Saksi Ahli Tuding BW Tidak Punya Bukti Perselisihan Suara
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVA – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada, Edward Omar Sharif Hiariej, menyampaikan bahwa sejak awal Bambang Widjojanto selaku kuasa hukum Prabowo-Sandi tidak memiliki bukti kuat yang ditampilkan pada sidang sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi (MK).
Di hadapan majelis hakim, pria yang akrab disapa Eddy itu menyampaikan, sejumlah butir pendapat hukum mengenai dalil permohonan yang disampaikan BW bersama timnya.
Menurut Edyy, yang menjadi saksi ahli dari tim hukum Jokowi - Ma'ruf Amin, mengenai intrepretasi gramatikal sistematis terhadap Pasal 24 C Undang - Undang 1945 Juncto Pasal 74 dan Pasal 75 Undang - Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan, kewenangan MK itu mengadili kesalahan hasil penghitungan suara.
"Dengan demikian secara muatis mutandis, fundamentum petendi yang dikonstruksikan oleh kuasa hukum pemohon, seharusnya berkaitan dengan hasil penghitungan suara," kata Eddy dalam sidang di MK, Jumat 21 Juni 2019.
Selain itu, Eddy menyampaikan bahwa dalil permohonan tim hukum Prabowo terlihat banyak mempersoalkan hal lain di luar kewenangan MK.
Disoroti juga pernyataan BW yang mengatakan bahwa MK bukan mahkamah kalkulator. Pernyataan itu kemudian dikuatkan dengan pernyataan lain seperti MK tidak boleh dipasung dalam ketentuan Undang - Undang dan MK merupakan 'the guardian of constitution'.
"Itu menunjukkan bahwa kuasa hukum pemohon secara implisit mengakui tidak ada kesalahan dalam perhitungan atau rekapitulasi pemilihan presiden yang dilakukan komisi pemilihan umum," katanya.
Eddy kembali menyampaikan pendapatnya terkait dalil pelanggaran pemilu yang disampaikan pada saat penyampaian petitum.
Disebutkan telah terjadi penyalagunaan APBN, hinga ketidaknetralan aparat dalam hal ini polisi, intelijen, birokrasi dan BUMN.
Menurutnya, pelanggaran pemilu mengacu pada Undang Undang Nomor 7 tahun 2017 sedianya dilaporkan kepada Bawaslu.
"Selanjutnya Bawaslu yang mengkualifisir apakah berbagai pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran administrasi, sengketa administrasi atau kah pidana pemilu," kata dia.
Atas dasar itu lah, Eddy memandang, Mahkamah dapat memutuskan yang menjadi kewenangannya. Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagaian atau seluruh permohonan dari pihak pemohon, maka ia khawatir lembaga tersebut bukan lagi sebagai 'The Guardian of Constitution'.
"Melainkan sebagai 'The Destroyer of Constitution," katanya.