Kubu Denny Indrayana Sebut Putusan DKPP Soal Bawaslu Kalsel Janggal
- ANTARA
VIVA – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akhirnya menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada petinggi Bawaslu Kalimantan Selatan pada sidang yang digelar, Selasa kemarin. Dalam sidang yang disiarkan secara virtual tersebut, anggota DKPP Prof Teguh Sentosa, Ida Budiati dan Ketua DKPP Muhammad membacakan putusan secara bergantian.
Bawaslu Kalsel menjadi teradu terkait dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) yang dilaporkan Jurkani, sekalu Divisi Hukum Pasangan Calon Gubernur Kalsel Denny Indrayana -Difriadi Darjad (H2D).
Tim hukum diketahui mengadukan dua perkara, yaitu 178-PKE-DKPP/XI/2020 dan 179-PKE-DKPP/XI/2020 dengan teradu lima orang, yaitu Ketua Bawaslu Kalsel Erna Kasypiah, serta Iwan Setiawan, Aries Murdiono, Azhar Redhani dan Norcholis Madjid selaku anggota.
Yang menjadi janggal, dalam putusannya, DKPP menyatakan mengabulkan sebagian aduan, yakni menyatakan hanya Teradu IV, Azhar Ridhanie terbukti melanggar kode etik pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
"Menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Teradu IV karea terbukti melanggar kode etik pedoman perilaku penyelenggara pemilu," kata Ketua DKPP RI, Muhamad saat membacakan putusan.
Menanggapi putusan itu, Tim Hukum H2D, Muhamad Raziv Barokah, menyatakan sangat kecewa karena berbanding terbalik dengan jalannya persidangan yang digelar 21 Januari 2021 lalu.
"Fakta-fakta penting yang seharusnya menjadi perhatian utama DKPP, justru luput dalam pertimbangan putusan yang baru saja dibacakan," kata Raziv dalam keterangannya yang diterima VIVA, Rabu 10 Februari 2021.
Menurutnya, DKPP tidak mempertimbangkan fakta terdapat dua putusan kajian yang dikeluarkan oleh Bawaslu Kalsel untuk satu laporan yang sama, yaitu laporan penggunaan tagline atau jargon kampanye oleh petahana.
"Versi pertama menyatakan seluruh unsur pelanggaran terpenuhi, versi kedua menyatakan ada satu unsur yang tidak terpenuhi. Dengan adanya dua versi putusan saja sudah cukup beralasan untuk memecat seluruh komisioner Bawaslu Kalsel. Namun DKPP hanya mempertimbangkan putusan versi kedua dan menjatuhkan sanksi peringatan keras terhadap seorang komisioner berdasarkan putusan versi kedua tersebut. Bahkan DKPP sama sekali tidak mempertimbangkan fakta adanya dua kajian tersebut, seakan-akan hal demikian sama sekali tidak masalah. Sesuatu yang tentu sangat aneh. Ada apa dengan DKPP?" kata Raziv.
DKPP juga tidak mempertimbangkan fakta bahwa empat komisioner Bawaslu Kalsel yang lain tidak membaca hasil kajian sebelum memutus. Padahal, kata dia, hasil kajian merupakan dokumen tertulis. Dokumen itu pun sudah dibaca oleh seluruh komisioner lainnya.
"Kami merasa ada kalimat yang dipelintir seakan-akan hasil kajian tersebut belum selesai sehingga belum dapat dibaca oleh komisioner lain selain Azhar Ridhanie, sehingga hanya Azhar yang terkesan bersalah. Padahal, rapat pleno pengambilan putusan harus berdasarkan hasil kajian. Sekali lagi kenapa putusan DKPP menjadi aneh," ujarnya.
Tim Hukum Denny Indrayana-Difriadi Darjad itu pun mengaku sangat kecewa karena sejumlah fakta yang krusial tersebut justru luput dari perhatian DKPP. Mereja juga menganggap satu komisioner yang terkena sanksi sekadar dijadikan tumbal.
"Ini bukan hanya persoalan profesionalitas semata, melainkan perihal keadilan demokrasi dan integritas penyelenggara pemilu yang menentukan bagaimana nasib rakyat Kalimantan Selatan selama 5 tahun kedepan. Bagi kami jelas putusan DKPP yang hanya menumbalkan salah satu komisioner saja menimbulkan banyak pertanyaan menggelitik, ada apa dengan DKPP?" kata dia.