Kisah Para Caleg Gagal: Dari Gangguan Jiwa Hingga yang Tidak Kapok
- bbc
Sejumlah calon anggota legislatif gagal terpilih untuk duduk di parlemen dalam pemilihan legislatif (pileg) 2019. Beberapa dari sisanya berakhir stres.
Salah satunya Arif, bukan nama sebenarnya. Ia bertarung di kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, untuk duduk di kursi anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD).
Sejak tiga hari setelah hari pencoblosan hingga Kamis (16/5) lalu, Arif justru duduk di tempat lain: panti rehabilitasi jiwa dan narkoba di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ia stres usai gagal memperoleh kursi parlemen.
"Kacau. Bingung," imbuh Arif, lirih.
Kami berbincang dengannya di teras rumah ketua Yayasan Annur, Supono, yang memiliki Panti Rehabilitasi Jiwa dan Narkoba Mustajab serta Rumah Sakit Khusus Jiwa dan Narkoba H. Mustajab, Kamis (16/5) lalu.
"(Tahun) 2014 kemarin ada hampir 30 caleg stres, jadi keganggu (jiwanya) lah. Sekarang, 2019, kita kedatangan lagi teman-teman kita yang tidak beruntung," tutur Supono dengan kemeja batik hijau cerah yang ia padankan dengan sarung dan kopiah hitam.
"Tapi saya mengatakan bukan stres itu, hanya terganggu. Dia hanya kaget saja," katanya.
Pengalaman pahit Arif juga dialami caleg-caleg gagal lainnya di seantero Indonesia. Sebagiannya mencari pertolongan dengan mendatangi fasilitas rehabilitasi seperti yang dimiliki Supono.
"Di sini saya menemukan ketenangan," ungkap Arif separuh berbisik.
Nyaleg gagal, `ngamuk` kemudian
Tatapan Arif lurus ke depan, matanya tampak kosong: entah merenung atau memuat hampa.
Awalnya, Arif - yang tidak berkenan membuka identitas sebenarnya - malas ditanyai wartawan. Beruntung, berkat bujukan Supono, ia bersedia kami ajak berbincang di siang hari bulan Ramadan itu.
Arif (bukan nama sebenarnya) menatap lurus ke depan, ke jalan kecil di Desa Bungkanel, tempatnya kini dirawat setelah stres pascapemilu - BBC
Usianya di kepala tiga menjelang 40-an tahun. Dari pengakuannya, ia memutuskan nyaleg tahun lalu atas kemauannya sendiri.
"(Mau) membantu rakyat di sana," tutur Arif yang asli Kutai Kartanegara.
"Devisanya nomor satu di Indonesia, tapi (kesejahteraan) masyarakatnya masih di bawah rata-rata," ungkapnya, kali itu ada sedikit kerutan di keningnya.
Kabupaten Kutai Kartanegara memang dikenal sebagai salah satu penghasil devisa terbesar Indonesia berkat industri migas dan batu baranya.
Ia lantas tak ragu menggelontorkan dana pribadi hingga meminjam sana-sini demi asanya menjadi anggota dewan. Duit sebesar lebih dari Rp1 miliar terkumpul untuk memodali impiannya itu.
"Yang besar biaya baliho sama stiker. Sama kaos. Itu yang paling besar."
Katanya, alokasi anggaran untuk belanja alat peraga kampanye (APK) mencapai 60 persen modal yang dikantonginya. Sisanya, ada yang ia siapkan untuk membayar tim sukses, ada pula yang ia belikan sembako untuk dibagikan kepada masyarakat di daerah pemilihannya sebagai sogokan.
"Kebanyakan (warga) sih menerima (saya), Mas. Welcome sama kampanye saya," lanjutnya dengan suara yang konsisten pelan dan perlahan, "cuma di saat penghitungan, suara saya minim sekali."
Dari 600 suara yang ditargetkan, ia hanya meraup 250 suara.
Saat mendengar itu dari tim suksesnya di lapangan, ia merasa kacau. Ia kadung siap jadi penyambung lidah rakyat.
"Bagian juru kampanye saya yang kayaknya bohongin saya, Mas, bagian lapangan saya," ungkapnya menahan geram.