Pedagang Kopi dan Eks Tukang Ojek Mengadu Nasib Menjadi Wakil Rakyat
- bbc
Menurutnya, Eha memiliki kualitas yang sepatutnya dimiliki seorang caleg. "Ibu Eha ini karena pejalan dan tidak pernah mengeluh. Wah, ini cocok untuk sosialisasinya, dia terobos ke mana aja di dapilnya nanti," tuturnya.
Hamdi juga menganggap Eha sebagai pribadi yang loyal dan ringan tangan.
"Saya serius bahwa kamu bukan jadi pelengkap, kamu jadi pelaku, kamu harus kerja keras supaya dapat suara banyak," tutur Hamdi menirukan ucapannya kepada Eha. "Jadi bukan hanya pemenuhan kuota 30%."
Hingga sebulan sebelum hari pencoblosan, Eha telah berkeliling untuk memperkenalkan diri ke hampir semua kelurahan yang terdapat di daerah pemilihannya.
Metode kampanye dari pintu ke pintu jadi andalan, mengingat terbatasnya modal finansial untuk membuat berbagai alat peraga kampanye.
"Kampanye itu, menurut saya, susah, Pak. Meyakinkan pemilih, konstituen, susah, Pak," ujar Eha.
"Susahnya, satu, mungkin mereka masih menganggap bahwa politik itu harus pakai uang. Kalau ada uang, mereka akan nyoblos , gitu," lanjutnya. "Satunya lagi, karena mereka ada tim sukses yang menyuruh bahwa `orang tuh harus milih ini`, gitu , jadi ada yang nyuruh gitu ."
Tak semua konstituen yang didatangi Eha juga menyambut positif kedatangannya. Hasim Zakaria salah satunya.
Warga Cikerai, kecamatan Cibeber, kota Cilegon, itu bersikap skeptis terhadap wakil rakyat. "Cari (caleg) yang amanah itu tidak ada. Susah (percaya)," ujarnya.
"Yang dulu-dulu, memberikan ini lah, itu lah. Memberikan janji-janji (palsu), makanya sekarang tidak ada yang (saya) percaya," lanjutnya.
Eha bukannya tak tahu tantangan yang harus dihadapinya saat nyaleg . Ia tahu betul bahwa ia harus bersaing dengan 105 caleg lain yang memiliki lebih banyak modal dan pengalaman di daerah pemilihannya.
Eha harus bisa memenangi setidaknya 3.000 suara pemilih agar bisa duduk di kursi anggota dewan.
"Waktu ditawarin itu saya juga nggak mau, Pak, karena saya nggak punya uang," ujar Eha.
Sejak mulai berkampanye September lalu, Eha mendapat bantuan dana kampanye dari sesama caleg PPP yang berlaga di tingkat provinsi sebagai `tandem`nya.
"Ketika semua caleg dimintai laporan (keuangan kampanye), ternyata itu biayanya Rp1,4 juta, Pak. (Uang itu) Dari Pak Haji Sibli," ungkap Eha, merujuk pada caleg tingkat provinsi yang mendanainya.
Selain itu, ia juga menerima dana tambahan dari partai sebesar Rp2 juta untuk membuat alat peraga kampanye. Eha sendiri hanya mengeluarkan uang seadanya untuk memfotokopi brosur-brosur kampanye.
Di luar, ia kerap mendengar selentingan yang mengatakan bahwa nasibnya akan berubah drastis jika terpilih menjadi anggota dewan.
"Saya juga bingung, Pak. Jadi (anggota) dewan itu, teman-teman bilang, kalau jadi (anggota) dewan itu gajinya besar, terus nanti naik mobil, nanti punya rumah, nanti keliling ke mana-mana," ujar Eha. "(Memang) sebesar itu ya (gajinya)?"
Meski demikian, Eha mengaku serius menjajaki peluang menjadi wakil rakyat. Ia ingin membantu sesama masyarakat kurang mampu untuk memiliki kehidupan yang layak.
"Ada yang curhat ke saya, jadi, supaya `coba Eha, nanti gimana nih, pedagang tolong dibantu masalah perdagangan kita, agar kita lebih maju, lebih laris. Terus bagaimana permodalan nih`," tuturnya.
Ia juga menaruh perhatian pada nasib pengangguran di kota Cilegon. Ia mengaku menerima aspirasi tersebut dari masyarakat di dapilnya, di Kecamatan Cibeber dan Cilegon, kota Cilegon.
"Mudah-mudahan Eha kepilih agar masyarakat kita, Cilegon, banyak yang bekerja, jangan banyak yang menganggur," harapnya jelang 17 April 2019.