Pemilu Serentak Banyak Masalah, Nasional dan Daerah Disarankan Dipisah
- ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Pemilu serentak 2019 dikritik sejumlah pihak karena tidak mengantisipasi beban kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), menenggelamkan informasi tentang kandidat calon anggota legislatif, dan membuat hak memilih warga negara Indonesia di luar negeri hilang. Koalisi Pemantau Pemilu menyodorkan solusi agar memisahkan pemilu serentak di tingkat nasional dan tingkat daerah.
Pemilu 17 April lalu begitu melelahkan bagi Dedi yang mengampu tugas sebagai Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS 48, Kampung Ciputat, Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung.
"Wah, dobel capeknya," ujar Dedi ketika dihubungi BBC Indonesia lewat sambungan telepon, Minggu (21/04).
"Tidak tidur dari mulai pemungutan suara sampai beres. Penghitungan itu beres jam 22.00 WIB, terus lanjut siapin formulir C1 itu sampai jam 24.00 WIB. Banjir juga kan daerah saya, jadi harus menunggu perahu datang untuk diantar ke kelurahan," sambung Dedi.
Ia bercerita, baru betul-betul merampungkan pekerjaannya sekitar pukul 07.00 WIB keesokan harinya, atau pada 18 April.
"Yang bikin lama itu, penghitungan DPRD, kan anakannya banyak. Kalau penghitungan capres-cawapres sih cepat. Cuma karena ini ada lima kotak kan, jadi seperti kerja lima kali," ujarnya sambil tersenyum kecut.
Sebagai wilayah rawan bencana banjir, Dedi, sudah diwanti-wanti agar mempersiapkan dengan matang pelaksanaan pemilu kali ini. Sehari sebelum pencoblosan, ia dan enam anggota KPPS bolak-balik memboyong tenda beserta meja dengan perahu ke lokasi TPS.
"Saya aja kasihan sama anggota yang lain, kan tidak anak muda semua. Ada yang sudah tua, ibu-ibu juga ada."