Refly Harun Usul Pilkada 2020 Dipilih Lewat DPRD Saja
- VIVA/Dhana Kencana
VIVA – Pakar hukum tata negara, Refly Harun mengatakan, jika Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember nanti didorong untuk ditunda, bisa diganti dengan cara pemilihan lain. Yakni kembali dipilih oleh DPRD sebagai pengganti pemilihan langsung oleh rakyat.
Alasannya, lantaran masih pandemi COVID-19 dan tidak tahu kapan akan berakhir. Itu dikatakan Refly, saat menjadi pembicara di ILC TvOne, Selasa malam 22 September 2020. Karena menurut dia, pemilihan kepala daerah oleh sistem perwakilan yakni DPRD, tidak menyalahi konstitusi.
"Kalau kita kembali pada Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 maka pilihan kepala daerah itu tidak hanya langsung, bisa juga pemilihan tidak langsung. Kita pernah mengalami pro dan kotra mengenai pemilihan langsung dan tidak langsung. Tapi kita bicara masa pandemi COVID-19, pilihannya adalah mengurangi kadar demokratisasi tapi sebenarnya Pasal 18 Ayat 4 demokratis itu sebenarnya pemilihan oleh DPRD itu juga demokratis," jelas Refly.
Baca juga: PA 212 Cs: Pilkada 2020 Klaster Maut COVID-19
Alasan pemerintah bahwa pilkada tidak bisa ditunda karena tidak tahu kapan pandemi berakhir, menurutnya bisa disiasati dengan model pemilihan lain. Sebab menurutnya, terlalu riskan juga kalau pilkada tidak memperhatikan protokol kesehatan. Maka pilihannya bisa melalui perwakilan. Karena menyangkut bahaya penyebaran COVID-19 di masa-masa pilkada, adalah menyangkut nyawa manusia.
"Maka kemudian bisa jadi kita memilih untuk daerah-daerah tertentu yang sudah habis masa jabatannya dan kemudian tetap ada pandemi COVID, kita ubah pola pemilihannya," jelasnya.
Refly juga menjelaskan, di beberapa daerah juga ada yang tidak tepat untuk dipilih langsung. Seperti di Papua yang menggunakan sistem noken, menurutnya juga bukan pemilu langsung yang langsung, umum, bebas dan rahasia. Ada juga daerah-daerah, yang menurutnya tidak menggelar pilkada sampai kapanpun seperti Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Di DKI tidak ada pemilihan bupati dan wali kota, di Aceh ada partai lokal," lanjutnya.
Pandemi saat ini, menurutnya adalah dalam situasi darurat. Maka jika kondisinya darurat, maka hukum normal yang ada bisa dikesampingkan. Ia mencontohkan mengenai konser di pilkada. Memang di undang-undang yang mengaturnya, membolehkan sehingga KPU tidak bisa membuat aturan pelarangan. Tapi itu peraturan dibuat saat kondisi normal dan situasi tahapan pilkada yang normal. Sementara pandemi membuat situasi tidak normal, maka aturan itu bisa dikesampingkan.
"Kalau seandainya kita katakan ada ketidakpastian, sesungguhnya bisa kita jawab kalau kita tunda katakanlah 6 bulan ke depan maka harus ada skenario (kondisi setelah 6 bulan ditunda) ini tetap COVID-19, artinya kita bisa memilih skenario pemilihan tidak langsung itu sebagai suatu skenario yang bisa kita diskusikan dalam masa darurat," jelasnya.