Pasangan Calon Pilkada 2020 Belum Optimal Gelar Kampanye Daring

Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar saat menjadi narasumber
Sumber :
  • Humas Bawaslu RI

VIVA – Pandemi COVID-19 memaksa berbagai aturan kampanye pada Pilkada Serentak 2020, berubah dari sebelumnya. Seperti kampanye tatap muka yang menjadi cara terbaik pasangan calon (paslon) meraup dukungan masyarakat, kini sangat dibatasi.

Suswono Jamin Tunaikan Janji Kampanye Jika Menang: Kalau Nggak, Demo Aja ke Balai Kota

Kampanye daring atau virtual, sebagai penggantinya. Namun, cara ini ternyata masih tidak optimal dilakukan para paslon.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mendorong kampanye pilkada serentak di masa pandemi COVID-19 dengan memaksimalkan daring. Namun, kenyataannya dalam 10 hari masa kampanye mayoritas kandidat pasangan calon kepala daerah lebih memilih melakukan pertemuan tatap muka.

Pilkada Kota Bogor: Dokter Rayendra-Eka Maulana Respons Tenang Serangan Black Campaign 

“Sebaliknya, metode kampanye yang paling didorong untuk dilakukan di masa pandemi, yaitu kampanye dalam jaringan (daring) justru paling sedikit dilakukan,” kata Komisioner Bawaslu, Fritz Edward Siregar melalui keterangan tertulis, Rabu 7 Oktober 2020.

Baca juga: Pilkada di Tengah Pandemi, TPS Sepi Jadi Ancaman Legalitas

Masa Tenang Kampanye Pilkada Bojonegoro, Setyo Wahono Habiskan Waktu Bersama Keluarga

Fritz menjelaskan, kampanye daring, yaitu dengan pembuatan laman resmi pasangan calon, menyebarkan konten di akun resmi media sosial, konferensi (pertemuan) virtual, dan penayangan siaran langsung kegiatan kampanye.

Dari pemantauan Bawaslu selama 10 hari masa kampanye, hanya ditemukan dilakukan di 37 kabupaten, kota atau setara 14 persen dari 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020. Sisanya, 233 kabupaten kota atau setara 86 persen tidak didapati terlaksana kampanye dengan metode daring.

Analisis Bawaslu, kampanye dalam jaringan masih minim diselenggarakan karena beberapa kendala. Di antaranya adalah jaringan internet di daerah yang kurang mendukung.

Keterbatasan kuota peserta dan penyelenggara kampanye, keterbatasan kemampuan penggunaan gawai peserta dan penyelenggara kampanye, keterbatasan fitur dalam gawai, serta kurang diminati, sehingga diikuti oleh sedikit peserta kampanye.

Rincian penyelenggaraan kampanye daring di 31 daerah tersebut adalah, 31 kegiatan pengunggahan konten materi kampanye di media sosial dan 12 kegiatan siaran langsung kampanye. Selain itu, tujuh kegiatan pertemuan virtual dan tiga kegiatan pembuatan laman resmi pasangan calon.

Metode kampanye lainnya adalah pemasangan alat peraga kampanye (APK). Metode ini dilakukan di 178 kabupaten, kota atau sebanyak 66 persen. Sementara itu, di 92 kabupaten kota atau 34 persen, Bawaslu tidak menemukan alat peraga kampanye pada 10 hari tahapan kampanye. 

Adapun, APK yang Bawaslu temukan adalah 167 unit baliho, 159 unit spanduk, dan 50 unit umbul-umbul. Bawaslu menganalisis, baliho dan spanduk paling banyak dipasang karena merupakan APK yang paling kecil berpotensi dirusak.

Dalam metode penyebaran bahan kampanye, Bawaslu mendapati, metode tersebut dilaksanakan di 169 kabupaten kota atau setara 63 persen dan di 101 kabupaten kota atau 37 persen daerah belum didapati penyebaran bahan kampanye. 

Bahan kampanye yang paling banyak adalah masker di 159 kabupaten kota. Stiker di 121 kabupaten kota, pakaian di 49 kabupaten kota dan hand sanitizer di 21 kabupaten kota. Penutup kepala di 19 kabupaten kota, alat makan, minum di 10 kabupaten kota, dan sarung tangan di lima kabupaten kota dan perisai wajah (face shield) di lima kabupaten kota.

“Berdasarkan amatan Bawaslu, masker paling banyak digunakan sebagai bahan kampanye, karena beririsan dengan metode kampanye pertemuan terbatas yang juga paling banyak diselenggarakan,” ujarnya.

Selain itu, pada penyebaran stiker berpotensi terjadinya pelanggaran protokol kesehatan. Hal itu karena pemberian bahan kampanye itu memungkinkan orang bertemu antarmuka dan bersentuhan tangan.

“Selain soal protokol kesehatan, Bawaslu juga menemukan beberapa dugaan pelanggaran lain, yaitu 17 kasus dugaan pelanggaran di media sosial, delapan kasus dugaan politik uang, dan sembilan kasus dugaan penyalahgunaan fasilitas pemerintah,” ungkapnya.

Adapun dugaan pelanggaran di media sosial berbentuk di antaranya, ASN dan/atau kepala desa ikut berkampanye, kampanye di akun media sosial yang tidak didaftarkan di KPU, penyebaran konten hoaks, dan konten berbayar (sponsor).

Terhadap dugaan pelanggaran tersebut, Bawaslu telah menindaklanjutinya sesuai dengan prosedur terhadap bentuk pelanggaran. Di antaranya adalah, penyampaian surat peringatan, pembubaran kegiatan kampanye dengan melibatkan kepolisian, Satpol PP, serta menyampaikan ke kepolisian jika ada dugaan tindak pidana. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya