Logo BBC

Pedagang Kopi dan Eks Tukang Ojek Mengadu Nasib Menjadi Wakil Rakyat

Eha menjajakan kopinya di Pasar Kranggot, Cilegon, Banten, setiap hari sejak pukul satu dini hari hingga pukul delapan pagi - BBC Indonesia
Eha menjajakan kopinya di Pasar Kranggot, Cilegon, Banten, setiap hari sejak pukul satu dini hari hingga pukul delapan pagi - BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

"Kalau mau dipersentasekan itu baru di 40 persen (target yang selesai). Sampai lima tahun saya berjalan ini, keinginan masyarakat, hak-hak masyarakat untuk hidup layak, itu belum terpenuhi," pungkas Awi.

Bagaimana potensi para caleg cekak?

Kisah Eha dan Awi adalah cerminan sejumlah kisah caleg lain dengan latar belakang serupa. Di masa lampau, sebagian kisah itu berakhir sukses, sementara sisanya kandas, tak bersisa.

Modal minim yang dikantongi para caleg cekak di awal perjuangan mereka, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, bukan menjadi faktor tunggal sukses-tidaknya kans masuk ke parlemen.

Menurut Titi, untuk memenangkan pertarungan antar-caleg di Indonesia, selain modal kapital, modal sosial juga memainkan peranan penting. Modal sosial yang dimaksud adalah jejaring dengan konstituen dan pendukung di daerah pemilihan terkait.

Bagi para caleg dari kelas ekonomi menengah ke bawah, menurut pandangan Titi, modal sosial dapat dijadikan instrumen utama yang bisa dikerahkan dalam upaya pemenangan suara konstituen. Namun, cakupan dapil dan durasi interaksi dengan para pemilik suara patut diperhitungkan.

"Mereka ini orang yang betul-betul berinteraksi dengan masyarakat kebanyakan. Apakah interaksi itu intervalnya cukup luas, cukup besar, untuk menjangkau suara yang sepadan dengan satu kursi?" paparnya.

Efektivitas kampanye dari pintu ke pintu yang cenderung dilakukan para caleg cekak juga harus dilakukan secara terukur. Aktivitas menjaga relasi perlu dilakukan sejak jauh-jauh hari.

"Kalau misalnya dia melakukan door to door campaign dan itu merupakan penguatan saja dari interaksi sosial yang sudah dia bangun sebelumnya, ya bisa saja dia tetap punya kans yang besar," jelas Titi.

Yang menjadi perhatian Titi adalah motivasi para calon wakil rakyat dari kalangan marginal tersebut.

Menurutnya, pertarungan pileg bukan sekadar untuk merebut kursi, tetapi juga pertarungan untuk memperjuangkan ideologi partai. Lebih besar lagi, pertarungan untuk memperjuangkan suara rakyat.

Sementara itu, yang menjadi kekhawatiran adalah proses rekrutmen para caleg oleh partai-partai pengusung. Dalam kasus Eha, pencalegannya oleh partai terkait untuk mengisi kuota 30?leg perempuan patut menjadi perhatian.

"Dari riset terhadap pemilih perempuan saja, memang kecenderungan untuk asal comot terhadap caleg perempuan untuk menggenapi 30% keterwakilan perempuan paling sedikit di daftar calon, itu juga berkontribusi terhadap fenomena caleg yang asal direkrut.

"Yang asal direkrut ini kan kadang-kadang paling mudah dari teman-teman yang ekonominya kurang, karena - misalnya - diiming-imingi," papar Titi.

Meski demikian, Titi berpendapat bahwa keberadaan caleg dari kalangan menengah ke bawah layak diperhitungkan.

"Dalam konteks ini, sangat mungkin merekalah yang paling bisa memahami persoalan-persoalan riil di masyarakat.

"Hanya saja, memang motivasi dan kemudian cara kerja mereka di dalam berkampanye harus ditempatkan di koridor yang tepat, sehingga kehadiran mereka di dunia pemilu kita betul-betul menjadi bagian dari upaya kita untuk memperkuat politik representasi di parlemen," tutupnya.