifikasi akan berhasil jika dampak buruk secara ekonomi minim dan Korsel berhasil menanggulanginya dari kolaps. Namun unifikasi akan gagal jika kedua negara khususnya Korsel tidak menyiapkan skenario antisipasi yang andal
dalam hal ekonomi.

“Meski dalam hal ini yang paling utama adalah aspek ekonomi namun kondisi (reunifikasi) juga akan membawa konsekuensi politik dan relasi strategis di negara-negara Asia bahkan di tatanan internasional,” dikutip dari working paper tersebut. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya